Kehidupan Elizah baik-baik saja sampai dia dipertemukan dengan sosok pria bernama Natta. Sebagai seorang gadis lajang pada umumnya Elizah mengidam-idamkan pernikahan mewah megah dan dihadiri banyak orang, tapi takdir berkata lain. Dia harus menikah dengan laki-laki yang tak dia sukai, bahkan hanya pernikahan siri dan juga Elizah harus menerima kenyataan ketika keluarganya membuangnya begitu saja. Menjalani pernikahan atas dasar cinta pun banyak rintangannya apalagi pernikahan tanpa disadari rasa cinta, apakah Elizah akan sanggup bertahan dengan pria yang tak dia suka? sementara di hatinya selama ini sudah terukir nama pria lain yang bahkan sudah berjanji untuk melamarnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melaheyko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ELIZAH SAKIT
Mendengar itu Natta dan Elizah menoleh. Keduanya gugup, apa Sofi dan Adit melihat mereka sangat menempel tadi?
“Lemes amat kamu, Zah. Kenapa? Sakit?”
Elizah menggeleng pelan, “aku hanya kurang istirahat.”
Natta keheranan mendengarnya.
“Eh, nanti malam gimana kalau kita ke bioskop?” Adit menyeru penuh semangat.
Natta tidak setuju tapi melihat Elizah yang seperti tertarik, dia meredam keinginannya untuk menolak.
“Gimana, Zah? Kamu bisa ikut, kan?” kata Sofi sambil mencuri pandang pada Natta, “Mas Natta juga bisa ikut kalau khawatir sama Elizah.”
Adit melotot kepada Sofi.
“Mas Natta nggak usah ikut. Aku yang akan menjaga Elizah,” katanya. Justru, itu adalah yang tidak diinginkan oleh Natta.
“Aku ikut, Elizah juga tidak akan pergi tanpa aku,” ucapnya sambil mendahului langkah mereka semua. Elizah memperhatikan Natta dalam-dalam.
Mereka semua berangkat bekerja, Natta melajukan kendaraannya dengan penuh kehati-hatian. Biasanya, jika sendiri dia akan kebut-kebutan. Tapi ketika membonceng Elizah, dia begitu super hati-hati. Elizah mengamati wajah serius suaminya itu dari kaca spion, Natta yang sadar diperhatikan hanya melirik sekilas. Elizah kemudian menyandarkan pipinya di punggung Natta, Natta yang merasakan tubuh istrinya menempel pun seketika merasakan suhu tubuhnya menjadi panas.
Motor berhenti ketika lampu merah menyala.
“Eli, kenapa?” Tanya Natta, Elizah tidak seperti biasanya.
Elizah menggeleng, Natta mengayunkan tangannya ke belakang. Meraih tangan Elizah, membuat tangan gadis itu memeluk pinggangnya. Di luar dugaan, Elizah tidak menolak sama sekali.
Apakah itu sinyal-sinyal bahwa Elizah sudah menerimanya?
Mereka kembali melanjutkan perjalanan, sesampainya di depan Mall. Natta dan Elizah sama-sama gugup.
“Kamu mau izin saja, Eli? Kamu terlihat tidak baik,” kata Natta karena menangkap beberapa kali tatapan istrinya kosong.
Elizah tersenyum samar, “aku baik, Mas. Nggak usah khawatir.”
Natta tetap saja tidak tenang.
“Hubungi aku segera kalau ada sesuatu,” katanya dan Elizah mengangguk.
Natta menunggu sampai Elizah masuk, kemudian dia pergi dan berpapasan dengan dengan sebuah mobil yang ternyata itu adalah Ali.
Ketika Ali melihat Elizah, Elizah menggunakan seragam kerjanya. Ali tahu seragam itu, bahkan nama restorannya, dia pernah ke sana.
Elizah yang tak bisa fokus bekerja malah dihadapkan dengan pekerjaan yang sangat banyak. Adit sempat menanyakan apa yang membuatnya gelisah. Elizah hanya menjawab kalau dia hanya lelah.
Elizah merasa pusing melihat banyak sekali tamu yang harus dia layani. Elizah merasa tidak akan kuat, sampai dia mundur dan pergi ke belakang. Kondisinya disadari teman kerjanya yang lain, dia mendekati Elizah dan menanyakan keadaannya. Elizah sekarang merasa mual, tubuhnya juga demam. Rafan yang mendengar kabar tersebut pun langsung memberi kabar kepada Natta.
Natta di bengkel bergegas menuju Mega Mall untuk menjemput istrinya.
Tidak butuh waktu lama untuk Natta sampai, Rafan langsung mengajaknya masuk. Elizah kaget melihat kemunculan suaminya.
“Mas,” katanya serak.
Natta menempelkan punggung tangannya di kening Elizah. Demam bisa dia merasakannya, kemudian Natta melirik Rafan.
“Bawa saja. Dia tidak sehat,” kata Rafan dan Natta tanpa banyak kata melepas jaketnya.
“Pakai ini, kita pulang ya.” Natta membantu Elizah memakai jaketnya, Elizah melihat dengan jelas betapa khawatirnya Natta saat ini.
“Elizah kenapa? Mas Natta juga ada di sini?” Adit yang baru datang keheranan.
“Kerja, kerja, kerja.” Terang-terangan Rafan mengusirnya. Adit terus menoleh tapi Rafan menariknya.
“Aku gendong, ya.” Natta membelai punggung tangan istrinya.
“Aku bisa jalan, Mas. Kamu berlebihan.” Elizah menolak sambil berdiri.
Natta merapikan jaket yang dipakai Elizah, Elizah diam kemudian mereka melangkah dengan tangan saling menggenggam.
Mereka berjalan bersama, Adit dari jauh hanya mampu melihat tanpa melakukan apa-apa. Sementara itu, Ali juga ada di sana tapi Ali tidak menyadari Elizah dan Natta yang melewatinya begitu saja. Elizah juga tidak sadar, kepalanya pusing.
Natta merangkul pinggangnya, lekas membawanya keluar. Ketika Elizah duduk di dalam mobil, punggungnya dia sandarkan dengan matanya yang terpejam.
“Kita ke rumah sakit saja,” ucap Natta.
Elizah membuka matanya, “aku mau pulang, Mas. Aku nggak mau ke tempat lain.”
“Kamu sakit,” imbuh Natta lirih dan Elizah tetap tidak mau.
Natta tidak bisa memaksa, kendaraan roda empat itu melaju. Natta mengeluarkan ponselnya, menekan panggilan, ia menelepon Furqon. Elizah mendengarkan.
“Elizah sakit, Om. Ini kita mau pulang,” katanya dan Elizah menoleh. “Enggak, aku bawa mobil. Om bisa ke bengkel? Ada yang akan datang untuk mengambil mobil sport Xxxxx hari ini. Datanya ada di laptop.”
Natta diam sejenak.
“Iya, Om.” Panggilan selesai.
Elizah menekan dadanya, sesak dan mual. Mobil berhenti di depan sebuah apotek, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju pulang.
Ketika sampai di rumah, Elizah masuk ke kamarnya. Ia merasa kedinginan. Natta di dapur sedang menyiapkan air minum hangat supaya Elizah lekas minum obat.
“Eli, minum obat dulu.” Natta memanggil dari ambang pintu. Elizah tidak ada pergerakan. Hanya suara rintihan yang terdengar.
Karena khawatir, Natta memberanikan diri masuk. Melihat Elizah berselimut.
“Eli,” katanya pelan. Duduk di tepi tempat tidur, wajah Elizah terlihat pucat. Natta menyentuh kening Elizah. “Eli,” panggilnya panik..
“Aku haus,” jawab Elizah pelan.
Natta membantunya bangkit, mengambil air minum. Elizah kelelahan dan juga banyak pikiran. Kesehatannya menurun drastis, tanpa mengungkapkan kepada siapapun, dia juga sangat merindukan keluarganya terutama ibu dan ayahnya.
Berbicara langsung dengan berbicara di telepon sangatlah berbeda. Elizah ingin berjumpa dengan keluarganya.
“Elizah.” Natta meraih tangan Elizah, menggenggamnya. Menatapi wajah pucat itu dengan cemas. Sesaat kemudian, ia pergi ke dapur dan kembali dengan air hangat untuk mengompres Elizah.
Natta mengambil ponselnya, ia menelepon Furqon untuk meminta bantuan. Natta takut sesuatu yang buruk terjadi kepada Elizah.
🍃🍃🍃🍃
“Apa dia perlu dirawat?” Natta bertanya kepada dokter yang diminta Furqon untuk datang memeriksakan istri dari keponakannya itu.
Dokter pria itu tersenyum, “tidak perlu, Mas. Tolong obatnya diminum tepat waktu, dia juga butuh istirahat yang cukup.”
Natta mengangguk pelan, menatap obat di tangan. Dokter pun undur diri, Natta mengantarnya sampai keluar dari rumah.
Elizah termenung, dia merasa sudah baikkan dan Natta kembali. Menarik alat kecil dari mulut Elizah. Ia melihat demam Elizah sudah turun. Natta terlihat sedikit tenang.
“Aku cuman demam. Kenapa harus memanggil dokter segala?” Elizah mengubah posisi, dia duduk dan Natta duduk di sebelahnya.
“Wajah kamu sampai merah tadi. Aku takut... “ Suara Natta serak, menatap Elizah begitu lemah. Elizah balas menatapnya.
“Aku cuman kecapek’an.” Elizah mencoba menenangkannya. Tapi, ia merasakan hidungnya mampet sekarang.
“Aku tinggal sebentar, ya. Aku mau beli bubur,” ucap Natta berpamitan dan Elizah mengangguk. “Istirahat, mana ponsel kamu?”
“Di dalam tas.”
Natta mengambil ponsel Elizah. Memberikannya.
“Telepon aku kalau ada apa-apa.” Natta meraih jaketnya dan Elizah menatap kepergiannya. Setelah pintu masuk ditutup, dikunci, Elizah melirik ke atas meja. Ponsel Natta ketinggalan dan terus bergetar. Jika dia tidak mengambilnya, ponsel Natta bisa hancur jatuh ke lantai.
Elizah mengayunkan kedua kakinya turun, dengan lemas melangkah mengambil ponsel itu. Terpampang panggilan masuk atas nama Furqon.
Semangat
Tulisanmu sdh semakin terasah
Mirza emang ya keras kepala takut banget turun martabat nya