Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Dingin
Aku duduk di bangku gazebo, tempat biasa aku dan Laura duduk. Sore itu, hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan simfoni yang menggema dalam keheningan hatiku. Di tanganku ada sebuah apel, tapi rasanya tidak seistimewa dulu. Pandanganku terangkat ke langit, seolah mencari jawaban atas teka-teki yang telah membuat jiwaku tersesat.
"Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?" tanyaku pada diriku sendiri, suaraku hampir tenggelam dalam suara hujan.
Bayanganku beralih ke Ringa. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, bahkan menghubunginya pun jarang. Aku tahu dia masih di sana, menjalani hidupnya yang mungkin juga penuh dengan kebingungan dan kesedihan. Namun, ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami, sebuah larangan yang melampaui nalar.
Setelah kepergian Laura, hidupku menjadi seperti lakon yang kehilangan pemeran utamanya. Aku berkuliah di jurusan perkebunan, tempat seharusnya aku menemukan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan kampus. Namun, semuanya terasa seperti bayangan yang terus menghantuiku.
Di setiap sudut kampus, aku merasa seperti pengamat dalam drama yang tidak bisa kuikuti. Mahasiswa lain tampak menjalani hidup mereka dengan riang, sementara aku terjebak dalam labirin kesedihan yang membelenggu. Di ruang kelas, dosen-dosen menyampaikan materi dengan semangat, tapi pikiranku selalu melayang, terjebak antara kenangan dan kenyataan.
Pak Arif, dosen kami yang bijak, sering kali mengamati dengan mata yang tajam namun penuh pengertian. Suatu hari, saat aku sedang memeriksa kondisi tanaman di kebun percobaan, dia mendekatiku dengan langkah yang tenang namun pasti.
"Ryu, kamu terlihat lelah akhir-akhir ini. Apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan nada yang lebih mirip bisikan rahasia.
Aku terkejut oleh perhatiannya. "Hanya sedikit tekanan, Pak. Saya akan baik-baik saja," jawabku singkat, berusaha menyembunyikan beban yang menghantui.
Pak Arif mengangguk perlahan, seolah membaca pikiran yang tidak terucap. "Ingatlah, dalam setiap tanaman yang tumbuh, ada harapan yang tersembunyi di bawah tanah."
Suatu sore, ketika aku sedang duduk di kebun apel, mencari ketenangan di antara daun-daun yang berguguran, aku menemukan sebuah buku tua di salah satu pohon apel yang batangnya bolong. Kulitnya kusam, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatianku. Judulnya tidak jelas, tapi ada sebuah nama yang tertulis di halaman pertama: "Laura."
Tanganku gemetar saat membuka halaman-halaman berikutnya. Buku itu penuh dengan catatan-catatan yang ditulis dengan tangan yang indah, hampir seperti puisi. Di antara catatan-catatan itu, ada deskripsi tentang tempat-tempat yang pernah kukunjungi bersama Laura.
"Laura, apa yang ingin kau sampaikan padaku?" bisikku, merasakan kehadirannya dalam setiap kata.
Catatan itu mengungkapkan lebih banyak dari yang kuharapkan. Laura, dalam gaya menulisnya yang khas, menggambarkan perasaannya yang mendalam tentang dunia, cinta, dan takdir. Setiap kata seolah-olah menggali lebih dalam ke dalam hatiku, membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Di halaman-halaman terakhir, ada satu catatan yang berbeda dari yang lain. Laura menulis tentang seseorang bernama Inggit, seseorang yang mirip dengannya, namun dengan perbedaan kecil yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang benar-benar mengenal Laura.
"Inggit?" gumamku pelan.
Aku melanjutkan membaca buku yang ditulis oleh Laura.
"Inggit adalah bayanganku," tulis Laura. "Dalam dirinya, aku melihat masa lalu dan masa depan yang mungkin. Dia adalah bagian dari hidupku yang tak bisa kuhilangkan, meskipun kami berbeda dalam banyak hal."
Aku terdiam, merenungkan kata-kata itu. Siapa Inggit, Laura tidak pernah bercerita sekalipun tentang seseorang yang mirip dengannya. Hari-hari berikutnya, aku merasa terdorong untuk menemukan Inggit. Ada sesuatu dalam catatan Laura yang membuatku yakin bahwa dia adalah kunci untuk memahami lebih banyak tentang Laura dan diriku sendiri.
Keesokan harinya, di kelas. Aku sedang termenung memikirkan buku yang ditinggalkan Laura, siapa Inggit? Dan apa hubungannya dengan Laura?
Lalu tiba-tiba Niko, teman satu kelas di kampusku mengejutkanku.
"Ryu, kamu tahu gak? Anaknya Pak Arif cantik banget loh, dia bakal satu jurusan sama kita," ujarnya Antusias.
"Oh," Aku menanggapi Niko dengan dingin.
Aku saat ini sedang tidak memikirkan wanita, sejak kematian Laura, hatiku sudah tertutup. Belum lagi, Ringa yang aku tak tahu kabarnya, wanita yang selalu kucintai, menghilang setelah pertemuan terakhir kami di pemakaman Laura.
Hingga, aku akhirnya melihat seorang wanita cantik, rambut lurus panjang, hidung mancung, dengan bibirnya yang melengkung seperti kucing, dia sangat mirip dengan Laura, masuk ke kelasku. Tanpa aku sadari, tubuhku berdiri dan berlari untuk menghampiri wanita itu dan secara reflek menggenggam tangannya.
"Laura?" tanyaku dengan rasa tidak percaya.
Seluruh kelas memandangku keheranan, aku yakin gadis ini adalah Laura, bahkan berkali-kali aku meyakinkan mataku, aku yakin dia adalah Laura.
Gadis itu reflek membuang tanganku, lalu menatapku dengan tajam. "Namaku Inggit! Siapa Laura! Hei kamu, jangan sembarangan sentuh tangan orang! Dasar gila!" katanya dengan perkataan yang sangat menyakiti hatiku.
Aku terdiam, menatap Inggit yang berdiri di hadapanku dengan tatapan penuh kemarahan. Wajahnya yang mirip Laura membuat hatiku bergetar, menciptakan kekacauan dalam pikiranku yang sudah penuh dengan pertanyaan tak terjawab. Suasana kelas mendadak sunyi, seolah semua orang menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Maaf," kataku, suaraku hampir tak terdengar di tengah keheningan. "Aku hanya... kamu sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal."
Inggit memutar matanya, lalu melangkah mundur dengan kaku. "Well, aku bukan orang itu," jawabnya dingin sebelum berjalan menuju bangkunya, meninggalkan aku dalam kebingungan yang semakin mendalam.
Hari itu berlalu dalam kabut kesadaran yang terfragmentasi. Pikiranku terpecah antara kenangan Laura dan keberadaan Inggit. Kelas yang seharusnya menjadi tempat aku belajar tentang tanaman kini menjadi medan perang emosional yang membingungkan. Pak Arif, dosen kami, memperhatikan perubahan sikapku dengan mata yang penuh kebijaksanaan namun tidak mengomentarinya.
Nama gadis itu adalah Inggit, nama yang dituliskan Laura di dalam bukunya, hari ini juga adalah hari pertama aku melihatnya di kampus.
Tanpa sadar Niko sedari tadi memperhatikanku, dan memecahkan lamunanku, "Ryu, apa kau gila? Itu anaknya Pak Arif, yang tadi aku ceritain!"
Aku tergagap, tersentak dari lamunanku oleh suara Niko yang tajam dan penuh rasa ingin tahu. Ia menatapku dengan ekspresi keheranan, alisnya terangkat tinggi seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kusaksikan.
"Anaknya Pak Arif?" tanyaku dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang terseret oleh angin sore. Pikiranku berputar, mencoba memahami kebenaran di balik pernyataan Niko. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada takdir yang lebih besar yang bermain di sini?
Niko mengangguk, "Ya, Inggit. Namanya sudah sering disebut-sebut di kampus. Dia baru kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan studinya di sana." Ada nada kekaguman dalam suaranya, namun juga sedikit rasa khawatir melihat keadaanku yang masih terkejut.
Aku mengangguk pelan, berusaha menenangkan pikiranku yang bergejolak. "Maaf, Niko. Aku hanya... aku tidak menyangka bertemu dengan seseorang yang begitu mirip dengan seseorang yang pernah aku kenal."
Niko mengerutkan kening, lalu menepuk pundakku dengan penuh semangat. "Tenang, Ryu. Mungkin ini kesempatanmu untuk memulai lembaran baru. Siapa tahu, bertemu Inggit bisa membantumu keluar dari bayang-bayang masa lalu."
Aku tersenyum tipis, mengangguk sebagai tanda terima kasih atas dukungannya. Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa ini bukan sekadar kebetulan. Ada misteri yang perlu kuungkap, dan Inggit adalah kunci dari semua pertanyaan yang membelenggu pikiranku.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba mendekati Inggit dengan lebih hati-hati. Setiap kali kami berpapasan di kampus, aku berusaha menyapa dan memulai percakapan ringan. Namun reaksinya sedingin es, dia sama sekali tidak menanggapiku. Namun reaksinya sedingin es, dia sama sekali tidak menanggapiku. Wajahnya yang serupa dengan Laura tampak berbeda dengan sikap yang ditunjukkannya. Jika Laura adalah wanita yang ramah dan hangat, Inggit adalah kebalikannya—dingin dan pemarah.
Suatu pagi, ketika aku melihatnya berjalan sendirian di koridor kampus, aku memutuskan untuk mencoba lagi. "Selamat pagi, Inggit," sapaku dengan senyum.
Inggit hanya melirikku sekilas, tanpa menghentikan langkahnya. "Pagi," jawabnya singkat, nadanya datar dan tanpa emosi.
Aku merasa seperti berbicara dengan dinding yang tidak memberikan respon apa pun. Meski begitu, aku tidak menyerah. Aku mengikuti langkahnya, berusaha untuk tetap tenang dan sabar.
"Kamu suka kelas Pak Arif?" tanyaku mencoba membuka percakapan.
Dia berhenti sejenak, menatapku dengan tajam. "Ryu, aku tidak tahu apa yang kamu inginkan dariku, tapi aku sedang tidak ingin berbicara. Bisakah kamu membiarkanku sendiri?" katanya dengan nada yang tajam dan tegas.
Aku terdiam, merasakan dinginnya sikapnya yang menusuk. "Maaf, aku hanya ingin mengenalmu lebih baik. Kamu mirip sekali dengan Laura dan—"
"Aku bukan Laura!" potongnya dengan suara yang lebih keras, matanya berkobar dengan kemarahan yang tiba-tiba. "Aku tidak peduli siapa Laura atau kenapa kamu terus menggangguku dengan cerita-cerita tentangnya. Aku Inggit, bukan orang lain."
Kata-katanya menghantamku seperti badai, mengingatkanku betapa berbeda sifatnya dari Laura. Laura selalu tersenyum, menyapa semua orang dengan hangat, sementara Inggit tampak selalu menjaga jarak, seolah dunia ini penuh dengan bahaya yang harus dihindari.
Beberapa hari kemudian, aku mencoba lagi. Kali ini, aku menunggunya di perpustakaan, tempat yang sepi dan tenang, berharap suasana yang lebih damai bisa meluluhkan sikap dinginnya. Ketika dia masuk, aku memberanikan diri untuk mendekatinya.
"Inggit, bisakah kita bicara sebentar? Aku janji tidak akan mengambil banyak waktu," pintaku dengan nada setenang mungkin.
Dia mendongak dari buku yang sedang dibacanya, ekspresinya tidak berubah. "Apa lagi sekarang?" tanyanya tanpa sedikit pun memperlihatkan minat.
"Aku hanya ingin minta maaf jika aku mengganggumu," kataku. "Aku tidak tahu apa yang telah kau lalui, tapi aku ingin mencoba memahami. Aku harap kita bisa berbicara dengan lebih baik."
Inggit menghela napas, lalu menutup bukunya dengan perlahan. "Ryu, kau harus mengerti bahwa aku bukan orang yang suka berbagi cerita. Aku punya batasan dan aku harap kau bisa menghargainya."
"Aku menghargai itu," jawabku cepat. "Tapi aku percaya ada sesuatu yang penting yang harus kita temukan bersama. Sesuatu yang berkaitan dengan Laura."
Dia menatapku lama, seolah menimbang-nimbang kata-kataku. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, dan jujur saja, aku tidak peduli. Hidupku sudah cukup rumit tanpa harus menambah masalah baru. Jadi, tolong, biarkan aku sendiri."
Aku mengangguk pelan, menerima kenyataan bahwa pendekatanku mungkin salah. "Baiklah, Inggit. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Tapi jika suatu saat kau merasa ingin berbicara, aku ada di sini."
Dia tidak menjawab, hanya kembali membuka bukunya dan mengabaikanku sepenuhnya. Dengan hati yang berat, aku meninggalkan perpustakaan, menyadari bahwa mungkin butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk menjembatani jurang yang memisahkan kami. Meski begitu, aku bertekad untuk tidak menyerah, percaya bahwa di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang lebih dalam yang menunggu untuk ditemukan.