Elisabet Stevani br Situmorang, tadinya, seorang mahasiswa berprestasi dan genius di kampusnya.
Namun, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Elisabet kecewa dan marah, demi menghibur dirinya ia setuju mengikuti ajakan temannya dan kekasihnya ke klup malam, ternyata ia melakukan kesalahan satu malam, Elisabet hamil dan kekasihnya lari dari tanggung jawab.
Karena Ayahnya malu, untuk menutupi aib keluarganya, ia membayar seorang pegawai bawahan untuk menikahi dan membawanya jauh dari ibu kota, Elisabet di kucilkan di satu desa terpencil di Sabulan di Samosir Danau toba.
Hidup bersama ibu mertua yang yang sudah tua dan ipar yang memiliki keterbelakangan mental, Elisabet sangat depresi karena keluarga dan suaminya membuangnya saat ia hamil, tetapi karena kebaikan ibu mertuanya ia bisa bertahan dan berhasil melahirkan anak yang tampan dan zenius.
Beberapa tahun kemudian, Elisabet kembali, ia mengubah indentitasnya dan penampilannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihina Suami Karena Jelek
Vani memikirkan tentang apa yang dikatakan Netta, kalau umur seseorang tidak ada yang tahu.
‘Apa yang dikatakan eda itu benar, mama sudah tua, dia pasti ingin melihat anak-anaknya sehat’ Vani membatin.
Malam sudah semakin larut, tetapi matanya engan diajak tidur, Vani duduk menikmati angin malam menatap kelap lampu jalanan ibu kota, hati itu mulai terasa semakin kosong.
Vani mengaktifkan nomor lamanya kembali, lalu ia menelepon Bonar.
“Halo!” suara di sekitar Bonar berisik, Vani tahu pastilh lelaki itu mencari hiburan.
“Abang keluar dulu,” ujar Vani.
“Ya, tunggu sebentar.” Bonar berjalan meninggalkan clup malam, ia berjalan ke arah taman di depan gedung.
“Sudah keluar?”
“Kamu dari mana saja, kenapa nomormu tidak aktif”
“AKu sibuk Bang, aku sibuk agar kami bisa makan”
“Ya, jangan marah”
“Bukan seperti abang yang hanya memikirkan diri sendiri”
“Kok jadi marah, kamu mau menelepon mau apa sebenarnya”
“Inang mau bertemu kamu”
Bonar terdiam beberapa saat. “ Waktu itu aku sudah bilang kalau aku ingin bertemu mama juga kamu yang tidak memperbolehkan, baiklah, nanti aku akan pulang”
“Aku yang akan membawanya ke Jakarta”
“Jangan, biar aku saja yang pulang,” potong Bonar panik.
“Kenapa abang jadi takut, aku tidak akan meminta ongkos pesawat dari abang”
“Bukan masalah itu, kamu tidak boleh datang ke Jakarta”
“Kenapa …? Tenang saja aku tidak akan membuat masalah sama kalian dan aku juga tidak ingin mengurusi kehidupan kalian semua, ini aku lakukan demi inang dan anakku, beberapa hari ini kesehatan ini menurun, anakku sangat khawatir dan aku tidak suka melihatnya”
“Makannya aku bilang kalian di kampung saja, biar aku yang pulang”
“Kenapa abang takut? Kamu takut aku melihat kamu sama istrimu”
“Kamu ngomong apa sih”
“Abang tidak usah bohong, aku sudah melihat kamu sama wanita itu, jadi, tidak usah abang bilang kalau kamu belum menikah”
“Dari mana kamu melihatnya? Jangan bilang kalau kamu sudah di Jakarta”
“Sayang Ya, aku sudah di Jakarta sama inang”
“APA? Vani itu bahaya!”
“Tidak akan ada bahaya, aku sudah sepuluh tahun kalian buang, masa aku tidak bisa datang ke rumahku sendiri?”
Bonar diam, ia sangat ketakutan saat Vani menyebutkan kalau ia sudah ada di Jakarta.
“Kalian di mana, aku akan datang”
“Besok aku akan menentukan tempat kalian bertemu kalian dengan inang”
“Tidak usah nunggu besok, aku akan datang”
“Tunggu kabar dari aku”
“Kamu kenapa jadi keras kepala!” Bentak Bonar.
“Aku bukan anak kecil yang harus kamu bentak-bentak Pak Bonar”
“Kau kenapa jadi berubah, waktu itu kita baik-baik saja,” ujar Bonar.
Vani sangat marah pada Bonar saat itu, karena ia merasa di bohongin, di telepon Bonar mengaku padanya kalau ia sedang bekerja, saat Vani menyamarkan penampilannya ia melihat Bonar chek-in dengan seorang wanita ke hotel, entah kenapa ia sangat marah mulai sejak itu pada Bonar.
“Semuanya bisa berubah, Pak Bonar”
“Apa kamu cemburu, karena aku sama wanita lain?” tanya Bonar tertawa sinis, ia berpikir kalau Vani sudah berubah jadi wanita kampung, sama seperti yang ia lihat saat mereka bertemu di kota Siantar saat itu.
“Tidak,” jawab Vani.
‘Seharusnya aku tidak cemburu sih … tapi biar bagaimanapun aku adalah istrimu yang sah, jangan lupakan itu’ Vani membatin.
“Vani … aku minta maaf tetapi saat ini seleraku sudah berbeda”
“Oh, aku tahu bang Bonar, saat ini kamu seorang pekerja kantoran dan sekolah tinggi, sedangkan aku wanita yang putus kuliah yang tinggal di kampung”
“Itu kamu yang bilang sendiri,” ujar Bonar.
“Jangan khawatir Bang, aku bisa menjaga perasaanku sendiri”
“Kamu yang salah, aku meminta kamu untuk memilih”
“Memilih apa?” Tanya Vani.
“Aku bilang padamu saat itu tanda tangani surat cerai kita agar kita berdua jangan terikat satu sama lain . Lalu kedua, kalau kamu ingin jadi istriku, kamu harus melayaniku sebagai suamimu dan meminta kita bertemu di hotel di Medan kamu menolak semuanya, lalu mau kamu apa, kalau terus seperti itu barangku bisa karatan, aku ini lelaki normal,” ujar Bonar.
‘Bagaimana dengan aku yang sepuluh tahun menahan diri?’ Vani membatin.
“Jangan membahas yang lain, aku hanya ingin kamu bertemu inang saja”
“Tunggu … boleh aku bertanya?”
“Apa?” tanya Vani
Apa kamu tidak pernah menginginkan itu juga?”
“Menginginkan kehangatan dari seorang pria?”
“Tidak Pak Bonar. Tidak, aku tidak pernah menginginkannya, aku bisa menahan diri, bukan seperti kamu yang mencoba banyak wanita”
“Munafik … masa kamu tidak menginginkannya, bagaimana kalau kita bertemu, mumpung kamu lagi di Jakarta, lebih baik melakukan sama suami sendiri kan, dari pada kamu kesepian,” ujar Bonar meledek.
“Tidak terimakasih”
“Dengar … harusnya kamu bersyukur, dapat suami seperti aku, kamu sudah lihat, kan, aku bukan Bonar yang dulu lagi kan, kamu sudah melihatku, tampangku seperti apa”
“Ya, kamu sudah tampan Pak Bonar, maaf aku tidak ingin melakukanya”
“Kenapa kamu tidak mau, ya sudah lakukan saja pakai terong”
“Pikiran kotor,” ketus Vani.
“Lagian aku membujuk kamu untuk bertemu dari tadi kamu tidak mau, aku ini suamimu, dari pada aku melakukannya sama orang lain, lebih baik aku melakukan dengan kamu kan?”
“Kamu lagi mabuk besok saja kita bicara lagi”
“Aku tidak mabuk Vani, ayo kita bertemu ada banyak yang aku katakan padamu”
“Aku tidak bisa Bang, tidak ada teman inang di sini”
“Baiklah katakan kalian di mana?” Tanya Bonar mulai kehabisan kesabaran, karena Vani menolak untuk bertemu malam itu.
Vani layak mendapat julukan wanita yang paling sadar di dunia ini, saat Bonar membohonginya beberapa kali, ia masih sabar, ia sempat merasa tersanjung saat Bonar menyebutkan kalau tidak ada wanita dalam hatinya, ia beberapa kali mengaku pada Vani kalau hanya ia wanita dalam hidupnya. Tetapi saat ia dan William ada pertemuan dengan klien di salah satu hotel, ia melihat Bonar baru masuk dengan seorang wanita, saat itu ia sempat kecewa dan marah. Tetapi Vani sadar lagi kalau sejatinya hubungannya dengan Bonar hanya menikah karena terpaksa.
“Vani, kamu sadar … kamu bukan gadis cantik seperti sepuluh tahun yang lalu, sekarang ini kamu hanya seorang wanita kampung yang jelek,” ujar Bonar mulai merendahkannya karena marah
“Terserah, walau aku jelek aku tetap istrimu,” ujar Vani dengan tenang.
‘Tenang bang Bonar, kamu hanya melihatku dari satu sisi, kamu tidak tahu aku yang sebenarnya, aku bukan wanita seperti yang kamu pikirkan, penampilanku saat kita bertemu itu hanya penyamaran, jangankan kamu Andre saja bisa bertekuk lutut lagi jika melihatku’ Vani membatin, ia tersenyum kecut saat Bonar marah-marah dan mengejek penampilan Vani.
Bersambung ...