Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 02 - Bertemu
Rafael Wilbur. Seorang pewaris tunggal dari perusahaan interior terbesar di Bern—Gent Art Interior. Dia mengelola perusahaan tersebut sejak ia lulus dari bangku kuliah hingga saat ini, hal itu dikarenakan ayah Rafael sudah tiada dan kakeknya tidak bisa lagi meneruskan pekerjaannya akibat usia.
Semenjak dikendalikan oleh Rafael, perusahaan tersebut semakin maju dengan pesat sehingga dia mampu mendirikan beberapa cabang di setiap kota, bahkan namanya dikenal oleh banyak orang.
Awalnya dia bertekad untuk tidak menikah cepat, karena dia masih ingin memajukan perusahaannya lebih baik lagi, namun siapa sangka bahwa pertemuannya dengan Rachel mampu mengubah pikirannya, dan dia sangat mencintai wanita tersebut.
Kini, satu minggu telah berlalu dan Rafael masih belum mampu menemukan keberadaan pujaan hatinya. Selama tiga hari, tim pencari baru bisa menemukan 13 korban tewas, dan sisanya masih dinyatakan hilang.
Masih memiliki tanggung jawab, Rafael memutuskan untuk kembali, dia harus mengurus perusahaannya. Namun, dia tak tinggal diam, dia menyuruh orang disana untuk selalu memberi kabar padanya mengenai setiap korban yang ditemukan.
Malam hari tiba, Rafael yang mengingat seseorang dibenaknya, memilih untuk pulang ke rumah kakeknya dan hendak meminta maaf pada salah satu orang yang berada disana.
Saat itu, James—kakek Rafael, dan Adeline tampak tengah menikmati makan malamnya. Beberapa pelayan yang menyadari kehadiran Rafael pun langsung membungkukkan tubuhnya dan menyiapkan piring serta gelas berisikan air untuknya.
“Cucu kakek sudah tiba, kenapa tidak memberi kabar kalau kau hendak pulang dan datang kemari?” James memeluk cucu satu-satunya dan Adeline yang baru menyadari adanya Rafael pun langsung tersedak.
“Hei, hati-hati. Aku tidak akan merebut makanan itu darimu.” Dengan cepat Rafael menyodorkan segelas air pada Adeline seraya mengusap puncak kepalanya.
“Aku sudah selesai makan, kek. Aku akan kembali ke kamar.” Tutur Adeline yang menghiraukan keberadaan pria di sisinya.
Gadis itu langsung menuju ke kamarnya, dan Rafael hanya menatapi punggung gadis tersebut yang semakin jauh. Namun, dia lebih memilih untuk duduk bersama kakeknya dan makan disana, karena kebetulan dia pun belum memakan apapun sejak pagi.
James tidak bicara sedikit pun ketika melihat cucunya makan, dia tahu apa yang sedang dipikirkan Rafael saat ini. Pikirannya sedang kacau, namun pria tersebut selalu berhasil menyembunyikan bahkan menyimpan semua lukanya sendiri. Rafael sangat handal melakukan hal tersebut.
Merasa berat, akhirnya dia pun meneteskan air matanya kala menyuapkan makanan ke mulutnya. Bagi James, ini adalah pertama kalinya dia melihat cucunya menangis sesak seperti sekarang. “Masih belum ada kabar apapun?” James mencoba buka suara dan Rafael hanya menggeleng.
Menyudahi makannya, Rafael langsung memeluk erat kakeknya. Dirinya masih tidak menduga bahwa hal seperti ini akan menimpa dirinya, terlebih mereka akan mengadakan acara pernikahan dalam kurun waktu dua bulan mendatang.
“Tenangkan dirimu, nak. Sementara ini tinggallah disini terlebih dulu, setidaknya sampai kamu pulih.”
“Bagaimana dengan Adel, kek?” Rafael mengusap air matanya dan mencoba mengatur napasnya kembali. “Apakah dia sudah mulai bekerja?” Timpalnya lagi.
“Dia bekerja di Escort Hospital dan dia mengatakan bahwa dia sangat senang menjadi perawat disana, dia sudah mendapatkan rekan hanya dalam dua hari bekerja. Begitulah yang dia ceritakan padaku.”
“Aku akan menemuinya untuk bicara. Aku bersalah padanya karena saat itu tidak bisa menepati janjiku untuk menjemputnya dibandara. Dia pasti sangat kecewa.”
Sesuai dengan ucapannya, Rafael bergegas menuju kamar Adeline. Dia mengetuk pintu tersebut sebelum masuk kedalamnya. Melihat Adeline yang tengah duduk di meja belajarnya membuat Rafael langsung menghampirinya.
Menyadari kehadiran Rafael, Adeline tetap pada tempatnya. Dia tetap fokus membaca tanpa menghiraukan keberadaan pria tersebut. “Kau benar-benar berhasil mewujudkan mimpimu, huh?” Pria itu duduk di ranjang dengan posisi Adeline membelakanginya.
“Aku pikir tidak sepenuhnya,” balasnya yang langsung menutup bukunya.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu disini? Aku dengar kau sudah mendapat teman baru?”
“Ya, dia seorang pria bernama Efran, dia sangat baik dan sangat ramah saat pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah sakit itu.”
“Kau marah padaku, huh? Sejak tadi kamu bicara tanpa memandangku, bahkan kau menghindariku saat diruang makan tadi. Aku sungguh minta maaf karena saat itu tidak bisa menjemputmu dan juga tak sempat membalas pesan darimu.”
“Lupakan saja soal itu. Aku mengerti, kakek sudah menceritakan semuanya.” Adeline membalikkan tubuhnya dan tersenyum pada pria dihadapannya. “Sudah malam, aku harus tidur sekarang.” Timpalnya lagi.
“Sebagai gantinya, aku akan mengantarmu bekerja besok, membawamu makan siang dan menjemputmu pulang bekerja sekaligus makan malam bersama diluar,”
“Sungguh?” Memang tampak mudah membujuk Adeline ketika tengah marah, dia seperti itu karena memang dia tidak bisa marah terlalu lama pada Rafael.
Pagi harinya setelah sarapan, Adeline terlihat begitu semangat, yah karena hari itu Rafael akan mengantarnya dan dia sungguh merindukan kebersamaannya dengan pria itu. Dalam perjalanan, Adeline hanya memandangi jalanan Bern yang sudah sangat lama tidak ia tinggali.
Menurutnya tempat itu sudah banyak mengalami perubahan selama tiga tahun dia meninggalkannya. Kota itu semakin indah menurutnya, dan dia mungkin akan menetap di kota tersebut tanpa ada rasa ingin pergi lagi.
Kini, keduanya telah tiba di Escort Hospital, Adeline yang baru turun itu pun langsung di ikuti oleh Rafael. “Bekerjalah dengan baik, jika terjadi sesuatu segera hubungi aku. Aku akan menjemputmu untuk makan siang nanti,” pungkasnya seraya mengusap puncak kepala Adeline.
Mendapati perlakuan seperti itu membuat wajah gadis itu bersemu merah, jantungnya berdetak tak karuan setiap kali menerima perlakuan khusus dari pria yang ia sukai. Entahlah, meski Rafael tengah berada di posisi sedih, dia selalu bisa menutupi semuanya seakan tidak terjadi apa-apa.
Rafael yang telah pergi, Adeline pun bergegas masuk dan langsung mengganti pakaiannya. Senyumnya terus mengembang tanpa luntur sedikit pun sehingga membuat rekan-rekan kerjanya merasa bingung dengan sikap gadis itu.
“Tadi itu bukankah tuan Wilbur? Kamu mengenalnya?” celetuk seorang pria yang tengah mengisi data pasien, dan Adeline hanya mengangguk menanggapi pertanyaan rekannya.
“Bagaimana bisa kamu mengenal tuan Wilbur?” Salah seorang perawat yang baru saja datang pun ikut menyeletuk.
“Mendiang orang tua kami bersahabat,” ungkap gadis itu dengan senyum sumringahnya kemudian berjalan meninggalkan mereka, dan pria disana pun langsung mengejar langkah gadis itu.
“Apa kamu menyukai pria itu?” Pertanyaan tersebut spontan membuat langkah Adeline terhenti, dan pria di sisinya mengerti akan sikap gadis tersebut.
“Efran, bagaimana jika kita pergi mengecek kondisi pasien yang baru saja di operasi kemarin? Bukankah kamu dokter jaga dari pasien tersebut?” Adeline menoleh seraya tersenyum lembut pada pria di sisinya, meski begitu Efran tau bahwa senyuman itu hanyalah sebuah senyum palsu.