"Hentikan gerakanmu, Bella," ucap Leo berat sambil mencengkram pinggang Bella. Bulu halus di tubuh Bella meremang, napas mint Leo memburu dengan kepalanya tenggelam di perpotongan leher Bella membuat gerakan menyusuri.
"kak, jangan seperti ini."
"Bantu aku, Bella."
"Maksudnya bantu apa?"
"Dia terbangun. Tolong, ambil alih. aku tidak sanggup menahannya lebih lama," ucap Leo memangku Bella di kursi rodanya dalam lift dengan keadaan gelap gulita.
Leo Devano Galaxy adalah pewaris sah Sky Corp. 2 tahun lalu, Leo menolak menikahi Bella Samira, wanita berusia 23 tahun yang berasal dari desa. Kecelakaan mobil empat tahun lalu membuat Leo mengalami lumpuh permanen dan kepergian misterius tunangannya adalah penyumbang terbesar sifat kaku Leo.
Hingga Bella berakhir menikah dengan Adam Galaxy, anak dari istri kedua papa Leo yang kala itu masih SMA dan sangat membenci Leo.
Sebenarnya Apa yang terjadi pada Leo hingga ingin menyentuh Bella yang jelas-jelas ia tolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Pendarahan hebat
"Aww ... Perutku," ujar Bella kesakitan.
Airmata mulai berdesakan di pelupuk matanya. Rasa nyeri mulai menjalar ke perut hingga pinggangnya.
Tapi,wanita di depan Bella itu belum puas. Ia tarik rambut Bella yang terikat ekor kuda. Baru, ia puas melihat Bella tambah kesakitan.
"Des, lepaskan!"
Mohon Bella. Satu tangannya menahan tangan Desi yang tertawa jahat.
"Gak! Sebelum anak mu itu gugur! Dengar Bella, cuman anak ku yang cocok jadi cucu keluarga Galaxy. Bukan anak dari wanita udik sepertimu!" hardik Desi bahkan mendorong kasar kepala Bella.
Kondisi sepi dan tepat di pojok rumah sakit membuat aksi bully Desi tidak di ketahui siapapun. Bella mengigit bibirnya berusaha kuat.
Demi Tuhan, rasanya ia akan pingsan.
"Des, aku mohon ... selamatkan anakku ...."
Desi melangkah mundur saat Bella akan menggapai kedua kakinya. Ia melipat tangan di dada. Menyaksikan Bella yang terus mendesis.
Akhirnya, keinginannya terkabulkan untuk menyiksa Bella.
"Ck, dasar wanita bodoh! Selamat menikmati rasa sakit, aku pergi dulu."
Ponsel dalam tas mahal Desi berdering. Wanita itu tersenyum miring. Ia menambah volume panggilan itu agar Bella mendengar orang yang berbicara di seberang sana, Adam.
"Halo sayang," sapa Desi manja.
Matanya menatap Bella yang berusaha bangkit. Bella terpekik kembali, jarinya Desi injak mengunakan heels merah wanita itu.
"Yank, kamu--"
"Awww!" airmata Bella terjatuh di lantai.
'Sial!' batin Desi.
"Des, kok kayak suara Bella. Kamu dimana? Aku kesana."
"Bella? Kamu salah dengar. Nggak ada Bella disini. Itu tadi ada cewek yang gak sengaja ke peleset. Udah ya, aku bentar lagi kesitu," kilah Desi lalu mematikan ponselnya.
Wajah Bella berubah semakin pucat, merasakan sesuatu keluar dari organ intimnya.
Sungguh, Bella tidak ingin kehilangan anaknya dan Leo itu.
"Desi, Des, tolong! Aku mohon!" iba Bella. Keringat mulai merembes banyak di keningnya.
Desi mengangguk. "Oke, aku bantu berdiri."
Bella berhasil berdiri di papah Desi. Kaki Bella gemetaran hebat. Ia sibuk mengelus perutnya. Tidak tahu, Desi membawanya semakin ke pojok gedung.
Bella tersadar saat Desi kembali mendorongnya memasuki sebuah ruangan pengap dan minim pencahayaan. Entah bagaimana, Desi tahu gudang rumah sakit itu. Bella terhempas duduk di lantai. Seketika, darah meluncur deras di kakinya.
"Ya Tuhan, sakit sekali!" rintih Bella.
"Ini dimana, Des? Aku tidak menyangka, ternyata kau benar-benar wanita iblis! Biadab!" maki Bella.
Emosi dan sakit hati berbaur jadi satu. Ia sangka, Desi akan membawanya ke UGD. Menyelamatkan bayi dalam kandungan Bella akibat perbuatan kasar wanita itu.
"Hahaha ... Aku wanita cerdas, Bella. Tidak sepertimu, lemah, cengeng dan juga tolol! Bagaimana ya, kalau Kanaya tahu. Kau itu wanita simpanan Leo? Uuu, kayaknya bakalan seru. Aku dan dia bisa bekerja sama menyingkirkan mu." Desi menyeringai di akhir katanya.
"Kau baik-baik lah disini. Nikmati setiap rasa sakit itu. Semoga saja, tidak ada yang menyelamatkanmu!" tunjuk Desi pada Bella.
Ia berbalik namun kepalanya berputar lagi, menatap Bella.
"Bayi sialan! Membusuk kau disini dengan ibumu!"
Blam!
"Desi!" teriak Bella.
Berusaha menyeret tubuhnya hingga jejak darah memanjang terlihat. Bella memutar kenop pintu berulang kali. Terkunci.
"Tolong!!"
"Tolong buka pintunya!"
Bella terus mengetuk. Tapi, tak terdengar sahutan ataupun suara apapun di luar.
Napas Bella memburu, ia berusaha tetap sadar meski kepalannya luar biasa pusing.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Anakku, sayang ... Bertahan ya. Mommy mohon. Bertahan!"
Bella menangis terisak. Memeluk perutnya sendiri. Tak lama, menegakkan kepala memeriksa sekitar, barang kali ada jendela yang bisa untuk Bella keluar. Ia tidak akan menyerah.
Harapan Bella, pupus, tidak ada jendela. Hanya kaca ventilasi kecil yang menyalurkan udara dari luar ke dalam saja.
"Bagaimana ini?!" panik Bella.
Ia duduk bersandar di daun pintu. Seketika, ia teringat tasnya. Bella beringsut mengambil ponsel di dalam sana. Ia segera menekan nomor telpon Leo.
Sayangnya, nomor pria itu sibuk.
Diparkiran rumah sakit, Leo menerima omelan dari Mom Aline melalui sambungan telpon. Paruh baya itu marah karena Leo meninggalkan Kanaya begitu saja.
Bahkan, Kanaya sampai menangis meminta jemput Mom Aline. Akhirnya, Mom Aline datang menemai Kanaya. Keduanya berada di mall, tempat Kanaya dan Leo akan membeli cincin pernikahan.
"Mom, besok. I'm promise. Hari ini, Mommy dan Kanaya jalan-jalan saja," ucap Leo sembari memperhatikan jam di pergelangannya.
Sudah setengah jam, Bella belum kembali juga, pikir Leo.
Rasa cemas dan takut menjalar kuat di hatinya.
'Ada apa ini? Kenapa wanita bodoh itu belum kembali?' batin Leo gundah.
"Tidak bisa Leo. Pernikahan kalian tinggal menghitung hari. Cincin itu adalah hal sakral. Tidak bisa di tunda-tunda. Kau jangan membohongi Mommy masalah pekerjaan. Mommy sudah menelpon di kantor. Kau tidak berada disana dan ada meeting pun tidak."
"Sekarang, jujur kau dimana?"
Leo menarik napas panjang. Jika wanita nomor satu di hidupnya ini sudah berbicara, Leo tidak mampu membantah. Ia begitu menyayangi mom Aline.
"Aku menemani Bella periksa kandungan, Mom."
Tidak ada jawaban beberapa menit. Hanya terdengar deru napas mom Aline.
"Kenapa kau yang menemaninya?"
'Karena akulah ayah biologisnya.'
Rasanya ingin Leo berkata begitu. Tanpa perlu di tutup-tutupi.
"Adam meninggalkannya di jalan, Mom. Apa aku salah menolongnya?" ujar Leo.
Ia rasa dirinya tidak berbohong, hanya memodifikasi kata.
"Anak itu, memang sangat menjiplak gen ibunya, huh! Syukur lah kau menolongnya. Sekarang, apa kalian sudah pulang?"
Leo mengedar, siluet tubuh Bella tidak terlihat di antara orang yang berlalu lalang.
"Masih di rumah sakit, Mom. Sebentar lagi, kami akan pulang."
Jawaban, mom Aline selanjutnya membuat wajah Leo kaku seketika.
Di ruangan lain, Revan begitu pusing menghadapi seorang wanita tengah melahirkan. Ya, Leo tadi menyuruh pria itu membagi-bagi uang dan makanan pada para wanita hamil yang mengantri. Naasnya, ada ibu muda yang datang sendirian dan mengakui Revan di depan dokter sebagai suaminya.
Jadilah, pria itu berada di ruang bersalin dengan wajah merah padam ketakutan dan lutut bergetar hebat. Lebih baik ia baku hantam, daripada mendengar teriakan wanita melahirkan.
Revan melihat saja, rasanya ingin mati.
"Tarik napas, keluarkan!" titah sang dokter.
"Bapak, istrinya, tolong di kasi semangat. Cium keningnya, berikan kata-kata lembut dan elus perutnya. Itu sangat manjur, karena bayi merasakan kehadiran ayahnya. Jadi kekuatan juga untuk sang istri."
'Ya ampun, menikah saja aku belum,' gerutu Revan dalam hati.
"Ayo, bapak silahkan!"
'Cium jangan, ngomong lembut yang ada aku membentaknya. Seenaknya dia mengklaim aku suaminya.'
Revan memutuskan mengelus perut yang membuncit itu. Revan terhenyak merasa pergerakan aneh menendang telapaknya.
"Dia hidup."
Sang dokter menepuk jidat. Karena perkataan polos Revan. "Jelas saja, dia akan keluar. Sekarang, berbisik lah padanya."
"Memang dia sudah punya telinga?" heran Revan.
Dokter mengangguk. "Coba saja."
Revan mendekatkan wajahnya. "Hei, kau! Berhenti berbuat onar! Segeralah keluar! Jangan menyusahkan ku terlalu lama, mengerti!"
Semua orang dalam ruangan itu saling pandang. Ajaibnya, kata-kata Revan tadi berhasil. Bayi dalam perut wanita itu semakin aktif.
Dering ponsel Revan membuat pria itu seketika ingat pekerjaannya.
"Eh, bapak mau kemana? Ini istri--"
"Istri orang dokter." Revan melepas jas khusus di tubuhnya. "Saya masih bujangan, permisi."
Tiba diluar, Revan menempelkan ponsel di telinganya. Suara bariton Leo langsung menyapa. Revan menelan ludahnya gugup.
"Kau dimana Revan?"
"Sa ... Saya, masih di rumah sakit Tuan. Apa anda sudah pulang?"
"Aku diparkiran. Tolong, kau susul Bella di toilet. Wanita itu tak kunjung kembali dari sana," titah Leo.
Dalam hati, ia tak henti mengumpat sepasang kakinya yang tak berguna.
"Baik Tuan."
Bella ditempatnya masih tak henti mengedor pintu. Tangan dan tubuhnya rasanya hampir mati rasa. Suara dari luar pintu tiba-tiba terdengar.
"Bella! Bella, kau denger aku?!"
Mata Bella yang berkunang-kunang berusaha fokus. "To-tolong!" teriak Bella dengan sisa tenaganya.
Bella tersenyum, menyangka itu adalah Leo. Orang yang menempelkan telinga di pintu itu mengangguk.
"Bella, bertahanlah! Tolong, menjauh dari pintu, aku akan mendobraknya!"
Bella bergeser perlahan, ia ganti bersandar di dinding. Mendengar tubrukan keras antar pintu dan tubuh sang penolong. Dobrakan ketiga, pintu itu terbuka lebar dan orang itu langsung memeluk erat Bella.
"Kak B-Brian ...," ucap Bella lalu tak sadarkan diri.
Brian Hasson

Revan Erlangga
tanda terima kasih aq kasih bintang lima ⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️