Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25~ SEMOGA KAMU TIDAK KECEWA
"Pa, tumben makannya cuma sedikit?" tanya mama Ratih ketika suaminya meletakkan sendok di piring lalu meraih segelas air putih dan meminumnya. Padahal makanan di piringnya masih belum habis.
"Sudah kenyang," jawab papa Haris setelah minum. Meletakkan kembali gelasnya lalu mengambil beberapa lembar tisu dan mengusap bibir. Entah kenapa, malam ini selera makannya tiba-tiba hilang. Seperti hatinya yang terasa kosong sejak Cinta dan Laura melangkah keluar dari rumah sore tadi.
"Papa duluan," ujarnya seraya berdiri. "Oh ya, nanti kalau kamu sudah selesai makan langsung susul Papa ke ruang tengah ya, ada yang mau Papa bicarakan sama kamu." Ia menatap Indri.
"Iya, Pa," jawab Indri.
Papa Haris pun beranjak pergi. Indri langsung menoleh menatap mamanya sambil mendengus kesal.
"Aku benar-benar udah muak, Ma!" Ia meletakkan sendok nya ke piring dengan kasar.
"Husss!" Mama Ratih menaruh jari telunjuknya di bibir sambil menatap kepergian suaminya. "Kamu apa-apaan sih? Papa kamu belum jauh, gimana kalau dia dengar kelakuan kamu gini!"
Indri berdecak kesal.
"Kamu pikir kamu aja yang capek? Mama juga capek pura-pura terus, Ndri. Tapi kita harus sabar sebentar lagi."
Indri membuang nafas kasar. Meraih segelas air di depannya dan meminum beberapa teguk. Setelahnya ia pun langsung menyusul papa Haris ke ruang tengah.
Ia duduk di samping papanya itu, seperti biasa langsung merangkul lengannya sambil tersenyum.
"Papa mau ngomongin apa sama aku?" tanyanya.
"Ndri, Papa memutuskan untuk kembali ke perusahaan mulai besok," ucap papa Haris.
Indri langsung melepas rangkulannya di lengan sang papa dan menatapnya dengan ekspresi terkejut. "Papa udah gak percaya lagi sama aku?"
Papa Haris menggeleng. "Bukan seperti itu, Ndri. Papa cuma bosan saja di rumah terus. Papa ingin seperti dulu, punya kesibukan."
"Cuma ingin punya kesibukan gak mesti harus kembali ke perusahaan, Pa. Papa bisa cari kesibukan lain, dengan bermain golf, mungkin? Atau kegiatan lainnya yang bisa membuat Papa lebih nyaman dan menyegarkan dan gak perlu menguras tenaga dan pikiran Papa dengan pekerjaan kantor."
Papa Haris terdiam sejenak. Mencoba mencari kalimat yang tepat agar Indri mengerti. "Ndri, Papa sangat berterima kasih sama kamu. Selama satu tahun ini kamu sudah sangat bekerja keras, perusahaan semakin berkembang semenjak kamu yang mengelola. Maka itu Papa ingin memberikan apresiasi, dengan mengistirahatkan kamu sementara waktu. Mungkin kamu bisa berlibur kemana saja yang kamu mau, untuk menyegarkan pikiranmu dari pekerjaan-pekerjaan yang mengurus otak. Dan Papa yang akan kembali memimpin perusahaan."
"Tapi, Pa?" Indri merasa keberatan. Ia tidak rela keluar dari perusahaan apapun alasannya.
Papa Haris menggenggam tangannya. "Tolong dengarkan Papa kali ini, Ndri. Kamu juga butuh istirahat sebentar. Jujur saja, Papa kasihan melihat kamu yang terkadang harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut. Itu pasti membuat kamu sangat lelah. Please, dengerin Papa, ya?" Ia menatap putri sambungnya itu dengan penuh harap.
Indri menghela nafas, kemudian mengangguk pelan. Emosinya ingin meledak saat ini, namun ia harus ingat pesan sang mama agar bersabar sebentar lagi.
"Gitu, dong. Kamu juga butuh istirahat." Papa Haris tersenyum lalu memeluk Indri.
Dibalik tubuh sang papa, Indri mengepalkan tangannya.
.
.
.
"Papa," ucap Vano sambil menunjuk dirinya sendiri seraya mendekatkan wajahnya dengan Laura. Ia sedang mengajari putrinya itu untuk memanggilnya papa.
"Papa... Papa... Papa... ." Ia mengulanginya beberapa kali agar Laura mengikutinya.
Balita cantik itu menggerakkan bola matanya mengikuti pergerakan bibir sang papa. "Pa pa pa," ujarnya sambil bertepuk tepuk tangan.
Vano tersenyum lebar. Hatinya seketika menghangat mendengar celotehan putrinya. Meskipun pengucapannya belum begitu jelas, namun ia merasa sangat senang, membuat setetes air mata sampai jatuh.
"Pa pa pa pa,"
Tak tahan, Vano mendekap tubuh mungil putrinya itu dan mengecup pipinya kiri dan kanan.
"Pa pa." Kali ini Laura menepuk-nepuk wajah sang papa.
"Iya, Nak, ini Papa. Maafin Papa ya, yang sudah terlambat menemukan kamu dan Mamamu. Kalian berdua pasti telah melewati banyak kesulitan tanpa Papa." Lagi, ia mengecup pipi putrinya itu. Kali ini seluruh bagian wajah yang begitu menggemaskan itu tak se inci pun lolos dari sapuan bibirnya.
Mendengar suara pintu kamar dibuka dari luar, ia dengan cepat mengusap sudut matanya. Mendudukkan kembali Laura di tempat tidur lalu mengajaknya bermain cilukba.
Suara cekikikan Laura menggema di dalam kamar saat Cinta baru saja masuk. Ia tersenyum melihat anak dan suaminya bermain. Tadi Vano kembali ke kamar lebih dulu bersama Laura setelah makan malam, sedang ia membantu bi Ninik merapikan meja makan lalu mengobrol sebentar bersama mama mertua dan adik iparnya.
"Mamma," ucap Laura kala sang mama ikut bergabung. Ia bertepuk tepuk tangan dan tersenyum pada mamanya memperlihatkan giginya yang baru tumbuh dua.
Vano langsung memasang ekspresi cemberut. "Kok dia lancar banget manggil kamu Mama. Tadi aja aku harus ngajarin sampai berulang kali untuk manggil aku Papa. Itupun cuma bisa Pa pa pa, gitu aja," ucapnya menirukan gaya bicara Laura.
Cinta terkekeh. "Kamu baru hari ini jadi Papanya. Dan aku, aku sudah bersamanya sejak dia lahir. Ya gak heran dong?"
"Iya juga, sih." Vano menggaruk pelipisnya.
"Lama-lama kalau sudah terbiasa, nanti Laura juga lancar manggil kamu Papa."
"Hem," Vano kembali mendekatkan wajahnya dengan Laura. "Papa." Ia mengulanginya sekali lagi. Tatapannya memancarkan harapan agar kali ini putrinya bisa menyebutnya papa tanpa harus terputus-putus.
"Pappa,"
Tak terkira senangnya hati Vano. Ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
"Tuh, kan, akhirnya bisa juga." Cinta turut senang melihat suaminya sangat senang saat dipanggil papa oleh Laura.
"Udah malam, bobok yuk." Vano mencolek hidung Laura, lalu membaringkannya ditengah-tengah tempat tidur. Kemudian ia pun ikut berbaring di samping putrinya itu.
"Mamma," Laura melambai-lambaikan tangannya pada sang mama.
Cinta tersenyum, ia mengerti jika Laura memintanya untuk ikut berbaring. Namun, ia masih merasa canggung harus berdekatan dengan Vano di satu tempat tidur.
"Honey, dipanggil sama Laura, tuh. Katanya, ayo Mamma bobok cini cama Pappa, bitinin atu dedek," gurau Vano seolah Laura yang sedang berbicara.
Melihat ekspresi wajah istrinya langsung berubah, Vano segera meralat ucapannya. "Bercanda, Sayang. Ayo sini, kita bobok bertiga."
Cinta mengangguk, namun tak serta merta langsung ikut gabung berbaring bersama suami dan anaknya. "Aku ke kamar mandi sebentar." Ia berdiri lalu segera menuju kamar mandi.
Vano menatap punggung istrinya dengan nanar, setelah tak terlihat lagi ia beralih menatap putrinya. "Nak, bantu Papa untuk menyembuhkan trauma Mama, ya."
Di dalam kamar mandi, Cinta membasuh wajahnya. Setelah itu ia menatap pantulan dirinya di cermin. "Maafkan aku, Van. Aku benar-benar belum bisa memberikan hak mu sekarang. Aku harap, semoga kamu tidak kecewa."