Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Minggu asyik untuk Pak Hanan dan keluarga kecilnya. Selain bisa quality time bersama keluarga, tentu sebagai ajang istirahat di rumah setelah lima hari sibuk bekerja.
"Kopinya Mas," ujar Nahla mempersilahkan di meja suaminya. Pria tiga puluh lima tahun itu tengah duduk di halaman belakang sembari menenteng macbook di tangannya melihat berita terkini pagi ini.
Sementara Icha tengah berjemur di dekat kolam buatan berisi ikan-ikan hias kesayangan ayahnya.
"Makasih, sini aja Dek, mau ke mana?" kata Hanan begitu Nahla beranjak.
"Nanti Mas, lagi nyalain kompor," ujar perempuan itu hendak membuat sesuatu untuk sarapan. Minggu simbok tidak berangkat, waktu untuk keluarganya juga. Jadi, Nahla berinisiatif membuat sarapan sendiri dari pada harus beli di luar yang belum tentu pas dengan seleranya.
"Mas mau sarapan apa? Biar aku buatin sekalian," tawar Nahla mumpung ada kesempatan.
"Sarapan kamu. Hehehe." Hanan nyengir becanda sementara Nahla langsung terdiam menatap horor.
"Gitu banget natapnya, enggak Dek, becanda, eh nggak ding setengah serius lapar. Buat apa aja nanti aku makan," kata pria itu senyum gaje memperhatikan raut khawatir istrinya. Tidak setega itu, Hanan pun harus bisa memberi waktu untuk Nahla istirahat. Walau tidak bisa dipungkiri, hasrat itu masih mumpuni.
"Mama kenapa Pa? Kok Papa senyum-senyum?" tanya Icha sembari sibuk memberi pakan pada ikan warna warninya.
"Nggak ada sayang, mama lucu," jawab Hanan beranjak. Mengekor Nahla yang masih setia menampakan wajah datar.
"Mau dibantuin?"
"Nggak usah Mas, cuma mau buat kupat tahu kok, suka nggak?"
"Kupat tahu?" tanya Hanan teringat makanan kesukaan mendiang istrinya. Ibunya Icha sangat menyukai itu dan biasanya membuat sendiri juga saat libur begini.
"Iya, kenapa? Tidak suka ya, ya udah aku buat yang lain aja."
"Suka, suka banget malah," jawab Hanan antusias sekali.
"Kalau suka beneran, aku buatin ya sekarang," ujarnya menyiapkan bahan-bahannya.
Dengan semangat Nahla membuat makanan itu. Hanan sendiri membantunya sebentar, tetapi karena terusir oleh Nahla jadi minggir. Kembali duduk di halaman belakang sembari memperhatikan Icha yang masih asyik bermain.
Sejenak pria itu tersenyum, menatap Icha yang mempunyai garis wajah mirip dengan ibunya. Bahkan selalu ia kirimkan doa di setiap sujud panjangnya.
"Astaghfirullah ... maafkan aku ya Rab, tidak ada maksud hati untuk membagi perasaan ini. Aku sadar Engkau telah memberikan ganti yang tak kalah baik, maafkan diriku yang bila masih selalu mengingatnya," batin Hanan merasa sangat berdosa. Dia sadar, Nahla adalah masa depannya, tidak ingin pula membuat hatinya terluka, hanya saja kenangan masa lalu di hari-hari tertentu kadang membuatnya teringat.
"Mas, ini sudah jadi, silahkan dicoba. Icha mau?"
"Nanti saja Ma, Icha udah minum susu belum lapar," jawab gadis kecil itu masih sibuk sendiri.
"Mas, kok nggak dimakan, katanya suka, nggak enak ya?" Nahla menginterupsi suaminya.
"Enak kok, pasti enak, makasih sayang," ucapnya membuat rona di pipi Nahla.
"Gimana?" tanya perempuan itu memastikan. Walau tadi sempat dicicipi dan menurutnya pas, belum tentu selera pria itu sama.
"Enak kok, enak! Uhuks!" sahut Hanan tersedak. Pria itu nampak tidak fokus, memuji tetapi seperti memikirkan hal lain.
"Pelan-pelan Mas, ini minum," ujar Nahla mendekat. Mencoba mengusap punggungnya menenangkan. Namun, sepertinya pria itu spontan membuat gerakan menghindar, hingga membuat Nahla kebingungan. Apakah suaminya anti sentuhan dirinya? Bukankah bahkan pria itu sudah lebih dari menyentuhnya.
"Aku nggak pa-pa kok," jawab Hanan beranjak meninggalkan meja. Masih sedikit terbatuk, bahkan mengabaikan air putih yang Nahla bagikan.
Tersinggung? Sedikit, mungkin karena hanya sedang merasa lelah, jadi agak baper. Namun, tak ingin mengambil hati lebih baik masuk saja dari pada berpikir dengan praduganya sendiri.
Daripada merenung sendiri, Nahla siang itu mengabari teman-temannya untuk hadir di acara syukuran pernikahannya yang akan digelar minggu ini. Perempuan itu sedikit nimbrung di grub alumni dan juga sahabat lainnya yang masih sering berkabar.
Hari H makin dekat, kesibukan tentu bertambah. Baik Hanan dan Nahla sama-sama sibuk mempersiapkan, beruntung sudah halal, dan benar saja banyak keterlibatan kedua belah pihak sebelum hari H.
Keluarga Pak Subagio juga mempersiapkan tak kalah repot. Menantu putri pertama dengan penuh suka cita. Mengundang banyak tamu undangan dari kerabat, dan kenalannya di pasar.
Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba, hampir semua kerabat dan sanak saudara, ikut tumpah memberikan doa terbaik untuk pernikahan mereka. Teman-teman Nahla dan juga rekan kerja sesama guru di tempatnya mengajar juga nampak hadir bersama-sama memberikan doa dan selamat.
Tak terkecuali itu, sahabat Hanan dan kerabat juga nampak hadir. Beberapa karyawan dirinya di sahabat motor juga nampak hadir memberikan selamat untuk owner mereka.
"Wah ... istrinya Pak Hanan masih muda sekali. Dengar-dengar seora6 tenaga pendidik," kata salah satu tamu undangan membicarakan pengantinnya.
Tentu buka topik tabu, yang tengah menjadi ratu dan raja sehari itu akan menjadi icon di acara itu dan buah bibir, baik ucapan doa ataupun tak kalah seru ingin tahu kepoin kedua mempelai.
"Iya, cantik ya tak kalah cantik seperti ibunya Icha," timpal lainnya. Kondangan sembari bergosip, ibu-ibu luar biasa.
Acara berlangsung hingga menjelang sore, beberapa sahabat dekat malah datang di paling akhir. Mereka menyempatkan hadir entah dari yang mana saja sembari ajang silaturahmi yang lama tak bersua karena kesibukan masing-masing.
"Alhamdulillah ... akhirnya ada temannya lagi buat begadang," ucap salah satu sahabat Hanan memberikan doa.
"Terima kasih sudah datang," ucap Hanan yang sore itu sudah turun dari panggung pengantin. Bergabung dengan teman dan sahabat yang lainnya.
"Wah ... langsung trabas ini pasti nanti malam. Puasa lama bro!" ucapnya tertawa cekikikan sembari memberikan bingkisan yang cukup mencurigakan.
Suasana nampak riuh saling tertawa, Nahla sendiri hanya mampu tersenyum tipis menghadapi tingkah gokil menjurus obrolan dewasa tersebut. Beruntung sudah dieksekusi lebih dulu, jadi perkataan mereka tidak begitu tabu di telinga Nahla.
"Eh, selamat ya Mbak, aku pikir Hanan tidak akan bisa move on, ternyata bisa juga sama kamu. Banyak loh ya yang tertolak mentah-mentah sahabat satu kita ini." Diberikan selamat karena berhasil dipilih ayahnya Icha dari perempuan itu, kenapa mendadak hati Nahla malah kepikiran. Terlebih sikap Mas Hanan yang kadang posesif, tetapi kadang juga aneh.
"Terima kasih," jawab Nahla mendadak galau. Apalagi kedekatan Nahla dengan Hanan sebelumnya nol persen, nyaris tak mungkin. Hanya karena Icha mereka terhubung. Apakah saat ini pria itu juga belum move on?
"Deg!" Mendadak hati Nahla terusik. Melihat senyum sahabat suaminya serasa hambar dan penghiburan saja.