Warning.!!! 21+
Anindirra seorang single parent. Terikat perjanjian dengan seorang pria yang membelinya. Anin harus melayaninya di tempat tidur sebagai imbalan uang yang telah di terimanya.
Dirgantara Damar Wijaya pria beristri. Pemilik perusahaan ternama. Pria kesepian yang membutuhkan wanita sebagai pelampiasannya menyalurkan hasratnya.
Hubungan yang di awali saling membutuhkan akankah berakhir dengan cinta??
Baca terus kisah Anindirra dan Dirgantara yaa 🤗🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon non esee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 05
Anin duduk di bangku depan pintu kamar ruangan perawatan. Bersandar lemas di dinding kokoh yang menjadkan pembatas antara luar dan dalam. Menatap langit-langit dinding bercatkan warna putih.
Kebingungan sedang melanda hatinya. Berulang kali ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan membuangnya lagi dan lagi. Berharap sesak di dadanya akan berkurang.
Kepalanya terasa berat dan pening. Efek dari banyaknya mengeluarkan air mata. Ia hanya bisa menangis dalam diam. Ingin rasanya ia menangis meraung-raung. Berteriak sekencang kencangnya. Meluapkan kesedihannya.
Tapi dia sadar, tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuannya. Kalimat bijak itu yang terlintas di kepalanya. Ia harus bisa melihat sisi baik dari segala ujian yang di terimanya.
Di tengah keterpurukannya dalam pernikahan. Tuhan telah menghadirkan, menitipkan Alea kepadanya yang harus ia syukuri dan ia jaga. Alea penyemangat hidupnya. Penerang jalannya.
Jam sudah menunjukan pukul delapan pas.ia masih duduk belum beranjak dari tempatnya. Wanita itu beralih ke benda pipih yang di genggamnya. Membuka layar dan menutupnya lagi. Dan terus berulang-ulang ia lakukan.
"Apa aku harus menghubunginya? Apa aku harus melakukannya?" Isi kepalanya berputar-putar di penuhi banyak pertanyaan. Hati dan pikiran mulai tidak sejalan. Isi kepalanya menolak, ia tidak mau melakukannya. Tetapi hatinya tidak kuasa mengabaikan makhluk tuhan yang sedang terbaring lemah tak berdaya. Sedang berjuang menahan rasa sakitnya. Ia tidak siap menerima kehilangan, ia tidak akan sanggup.
Membuang napas untuk kesekian kalinya. Anin memutuskan. Melempar jauh harga dirinya. Memberanikan diri menghubungi nomor pria yang menawarkan bantuan. Memberikannya uang, yang harus ia bayar mahal dengan menyerahkan tubuh dan kehormatannya yang selalu ia junjung tinggi.
“Halo." Terdengar suara tegas dari si penerima.
“Ha-halo." Suara Anin tercekat. Terdengar lirih dan gemetar.
"Anindirra?" suara tegas yang baru di dengarnya berubah melembut.
"Apa kamu berubah pikiran?" pria itu dengan cepat bertanya.
"I-iya, Tuan. Aku menyetujuinya."
"Datanglah ke hotel xx. Aku menunggumu." Seperti sebelumnya, tanpa menunggu jawaban darinya panggilan tefon langsung di matikan.
"Ihhh... Kebiasaan nih orang!!" Anin menggerutu sebal.
Mengambil tasnya yang berada di aats nakas samping ranjang. Anin ijin keluar kepada Ibunya.
*
*
Belum sempat Anin memesan taksi online. Ponselnya berdering kembali menandakan ada panggilan masuk dari nomor yang di hubunginya barusan.
"Halo." Anin menjawabnya.
"Tunggu di tempatmu. Akan ada supir yang menjemput. Kamu tidak perlu memesan taksi." Nada tegas dan memerintah tanpa bisa di tolak terdengar jelas dari seberang.
"Iya, Tuan.." Anin menjawab pelan.
Tak lama seoarang pria berumur sekitar 45 turun dari mobil datang mendekat ke arahnya.
"Maaf, dengan Nona Anindirra?"
"Iya Pak.."
"Saya Dadang supir Tuan Dirga. Sedikit membungkukkan tubuhnya. "Silahkan masuk ke mobil Nona," supir itu mempersilahkan Anin masuk ke dalam mobil.
Masuk ke dalam mobil, Anin duduk diam di kursi penumpang. Tanpa bicara apapun supir itu melajukan kendaraannya menuju hotel dimana pria itu berada.
Mobil yang di kendarai Pak Dadang sudah sampai di depan lobi hotel. Anin Turun dari mobil dengan jantung yang tak henti-hentinya berdetak. Anin masuk lobi dengan di antarkan Pak Dadang. Berjalan melewati beberapa orang yang berada di hotel itu. Pak Dadang mempersilahkan Anin masuk lift terlebih dahulu. Tangannya memencet tombol nomor tujuh belas dimana suiteroom bosnya berada.
Di dalam lift terdengar daring telfon yang berasal dari ponsel Pak Dadang. Pria itu lebih memilih berdiri di belakang Anin dan menjaga jarak.
Tak bermaksud menguping. Anin mendengar pembicaraannya dengan seseorang yang Anin tebak adalah Tuannya.
"Halo Tuan."
"Lima menit lagi sampai Tuan."
"Baik Tuan. Akan saya antar sampai depan pintu."
Entah apa yang di sampaikan Tuannya. Pak Dadang terlihat begitu patuh dan segan. Ia segera memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.
Kotak kubus itu meluncur dengan cepat membawanya ke lantai yang di tuju.
Ting
Pintu lift terbuka. "Mari Nona ikuti saya." Anin mengikuti langkah kaki Pak Dadang dengan langkah besar. Menyusuri lorong hotel dengan pencahayaan terang. Melewati beberapa nomor pintu.
Hingga sampailah mereka di depan pintu kamar bernomorkan angka 17. Kamar dimana di dalamnya ada sesosok pria yang sedang menunggunya. Pria yang akan membelinya.
"Silahkan masuk Nona, Tuan Dirga sudah menunggu anda di dalam." supir itu pergi setelah menyelesaikan tugasnya mengantar Anin sampai depan pintu.
Anin hanya mengangguk. Kaki kurusnya terasa berat untuk melangkah ke dalam. Jantungnya berdetak lebih kencang. Keringat dingin langsung datang menyerangnya.
Supir yang mengantarnya sudah hilang dari pandangan. Tapi Anin masih terdiam di depan pintu. Mirip tentara yang hendak bertempur ke medan perang. Mengumpulkan segala kekuatan.
Setelah terkumpul segala keberanian. Anin memberanikan diri. Membuka pintu dengan perlahan. Anin melangkah masuk ke dalam ruangan yang sangat luas untuk ukuran sebuah kamar.
Dengan pencahayaan terang. Anin dapat melihat kamar bernuansa putih bersih dengan fasilitas lux. Suasananya begitu tenang. Tempat tidur berukuran besar berspreikan warna putih terhampar jelas memenuhi isi kamar. Sebelah ruang kamar, berjejer sofa mahal coklat keemasan. Belum lagi barang-barang mewah lainnya.
Nampak sesosok pria tengah duduk dengan tenang. Menggunakan kemeja hitam dengan lengan di gulung sampai ke siku. Membuatnya semakin menawan. Memegang berkas yang sedang di bacanya. Wajahnya terlihat begitu tampan rupawan.
Sejenak Anin tertegun. Melihat pria yang di temuinya beberapa jam yang lalu. Pria yang di makinya karna di anggap telah merendahkannya sebagai perempuan sekaligus menawarkannya bantuan. Pria yang baru di ketahuinya sebagai pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Pandangannya terputus saat pria itu menyadari kehadirannya dan balas menatapnya.
****
Bersambung❤️
karna saya sadar diri..
saya ga bisa nulis cerpen..
hee