Karena latar belakang Shazia, hubungan nya bersama Emran tak direstui oleh orang tua Emran. Tapi adiknya Emran, Shaka, diam-diam jatuh hati pada Shazia.
Suatu hari sebuah fakta terungkap siapa sebenarnya Shazia.
Dengan penyesalan yang amat sangat, orang tua Emran berusaha keras mendekatkan Emran dan Shazia kembali tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Emran sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya sekaligus teman kerja Shazia. Dan Shaka yang tak pernah pantang menyerah terus berusaha mengambil hati Shazia.
Apakah Shazia akan kembali pada pria yang dicintainya, Emran atau memilih menerima Shaka meski tak cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlambat
Dirgantara group.
PRANG
"Ibu..."
Shazia yang terkejut segera berdiri dan sigap menahan tubuh Aliyah yang terhuyung.
"Ibu kenapa?" tanya Shazia khawatir melihat wajah Aliyah yang tampak memucat dan tubuh yang gemetaran.
"Ma-maaf, nak. Ibu enggak sengaja jatuhi piring." Aliyah menjawabnya keluar dari pertanyaan Shazia. Tak mungkin ia berterus terang apa yang dirasakan nya saat ini.
Tadi saat mendengar nama Dirgantara group, Aliyah begitu shock. Karena nama perusahaan itu ada hubungan nya dengan masa lalunya yang menyakitkan. Hingga, Aliyah tak sadar menjatuhkan piring yang sedang dipegangnya.
"Apa ibu sakit? kita ke dokter ya, Bu !"
Aliyah segera menggeleng menolak ajakan Shazia.
"Enggak usah. Ibu cuma kelelahan sedikit aja. Istirahat sebentar juga pasti baikan lagi. Kamu enggak usah khawatir ya."
Aliyah berusaha berdiri tegak, tak ingin ditopang Shazia. Memperlihatkan senyum nya seolah ia baik-baik saja, karena ia tak ingin putri nya itu khawatir dan memikirkan nya.
"Ibu yakin ?" tanya Shazia yang merasa tak yakin jika kondisi ibunya baik-baik saja. Wajah pucat nya lah yang membuatnya tak yakin meski bibir sang ibu menyunggingkan senyum.
"Iya, sayang. Ya udah yuk, kita sarapan. Nanti kamu terlambat lho."
Shazia menghela nafas menyerah karena sang ibu terus mengelak. Ya sudah lah ia tak bisa memaksa untuk membawanya ke dokter.
"Biar Shazia aja yang ambil, Bu."
Shazia mencegah Aliyah yang hendak memungut piring yang ia jatuhkan tadi. Beruntung piring tersebut terbuat dari bahan anti pecah.
Aliyah tersenyum.
"Makasih ya, nak."
Shazia mengangguk senyum, kemudian segera memungut piring yang letaknya agak jauhan dari meja makan.
Sarapan pun berlangsung. Tak ada obrolan di atas meja makan tersebut. Kedua wanita beda generasi itu fokus pada makanan dalam diam dan tentu dengan pikiran masing-masing.
Dirga, Dirga ! Aliyah menatap pada makanannya tanpa minat. Mengingat nama bos Shazia, Aliyah kembali dilanda perasaan berkecamuk. Ia begitu resah, gelisah, dan takut jika bos Shazia adalah orang yang sama dengan orang di masa lalu nya.
"Ya Allah. Bagaimana jika bos Shazia adalah........"
"Kenapa nasi goreng nya cuma di aduk-aduk aja, Bu?" Tanya Shazia.
Jangan dikira Shazia tak memperhatikan gelagat aneh Aliyah meski mulutnya terus mengunyah. Setelah kejadian jatuh nya piring tadi, ia curiga seperti ada sesuatu yang sedang ibunya itu sembunyikan. Tapi apa?
Aliyah terkesiap begitu ia menyadari jika Shazia memperhatikan nya. Wanita itu lantas memaksa bibir nya tersenyum dan berusaha bersikap biasa.
"Nasi nya masih panas, sayang. Kamu kan tau ibu enggak bisa makan makanan yang masih panas." Aliyah beralasan.
Shazia manggut-manggut dan memilih tak lagi bersuara, meski ia tahu sang ibu hanya beralasan saja.
"Assalamualaikum !!"
Tiba-tiba, terdengar suara seseorang memberi salam di depan pintu utama rumah tersebut.
"Biar Shazia saja, Bu."
Shazia langsung beranjak sebelum ibunya bersuara.
Seorang pria muda termangu tanpa kedip pada saat Shazia membuka pintu. Entah apa yang ada di otak pria tersebut melihat wanita dihadapan nya.
Shazia yang merasa risih dipandang terus menerus pun lantas mengibaskan tangan di depan wajah pria tersebut.
Pria tersebut terkesiap dan salah tingkah.
"Ma-maaf, mba."
"Mau mencari siapa ya, mas?" Tanya Shazia to the point.
"Saya mau bertemu dengan mba Shazia," jawab pria tersebut.
"Ya, saya sendiri."
Yang kedua kalinya, pria tersebut kembali menatap Shazia tanpa kedip. Bahkan kini mulutnya tampak menganga. Entah apa yang pria tersebut pikirkan.
Melihat tampang nya, Shazia mendengkus sebal.
"Maaf, mas. Saya sedang buru-buru. Mas ada perlu apa ya mencari saya?" Tanya Shazia yang kesal. Selain kesal melihat mimik mukanya, Ia memang harus segera berangkat ke kantor. Sementara orang yang entah siapa ini seolah membuang-buang waktunya.
"Na-nama saya, Coky, mba. Saya diperintahkan sama bos Shaka kemari untuk....."
"Sebentar. Bos Shaka !!!" sela Shazia dengan kening mengkerut.
"Oh, maaf. Ma-maksud saya, mas Shaka. Ya, mas Shaka." Pria tersebut meralat ucapan nya dan bertingkah aneh.
Shazia manggut-manggut begitu ia teringat sesuatu.
"Jadi mas ini seorang tukang yang di telpon si Shaka tadi malam untuk membenarkan pintu kamar mandi saya ya?"
"Tukang !!" lirih Coky, kemudian menggaruk kepalanya bingung. Pria itu lantas menyengir. Tidak mengiyakan tidak pula menyangkal di sebut tukang oleh Shazia.
Shazia memindai penampilan pria yang bernama Coky tersebut. Apa si Shaka tak salah memanggil tukang. Seorang tukang yang mau membenarkan pintu kamar mandi saja penampilan cukup rapih seperti yang bekerja di kantoran. Kemeja lengan panjang dan celana bahan serta menggunakan sepatu kulit warna cokelat.
"Ada siapa, sayang? Tanya Aliyah di belakang Shazia.
Shazia lantas menoleh pada Aliyah.
"Ini Bu. Ada tukang suruhan si Shaka yang mau benerin pintu," jawab Shazia.
"Ohh.." Aliyah pun mendekat.
Karena Shazia harus segera berangkat ke kantor, pria yang bernama Coky itu pun ia serahkan pada ibunya saja. Biar ibunya nanti yang mengurusi masalah pintu kamar mandi.
"Shazia berangkat dulu ya, Bu."
Shazia menyalimi Aliyah dan mencium pipi kiri dan kanan nya. Suatu kebiasaan yang sudah diterapkan sejak sedari kecil.
"Iya, sayang. Kamu hati-hati ya !"
Shazia mengangguk senyum, kemudian berlalu.
Aliyah menatap kepergian Shazia dengan perasaan tak tenang.
"Ya Allah. Kalau benar bos Shazia adalah pak Dirga, semoga pria itu enggak mengenali siapa Shazia. Tolong lindungi putri ku ya Allah !!"
Shazia melangkah terseok-seok menuju gedung dimana dirinya mencari rezeki. Gadis itu datang telat tiga puluh menit gara-gara motor ojek online yang ia tumpangi mogok di tengah jalan.
Omelan Irwan pun membayangi pikiran Shazia. Tapi gadis itu tak peduli. Ia pikir yang penting masuk dulu dan menyerahkan paper bag yang ia bawa pada big bos. Urusan hukuman itu soal nanti.
"Permisi, pak Seno !!"
Shazia menerobos masuk ke dalam gedung saat si satpam tengah menyeruput kopi.
Satpam Seno seketika menyemburkan kopinya begitu melihat Shazia.
"Lho, mba, mba Shazia tunggu !!!!" Seru Seno memangil Shazia yang terus melangkah setengah berlari.
Karena perusahaan tersebut memberlakukan SP bagi karyawan yang datang terlambat, Seno langsung mengejar Shazia.
"Saya buru-buru, pak. Nanti saja kalau mau ngasih SP. Please jangan tahan saya dulu. Nanti saya akan menyerahkan diri."
Shazia membalas seruan Seno dengan kaki yang terus melangkah dan pandangan ke belakang.
"Enggak bisa, mba. Harus sekarang."
Brugh.
Seketika, Shazia menabrak benda keras, membuat nya jatuh terduduk. Gadis itu menunduk meringis merasakan sakit di lututnya akibat terbentur lantai.
Ditengah meringis, ia melihat sepasang sepatu hitam tepat di depan nya.
"Sepatu siapa ini?"
Netra mata Shazia kemudian menyapu dari bawah ke atas. Tepat menyorot bagian paling atas, gadis itu terbelalak lebar.
"Pak, pak Dirga !!!"