No action
No romansa
Masuk ke dalam novel❎
Melompati waktu karena penyesalan dan balas dendam ❎
Orang stress baru bangun✅
*****
Ini bukan kisah tentang seorang remaja di dunia modern, ini kisah pangeran tidur di dunia fantasi yang terlahir kembali saat ia tertidur, ia terlahir di dunia lain, lalu kembali bangun di dunianya.
-----------------
"Aku tidak ingin di juluki pangeran tidur! Aku tidak tidur! Kau tau itu?! Aku tidak bisa bangun karena aku berada di dunia lain!" -Lucas Ermintrude
******
Lucas tidak terima dengan julukan yang di berikan oleh penulis novel tanpa judul yang sering ia baca di dunia modern, ia juga tidak ingin mati di castil tua sendirian, dan ia juga tidak mau Bunda nya meninggal.
-------------------
"Ayah aku ingin melepaskan gelar bangsawan ku, aku ingin bebas."-Lucas Ermintrude
"Tentu saja, tidak."-Erick Hans Ermintrude
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lucapen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Setelah kejadian di tempat latihan sihir, Liam dan Lucas meninggalkan ruangan itu tanpa terburu-buru. Sepanjang perjalanan, tatapan murid-murid lain masih tertuju pada mereka—atau lebih tepatnya, pada Liam.
Lucas, yang berjalan sedikit di depan, melirik ke samping dengan seringai kecil. “Kau sepertinya punya penggemar baru.”
Liam tetap diam, tidak menanggapi. Perhatian semacam ini bukan hal asing baginya sebagai pengawal pribadi Pangeran, tapi kali ini berbeda. Tatapan mereka bukan sekadar kekaguman pada statusnya—melainkan sesuatu yang lebih tajam, lebih ingin tahu.
Udara sore menyelimuti mereka ketika mereka melangkah ke luar bangunan akademi. Matahari condong ke barat, memancarkan sinar keemasan yang hangat di langit kerajaan.
Setelah beberapa saat hening, Liam akhirnya berbicara. “Profesor tadi … aku tidak suka caranya menatapku.”
Lucas mengangkat bahu, seolah hal itu bukan masalah besar. “Dia tertarik padamu, bukan aku.”
“Tertarik karena apa?”
Lucas menatapnya sekilas, menyeringai. “Kau bilang tidak suka caranya menatapmu, tapi kau juga tidak menghindarinya.”
Liam tidak menjawab.
Mereka baru saja mencapai jalan menuju istana ketika seorang prajurit berlari mendekat, napasnya tersengal. “Yang Mulia!” Ia menunduk hormat, lalu melirik Liam sebelum kembali menatap Lucas. “Kaisar memanggil Anda segera.”
Lucas menghela napas, ekspresinya bosan. “Untuk apa kali ini?”
“Saya tidak tahu, Yang Mulia. Tapi perintahnya jelas, Anda harus datang sekarang.”
Lucas melirik Liam sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
Mereka berjalan menuju aula utama istana. Suasana di dalam ruangan begitu sunyi ketika mereka masuk. Kaisar duduk di singgasananya dengan ekspresi tak terbaca, tapi yang lebih menarik perhatian adalah sosok yang berdiri di sampingnya—Profesor Ethan.
Lucas mengangkat alis. “Oh. Jadi ini alasannya aku dipanggil?”
Kaisar tidak langsung menjawab. Sebaliknya, Ethan yang berbicara lebih dulu.
“Aku ingin membicarakan pengawalmu.”
Liam menegang.
Lucas melirik Ethan dengan penuh minat. “Dan kenapa kau merasa perlu melibatkan ayahku dalam urusan ini?”
Ethan tersenyum tipis. “Karena yang ingin aku bicarakan bukan hal sepele.” Tatapannya kembali ke Liam, menelusuri pemuda itu dengan pandangan tajam. “Aku ingin dia bergabung dengan divisi penelitian sihir.”
Ruangan mendadak terasa lebih dingin.
Lucas tertawa pelan. “Divisi penelitian sihir? Kau serius?”
“Aku tidak main-main.” Suara Ethan datar, nyaris terdengar seperti perintah. “Potensinya luar biasa. Dia bisa menjadi lebih dari sekadar pengawal.”
Lucas menoleh ke Liam, yang masih berdiri dengan postur tegap tanpa menunjukkan emosi.
Kaisar akhirnya angkat suara. “Apa pendapatmu?”
Liam mengangkat wajah, menatap lurus ke arah Kaisar. “Tugas saya adalah melindungi Pangeran.”
Ethan menyipitkan mata. “Kau bisa melakukan lebih dari itu.”
Lucas bersandar sedikit ke satu kaki, tersenyum kecil. “Liam, kau sedang diberi kesempatan untuk menjadi sesuatu yang lebih besar, katanya.”
Liam tetap diam.
Kaisar menatap Ethan sebelum akhirnya berkata, “Aku akan mempertimbangkan usulan ini. Untuk saat ini, dia tetap di posisinya.”
Ethan tampak kurang puas, tapi ia tidak membantah.
Saat mereka meninggalkan aula, Lucas melirik Liam dengan ekspresi penuh arti.
“Kau yakin tidak tertarik?” tanyanya.
Liam menatap lurus ke depan. “Tugas saya adalah melindungi Anda.”
Lucas tertawa kecil, tapi matanya tetap waspada.
Dalam hatinya, ia tahu ini belum selesai. Jika seseorang seperti Ethan sudah tertarik pada Liam, maka akan ada lebih banyak mata yang memperhatikannya.
Dan itu bisa menjadi masalah besar.
****
Liam menyadari ada sesuatu yang salah saat mereka kembali ke istana.
Lucas, yang biasanya masih sempat bercanda atau mengeluh soal urusan istana, kali ini berjalan dalam diam. Langkahnya lebih lambat dari biasanya, dan napasnya terdengar lebih berat.
“Yang Mulia?” Liam akhirnya bertanya ketika mereka tiba di kamar Lucas.
Lucas tidak langsung menjawab. Dia hanya duduk di tepi ranjang, melepas mantel luarnya, lalu memijat pelipisnya dengan ekspresi lelah.
“Aku baik-baik saja,” katanya singkat.
Liam tidak percaya begitu saja. Sejak tadi di akademi, Lucas memang terlihat lebih pucat. Ia tidak tahu apakah itu karena pertarungan sihir yang cukup intens atau ada alasan lain.
“Kau terlihat pucat.”
Lucas hanya mengangkat bahu. “Mungkin hanya kelelahan.”
Liam mengamati pangeran itu dengan saksama, lalu menghela napas. “Saya akan meminta tabib.”
“Tidak usah,” Lucas menyela sebelum Liam sempat bergerak. “Aku hanya butuh istirahat.”
Liam masih ragu, tapi dia tahu memaksa Lucas hanya akan membuatnya lebih keras kepala. Akhirnya, ia mundur selangkah.
“…Baiklah.”
Namun, perasaan tidak nyaman tetap menghantuinya. Sesuatu terasa tidak benar.
Dan ternyata, instingnya tidak salah.
Malam itu, saat Liam berjaga di luar kamar Lucas, hawa di udara berubah. Angin yang semula tenang kini terasa berat, seolah dipenuhi tekanan yang tidak terlihat. Suara burung malam yang biasa terdengar kini menghilang, digantikan dengan keheningan yang mencekam.
Kemudian, suara ledakan terdengar dari arah akademi.
Liam langsung berdiri. Prajurit yang berjaga di sekitar istana juga tampak gelisah, beberapa dari mereka mulai berlari ke arah sumber suara.
Tanpa menunggu perintah, Liam segera masuk ke kamar Lucas. “Yang Mulia, ada sesuatu yang terjadi di akademi.”
Lucas masih terbaring di ranjang, napasnya pendek dan wajahnya lebih pucat daripada sebelumnya. Saat Liam mendekat, tubuh pangeran itu terasa panas—tidak wajar untuk seseorang yang hanya ‘kelelahan’.
Namun, sebelum Liam bisa berkata apa-apa lagi, suara ledakan terdengar dari kejauhan. Cahaya merah menyala di langit akademi.
Itu sihir.
Lucas membuka matanya perlahan. “Demon … bangkit .…”
Kata-kata itu membuat Liam membeku.
Demon?
“Yang Mulia, Anda tidak perlu pergi. Istana bisa menangani—”
Lucas mencoba bangun, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku harus pergi.”
Liam mengatupkan rahangnya rapat. Ia tahu Lucas terlalu keras kepala untuk dilarang, apalagi kalau menyangkut urusan akademi.
Dengan cepat, Liam membantu Lucas bangkit, lalu mengambil pedang miliknya. Jika benar ada demon yang bangkit di akademi, maka ini bukan hanya sekadar insiden biasa.
Ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
****
Liam menahan napas saat melihat Lucas tersandung, wajahnya pucat seperti mayat.
Sejak mereka pulang dari akademi sore tadi, kesehatannya memburuk secara tiba-tiba. Nafasnya pendek, keringat dingin membasahi dahinya, dan tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya. Namun, baru saja Liam berencana membawa Lucas beristirahat, sesuatu yang jauh lebih mengerikan terjadi—akademi diselimuti kegelapan, dan demon muncul di dalamnya.
Mereka bergegas kembali. Namun, begitu tiba di halaman akademi, hawa dingin langsung menyergap tubuh Liam.
Udara terasa berat.
Tanah bergetar.
Di tengah lapangan akademi, sesuatu sedang bangkit dari dalam tanah—sesosok bayangan hitam dengan mata merah menyala.
Demon.
Liam refleks menarik pedangnya dan berdiri di depan Lucas, melindunginya.
“Aku baik-baik saja,” suara Lucas terdengar lemah, tapi tegas. “Fokus ke demon itu.”
Namun, Liam tidak bisa mengabaikan kondisinya. Lucas adalah seseorang yang bahkan dalam kondisi sakit sekalipun tidak akan menunjukkan kelemahannya, tetapi kali ini berbeda. Tubuhnya nyaris tidak bisa berdiri tegak.
Seakan-akan sesuatu telah menyedot energinya.
Seakan-akan ada hubungan antara Lucas dan demon ini.
Jeritan mendadak menggema.
Liam menoleh, melihat seorang murid terseret ke dalam bayangan hitam demon itu. Tubuh murid itu menghilang begitu saja, seolah tertelan oleh kegelapan yang bergerak seperti cairan.
“Jangan biarkan bayangannya menyentuh kalian!” Salah satu profesor berteriak panik.
Liam mengencangkan cengkeraman pada pedangnya. Ia harus bergerak cepat.
Tanpa ragu, ia melompat ke depan, menebas bayangan yang mendekatinya. Namun—
Pedangnya menembus udara kosong.
Liam nyaris kehilangan keseimbangan saat menyadari bahwa serangannya tidak berdampak sama sekali.
Demon ini bukan sesuatu yang bisa dikalahkan dengan serangan fisik biasa.
Sementara itu, Lucas semakin melemah. Nafasnya semakin berat, dan Liam bisa merasakan panas tubuhnya meningkat.
Kemudian, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Bayangan demon itu mulai bergerak… ke arah Lucas.
Seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya yang menarik makhluk itu mendekat.
Liam merasakan jantungnya berdegup kencang.
“Yang Mulia, kita harus pergi—”
Terlambat.
Dalam sekejap, demon itu melebarkan tubuhnya, menciptakan pusaran kegelapan yang menyelimuti mereka. Hawa dingin menusuk tulang, dan suara-suara bisikan aneh mulai terdengar di telinga Liam.
"Darah bangsawan … kunci .…"
"Kehancuran … yang seharusnya terjadi .…"
"Pulang … kembalikan .…"
Liam menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantamnya. Suara-suara itu terasa seperti merayap langsung ke dalam pikirannya, mencoba menarik sesuatu dari dalam jiwanya.
Namun, hal yang lebih mengkhawatirkan—Lucas tidak bereaksi sama sekali.
Seolah … suara-suara itu tidak asing baginya.
Seolah … mereka berbicara langsung kepadanya.
Demon itu berhenti bergerak, menatap Lucas.
Lalu, ia berbicara.
“Kau seharusnya tidak ada di sini.”
****
Liam merasakan punggungnya dingin.
Suara demon itu menggema, tidak hanya di udara, tetapi langsung di dalam kepalanya.
“Kau seharusnya tidak ada di sini.”
Liam menoleh ke Lucas, berharap melihat ekspresi bingung atau ketakutan di wajahnya. Tapi Lucas hanya menatap demon itu dengan mata kosong, seolah sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar orang lain.
Tubuh Lucas masih lemas, tapi ia tidak berusaha melawan.
Seolah … ia tahu sesuatu.
Seolah … ini bukan pertama kalinya ia mendengar suara itu.
Demon itu mulai bergerak lagi, membentuk tentakel bayangan yang merayap di udara. Murid-murid dan para profesor yang tersisa mulai mundur dengan panik, tapi Liam tetap berdiri di tempatnya.
Lucas belum bergerak.
Ia masih menatap demon itu, ekspresinya tidak bisa dibaca.
Liam mengertakkan giginya dan meraih pergelangan tangan Lucas, mencoba menariknya pergi. “Yang Mulia, kita harus keluar dari sini.”
Lucas akhirnya bereaksi, menoleh pelan ke arah Liam. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, bayangan demon itu bergerak lebih cepat daripada yang bisa diantisipasi.
Blar!
Ledakan kegelapan menghantam tanah, menciptakan gelombang tekanan yang membuat tubuh Liam terdorong ke belakang.
Sesaat, dunia terasa berputar. Suara jeritan bercampur dengan deru angin yang menderu di telinganya. Liam menekan tubuhnya ke tanah, menahan napas, lalu segera bangkit kembali.
Namun, Lucas—
Lucas berdiri di tengah pusaran kegelapan itu.
Tanpa perlawanan.
Demon itu tidak menyerangnya.
Mereka hanya … saling menatap.
Kemudian, bisikan itu datang lagi, lebih jelas daripada sebelumnya.
“Tuan kecil … kau sudah melupakan kami?”
Liam membeku.
Apa maksudnya?
Lucas tidak menjawab. Ia hanya menatap demon itu dengan mata gelap, ekspresinya nyaris tanpa emosi.
Demon itu bergerak semakin dekat. Seolah ingin menyentuhnya.
Liam tidak bisa tinggal diam lagi.
Dengan cepat, ia mengangkat pedangnya dan melompat ke depan, menebas bayangan yang mencoba menyelimuti Lucas.
Demon itu bergerak mundur sedikit, tapi bukan karena serangan Liam.
Melainkan karena … Lucas akhirnya membuka suara.
Dengan suara rendah dan dingin, ia berkata,
“Aku bukan milik kalian.”
Demon itu berhenti.
Lalu, untuk pertama kalinya, ia terlihat … ragu.
Tapi hanya sesaat.
Dalam sekejap, ia kembali membentuk pusaran kegelapan, kali ini lebih besar—lebih kuat. Angin berputar liar, langit di atas akademi semakin gelap, dan suara-suara aneh mulai bermunculan dari dalam bayangan.
Lucas menghela napas, lalu berkata pelan, “Liam.”
Liam langsung bergerak, berdiri di samping Lucas dengan waspada.
Lucas melanjutkan, suaranya masih lemah tapi penuh kepastian.
“Hancurkan inti demon itu.”
Liam mengerutkan kening. “Inti?”
Lucas mengangguk lemah. “Kalau kau bisa menemukannya … itu satu-satunya cara menghentikannya.”
Liam menatap demon itu yang semakin besar, semakin liar.
Mencari inti di tengah makhluk sebesar itu?
Sial.
Tapi jika Lucas mengatakan itu satu-satunya cara, maka Liam tidak punya pilihan lain.
Dengan cengkeraman kuat pada pedangnya, Liam mengambil ancang-ancang.
Ia hanya punya satu kesempatan.
Dan ia tidak boleh gagal.
Liam mengencangkan cengkeramannya pada pedang, matanya menyapu setiap gerakan demon itu.
Bayangan hitam berputar semakin liar, menyelimuti hampir seluruh halaman akademi. Tanah di bawahnya merekah, udara bergetar, dan suara-suara berbisik terus berdengung di telinganya.
“Kau tidak akan berhasil.”
“Tuan kecil seharusnya bersama kami.”
“Hancurkan kami? Kau pikir itu mungkin?”
Liam mengabaikan suara-suara itu. Fokusnya hanya satu: menemukan inti demon.
Matanya menyusuri bentuk kabur makhluk itu, mencari sesuatu yang berbeda di antara bayangan yang terus bergerak.
Sampai akhirnya—
Di tengah pusaran bayangan itu, tepat di dekat dada demon, ada sesuatu yang berkilauan samar.
Liam tahu. Itu dia. Itu intinya.
Tapi bagaimana ia bisa mencapainya?
Lucas, yang masih berdiri lemas di sampingnya, berkata pelan, “Serangan biasa tidak akan cukup.”
Liam mengerutkan kening. “Lalu?”
Lucas menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Gunakan aku.”
Liam terkejut. “Apa?”
“Tebas bayangan itu saat mereka mendekatiku. Aku akan memancingnya.”
“Itu terlalu berbahaya.”
Lucas tertawa kecil, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Hidup bahkan lebih menantang daripada ini.”
Demon itu bergerak lagi, mengulurkan tentakel bayangan ke arah mereka.
Lucas menutup matanya sejenak, lalu melangkah maju.
Demon itu langsung bereaksi. Seolah insting mereka mengatakan untuk menangkapnya.
Dan saat itulah Liam melihat celahnya.
Satu tebasan.
Liam melesat cepat, menebas tentakel bayangan yang hampir menyentuh Lucas.
Cahaya biru berkilat dari pedangnya saat tebasannya membelah kegelapan.
Demon itu meraung—bukan karena kesakitan, tetapi karena marah.
Lucas berbisik, “Lagi.”
Liam mengerti.
Lucas melangkah lagi, semakin dekat ke pusat pusaran bayangan, memancing demon itu untuk bergerak lebih liar.
Dan Liam, dengan kecepatan dan presisi, terus menebas bagian-bagian demon yang mendekati Lucas. Setiap tebasan membuat demon itu semakin goyah, semakin tidak stabil.
Sampai akhirnya—
Lucas berhenti, tepat di bawah pusaran gelap itu.
“Kau sudah melihatnya, bukan?”
Liam mengangguk.
Tanpa membuang waktu, ia melompat.
Bayangan berusaha menariknya kembali, tetapi refleksnya lebih cepat. Dengan satu gerakan, ia mendarat di atas tubuh demon itu, lalu menusukkan pedangnya tepat ke pusat cahaya di dada makhluk itu.
Srak!
Teriakan menggelegar memenuhi udara.
Bayangan mengamuk, pusaran kegelapan mulai hancur dari dalam.
Liam merasakan tekanan luar biasa menghantamnya, tapi ia tetap menekan pedangnya lebih dalam.
Dan kemudian—
Demon itu pecah.
Pecahan bayangan beterbangan ke segala arah sebelum menghilang menjadi debu di udara. Suara berbisik menghilang, dan langit yang sempat gelap kembali cerah.
Semua berakhir dalam sekejap.
Liam jatuh berlutut, napasnya tersengal.
Namun, sebelum ia bisa berdiri, tubuh Lucas ambruk ke tanah.
“Lucas!”
Erick tiba-tiba muncul di samping putranya terbaring di tanah.
"Sudah Ayah bilang untuk beristirahat saat lelah, jangan terlalu memaksakan diri. Orang lemah tidak usah menjadi pelindung karena orang lemah lah yang harus dilindungi," ucap Erick langsung mengangkat tubuh Lucas yang terasa dingin ala bridal style.
"Yang mulia!"
Semua orang yang berada di sana langsung memberi hormat kepada Erick.
"Maaf, Ayah," lirih Lucas memejamkan matanya erat.
Erick medesah lelah melihat pemandangan di depannya. "Clayson perketat pengawasan di istana, dan selidiki kasus ini. Saya ingin mendengar laporan langsung darimu besok pagi," titah Erick sebelum tiba-tiba menghilang dari sana.
[TBC]