NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 20 - Pria Misterius

Karena aku tak mungkin bermalam di sini—takut ketahuan oleh ayah juga ibu, aku memutuskan untuk membawa laptop dan buku usang tersebut secara diam-diam. Esok pagi aku bisa pergi dari sini tanpa meninggalkan kecurigaan, berharap mereka tidak pernah menyadari bahwa barang Soraya sudah kuambil.

Keesokan paginya, sebelum angkat kaki dari rumah ini, aku diminta sarapan bersama mereka. Hingga kini aku ada di antara ibu dan ayah, berdenting alat makan mengisi keheningan di antara kami.

Sampai akhirnya aku mendengar ibu berdeham, spontan aku melirik padanya. Ibu nampak berancang-ancang seperti akan mengatakan sesuatu.

“Bagaimana, Nerissa? Selama hidup bersama Darius di sana, semuanya berjalan lancar, kan?”

Aku menghela napas, sedikit malas menanggapi. “Berjalan lancar sampai ketika jamu yang ibu berikan menghancurkan segalanya.”

Alih-alih merasa terkejut atau bingung saat aku mengatakannya, justru ibu malah tersenyum senang—terlihat dari matanya yang membulat dan tawanya yang tertahan-tahan.

“Jadi kalian sudah melakukannya?”

Persis pertanyaan itu terlontar, sendok yang akan masuk ke dalam mulut segera aku tunda kembali. Lantas menatap ibu dengan perasaan sedikit sentimental.

“Bu, memangnya Ibu berharap apa dari dua orang yang tidak saling jatuh cinta?”

Entah karena sudah terlalu lelah, kurang tidur karena harus memikirkan semua ini, aku jadi lebih sensitif. Jika tidak ingat bahwa mereka yang telah memungutku dari panti asuhan itu, mungkin aku sudah berkata yang tidak-tidak saat ini.

“Kami tidak mungkin melakukannya, Bu,” tandasku kemudian.

“Apa maksudmu, Nerissa? Ibu tahu sendiri bahwa mereka saling mencintai, Darius amat menyayangi Soraya. Tidak mungkin jika mereka tidak ingin memiliki anak, kamu seharusnya—”

“Bu,” tegurku yang sukses membuatnya berhenti mengoceh, “Darius tidak mencintaiku, tidak mencintai Kak Soraya. Mereka tidak saling cinta. Ibu harus tahu bahwa itulah kebenarannya.”

Kali ini ibu benar-benar terlihat syok. Dia menutup mulutnya, kecewa mendengar penuturanku. Sedang ayah yang duduk disampingnya segera berusaha menenangkan ibu.

“Itu tidak mungkin, Nerissa! Pasti kamu yang sudah berkata macam-macam pada Darius, kan? Kalau sampai dia begitu, pasti kamu yang sudah meracuni pikirannya!” tuduh ibu seraya menunjuk-nunjuk.

Sepertinya apapun yang berusaha kukatakan saat ini tidak akan berdampak apapun—mereka dengan ambisi yang berujung pada keuntungan diri sendiri pastinya tidak akan peduli dengan hal itu. Yang ada mungkin akan menambah masalah.

“Nerissa, sudahlah. Kami tahu, Nak, kamu membenci pernikahan ini. Tapi kamu pasti bisa bertahan. Ini tidak mudah, tapi kami yakin kamu akan bahagia dengan kehidupan yang lebih terjamin. Bahkan lebih dari saat kamu tinggal bersama kami,” kata ayah berusaha menenangkan.

Aku berdiri dari kursi, memilih menutup obrolan ini. “Aku sudah selesai. Kalau begitu aku akan pulang sekarang, itu kan yang kalian inginkan?”

Perlahan aku menggeser kursi, siap melangkah pergi. “Aku tidak akan menjamin bahwa kami bisa memiliki anak. Terlebih jika pernikahannya dimulai dengan cara yang tidak benar. Kita tahu persis, bahwa pernikahan ini bukanlah pernikahan yang sah.”

Tanpa menunggu apa-apa lagi, aku langsung melengos pergi. Membawa tas jinjing yang sudah berisi barang-barang penting untuk dijadikan petunjuk. Sedang ibu dan ayah mengekori dari belakang, entah ibu berteriak berkata apa, aku memilih mempercepat langkah.

Sebelum menuju apartemen, aku mampir ke toko servis laptop. Aku menyerahkan laptop peninggalan Soraya bukan untuk diperbaiki, melainkan agar aku bisa membuka laptop yang masih terkunci itu.

***

“Kamu pulang lebih awal dari perkiraanku,” ujar Darius setibanya aku di apartemen.

Aku meletakkan barang bawaanku ke atas sofa. “Ternyata kamu cukup peduli untuk menerka-nerka, Mas.”

Kami bertatapan sesaat. Darius terkekeh sebal.

“Jangan terlalu percaya diri, aku hanya sungkan jika sewaktu-waktu aku membawa seseorang ke sini dan tiba-tiba saja kamu datang di saat yang tidak tepat. Lain kali, beritahu dulu berapa lama kamu di luar,” katanya kemudian.

Lantas aku pun mendesis. “Jika bisa, aku lebih memilih untuk tidak pernah kembali ke sini ataupun ke sisimu. Lagi pula, kenapa kamu tidak membawa ‘seseorang’ itu ke tempat yang lain, Mas? Uangmu tidak akan habis untuk menyewa hotel mahal dalam semalam.”

Darius bersandar pada kaca besar, dia memandangiku sambil tertawa sembari mengusap-usap dagu. “Jadi kamu berpikir, aku ini sedang membahas seseorang yang ingin aku tiduri? Dangkal sekali. Aku bahkan tidak terbesit untuk melakukannya. Jangan samakan aku denganmu, Soraya.”

Aku memutar mata, malas berdebat. Aku tahu, aku tak mungkin menang dalam posisi ini. Secara aku belum tahu pasti bagaimana selama ini Soraya menjalani hidup.

Lantas aku pun melesat ke area dapur. Membuat beberapa makanan sebelum nanti siang aku akan pergi kembali.

“Aku sudah makan,” katanya yang ternyata membuntuti hingga dapur.

“Aku memasak untuk diriku, Mas. Kalau kamu tidak mau makan, tidak masalah,” jawabku sedikit ketus.

Darius hanya duduk di meja makan, memandangiku. Aku hanya fokus dengan makanan yang kubuat—tumis tahu telur dan beberapa hidangan lainnya, karena sepertinya Darius tidak akan memakan makananku, maka aku banyak menambahkan cabai.

“Uhuk! Uhukk!”

Darius terbatuk-batuk, melipir ke tempat lain. Aku bergegas membuka ventilasi, membiarkan aroma yang sangat menusuk itu keluar.

Setelah masak dan membersihkan diri, aku pun lantas bergegas pergi. Tak lupa membawa buku usang milik Soraya ke dalam tas.

“Berapa lama?” tanya Darius sebelum aku benar-benar hilang dari ambang pintu.

Aku menoleh sekilas. “Tidak sampai matahari benar-benar terbenam.”

Setelahnya, aku benar-benar angkat kaki. Tujuanku saat ini adalah ke pemakaman, tepatnya mengunjungi makam Soraya.

Tidak tahu kenapa, aku merasa ingin ke sana, seperti meminta izin mungkin? Karena sejak aku terjun ke dalam takdir ini, aku dibuat menelusuri jejak rahasianya yang masih belum tahu jelasnya bagaimana.

***

Langit di jam sebelas siang ini tidak begitu terik, panasnya disamarkan oleh desau angin yang berembus. Helai rambut yang beberapa kali mengganggu pandangan tak membuat kehadiran pria berpakaian serba hitam, lengkap memakai topi dan kacamata hitam di depan sana terhalang.

Dia berdiri, aku tahu persis dia sedang berada didekat pusara mendiang Soraya. Aku tidak tahu dia, wajahnya tak begitu jelas. Tetapi melihat postur tubuhnya itu ... seakan itu tidak asing.

Kakiku menginjak ranting, suaranya berhasil menarik perhatian pria di depan sana—yang berjarak kurang dari tiga meter, membuat kami bertatapan beberapa saat.

Persis ketika aku mempercepat langkah untuk mendekatinya, pria misterius itu justru kabur. Sudah berbalik badan, kocar-kacir dengan gelagat aneh.

“Padahal aku hanya ingin menyapa dan bertanya.” Bahuku merosot pasrah, kembali melanjutkan langkah yang tertunda.

“... Aku yakin dia bukan anggota keluarga, sekalipun aku tak pernah melihatnya. Tapi aku menduga, pria misterius itu mungkin saja bisa menjadi petunjuk,” tambahku.

Langkahku terhenti di antara deretan batu nisan yang berdiri diam, seolah jadi saksi bisu dari semua kenangan yang tertinggal. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga segar yang baru saja diletakkan seseorang—yang kuyakini pria tadi.

Aku jongkok di hadapan nisan putih itu. Namanya terukir rapi, bersama tanggal kelahiran dan kepergiannya yang masih belum bisa benar-benar kuterima.

“Aku akan cari tahu … semua yang kamu sembunyikan ataupun yang belum terungkap, Kak,” bisikku lirih. “... Meski harus kuurai satu-satu dalam gelap.”

Aku mengusap pelan nisan itu. Saat berdiri dan hendak pergi, mataku menangkap sosok yang tak seharusnya ada di sana. Ternyata pria misterius tadi tidak benar-benar kabur, dia kepergok sedang memantau.

“Hei!” teriakku, spontan.

Pria itu menoleh sekilas. Meski matanya tertutup kaca mata hitam, aku yakin ada rasa kaget yang tertanam di sana. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia mulai berjalan cepat menjauh.

Aku panik. Buru-buru mengejar. “Tunggu! Siapa kamu? Kamu kenal Soraya, kan?!”

Suara kakiku beradu dengan tanah berkerikil dan rerumputan. Tapi lelaki itu bergerak seperti bayangan, masuk ke jalur kecil di sisi pemakaman. Aku berlari sekuat tenaga, melewati batu nisan dan pagar besi.

Tapi begitu sampai di luar gerbang, dia sudah menghilang. Tak ada mobil. Tak ada jejak. Hanya keheningan dan detak jantungku yang berdegup keras.

Aku berdiri terengah-engah. Mataku menyapu sekitar. Kosong.

Sebenarnya siapa dia?

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!