Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tingkah Ibu dan Anak
Sementara itu, di kediaman keluarga Dorry yang megah dan mewah, suasana sore itu terasa tegang. Di ruang tamu utama, Natalie dan putrinya, Maura, duduk menunggu dengan wajah gelisah.
Suara derap langkah terdengar dari arah pintu utama. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap dan wajah berwibawa masuk ke dalam ruangan—Ben Dorry, kepala keluarga mereka.
Maura segera bangkit dan menghampiri sang ayah. “Ayah!” serunya manja, menggandeng lengan Ben. “Akhirnya pulang juga. Kami sudah menunggu.”
Natalie ikut berdiri, tersenyum dan mendekat ke suaminya. “Ada yang perlu kami bicarakan, Ben. Ini penting.”
Ben Dorry mengangkat alis. “Ada apa lagi? Kalian tampak serius sekali.”
Maura langsung bersuara. “Tadi siang … kami melihat Kaira sedang berjalan di mal bersama Nyonya Claudia, ibunya Sky Dalton! Ayah tahu? Kaira bahkan tidak tahu malu meminta barang-barang mewah pada nyonya Claudia.” Suaranya meninggi karena kesal. “Ayah tahu kan siapa Sky? Dia sempurna! Kaya, tampan, dan pewaris keluarga Dalton!”
Natalie menimpali dengan cepat. “Dan menurutku, itu tidak pantas. Kaira sudah bersuami. Dia menggoda Sky padahal masih menjadi istri Leonel!”
Ben menyipitkan mata. “Tunggu. Bukankah kau sendiri yang bilang ingin menikah dengan Leonel sebelumnya, Maura? Mengapa sekarang tiba-tiba Sky? Bukankah bagus kalau Kaira pisah dengan Leonel, kamu bisa merebutnya.”
Maura meringis. “Karena aku berubah pikiran! Sky jauh lebih segalanya dari Leonel. Lagipula, apa salahnya menginginkan yang terbaik?” Ia menggenggam tangan ayahnya. “Ayah, tolong bujuk Kaira untuk menjauh dari Sky. Dia pasti masih menghormati Ayah. Katakan padanya untuk kembali saja ke Leonel, biar Sky untukku.”
Ben menghela napas panjang, menatap putrinya yang memohon dengan tatapan memelas. Ia lalu melirik istrinya yang ikut mengangguk menyetujui. Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya ia mengangguk pelan.
“Baiklah, aku akan berbicara dengan Kaira.”
Maura tersenyum lebar dan memeluk sang ayah. “Terima kasih, Ayah! Aku tahu Ayah pasti mendukungku.”
Natalie pun tersenyum puas, sementara dalam hati mereka sudah merancang skenario bagaimana membuat Kaira menjauh dari Sky—tanpa sadar bahwa mereka tengah mengusik singa yang telah bangkit dari tidur panjangnya.
****
Sky memasuki mansion mewah milik keluarga Dalton dengan langkah berat. Wajahnya masam, matanya menatap lurus tanpa semangat.
Pintu utama tertutup di belakangnya, namun belum sempat ia menuruni langkah kakinya lebih jauh, suara yang sangat ia kenal menyambut dengan penuh semangat.
“Kenapa wajah putraku yang tampan ini sangat kusut?!” seru Nyonya Claudia dari arah ruang tengah.
Sky menoleh pelan, mendapati sang ibu sudah duduk santai di sofa dengan secangkir teh di tangan. Tatapan wanita elegan itu penuh antusiasme, seolah tak menyadari wajah putranya yang sedang kesal.
“Bagaimana hasilnya, Sky?” tanyanya sambil tersenyum. “Apa kau berhasil membuat Kaira jatuh cinta?”
Sky mendengkus pelan dan menjatuhkan tubuh ke sofa seberang. “Jatuh cinta? Aku bahkan hampir diracun olehnya.”
Nyonya Claudia malah tertawa renyah, tak menunjukkan sedikit pun rasa iba. “Itu artinya dia masih peduli. Kalau tidak, dia tak akan mengancammu,” jawabnya santai.
Sky mendesah panjang. “Ibu, ini serius. Dia benar-benar ingin menyuntikkan racun ke leherku kalau aku tidak pulang.”
Alih-alih panik, Nyonya Claudia meletakkan cangkir tehnya di meja dan menatap tajam ke arah putranya.
“Itu karena kau terlalu kaku, Sky! Tidak romantis! Wanita mana yang mau dengan pria yang tak bisa menunjukkan perasaannya dengan baik?” gerutunya. “Kau harus lebih hangat, lebih berani. Tunjukkan kalau kau serius pada Kaira!”
Sky mengangkat alis. “Jadi sekarang ibu tidak keberatan kalau aku, harus mengejar istri orang apalagi ini istri sepupu aku?”
Sky sengaja memancing sang ibu, dan respon sang ibu ternyata membuatnya senang.
“Ya!” jawab Nyonya Claudia mantap. “Pokoknya kau harus merebut Kaira dari Leonel. Ibu sudah terlanjur suka padanya. Dan, ibu tidak akan menerima menantu lain selain dia.”
Sky menatap ibunya beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “Baik. Kalau itu yang Ibu mau, aku akan usahakan.”
Di belakang Sky, Jerry—asisten sekaligus pengawal pribadinya—hanya bisa menghela napas dan meringis. Dalam hati, ia bergumam, ‘Ibu dan anak ini benar-benar ... cara berpikir mereka berada di luar nalar manusia biasa.’
*****
Keesokan paginya, suasana sekolah dipenuhi bisik-bisik yang tak biasa. Saat Kaira dan Deilin baru saja melangkah memasuki gerbang, tatapan para siswa langsung tertuju pada mereka—lebih tepatnya pada Kaira.
"Sudah dengar belum? Lolyta ... katanya bunuh diri," bisik seorang siswi di koridor.
"Serius? Astaga, itu ... mengerikan," sahut yang lain dengan ekspresi setengah syok setengah lega.
"Yah ... siapa suruh dia terlalu kejam ke orang lain. Karma itu nyata," ujar siswi ketiga dengan nada dingin.
Kaira berjalan tenang dengan tongkatnya, seolah tak peduli dengan suara-suara sumbang yang terdengar jelas ke telinganya. Di sebelahnya, Deilin menahan senyum tipis.
“Kau dengar, kan?” gumam Deilin pelan.
“Tentu saja,” jawab Kaira pelan, bibirnya tersungging tipis. “Mulut mereka lebih cepat dari surat kabar.”
Saat mereka melewati tangga utama, tampak geng Loly berdiri berkelompok. Wajah mereka pucat, mata sembab, dan tampak ketakutan. Salah satu dari mereka, Gadis bernama Vina, memeluk erat bukunya.
"Aku ... aku masih nggak percaya dia bisa lakukan itu . Yg..." gumam Vina nyaris menangis.
“Dia cuma depresi, katanya. Tapi … rasanya aneh, ya?” bisik teman di sampingnya.
“Kalau cuma depresi, kenapa secepat itu? Saat sore harinya, masih sempat update story ... pagi ini dia sudah—” ucap siswi lain, tapi kalimatnya terputus oleh isakan Vina.
Dari kejauhan, Deilin melirik ke arah mereka dengan sinis. “Tinggal tunggu waktu. Satu jatuh, yang lain akan menyusul.”
Kaira mengangguk pelan. “Rasa takut itu racun paling mematikan. Bahkan sebelum tubuh mereka berhenti bernapas.”
Saat mereka berjalan melewati ruang aula, beberapa guru tampak berkumpul, membicarakan hal yang sama. Salah satu guru sempat melihat ke arah Kaira, namun buru-buru mengalihkan pandangan.
“Kau pikir pihak sekolah akan curiga?” tanya Deilin lirih.
“Tidak akan. Mereka terlalu sibuk menutup-nutupi nama baik,” jawab Kaira datar.
Langkah mereka pun melanjut, melewati lorong penuh bisik-bisik dan tatapan samar. Namun, baik Kaira maupun Deilin, tak sedikit pun terpengaruh. Karena mereka tahu—ini baru permulaan dari sebuah balas dendam yang panjang.
Saat Kaira dan Deilin melangkah masuk ke dalam kelas, suasana mendadak hening sejenak. Semua pasang mata tertuju pada gadis buta itu yang tetap melangkah tenang, seolah badai di luar tak menyentuhnya sedikit pun.
Duduk di barisan tengah, Sonia dan Maura langsung menatap tajam penuh kebencian. Maura menyilangkan tangan di dada, sedangkan Sonia memasang senyum menyebalkan.
“Lihat siapa yang datang ... si pembawa sial,” bisik Sonia cukup keras agar terdengar.
dimana2 demi harta hadehhh