Sungguh berat beban hidup yang di jalani Sri Qonita, karena harus membesarkan anak tanpa suami. Ia tidak menyangka, suaminya yang bernama Widodo pamit ingin mencari kerja tetapi tidak pernah pulang. Selama 5 tahun Sri jatuh bangun untuk membesarkan anaknya. Hingga suatu ketika, Sri tidak sanggup lagi hidup di desa karena kerja kerasnya semakin tidak cukup untuk biaya hidup. Sri memutuskan mengajak anaknya bekerja di Jakarta.
Namun, betapa hancur berkeping-keping hati Sri ketika bekerja di salah satu rumah seorang pengusaha. Pengusaha tersebut adalah suaminya sendiri. Widodo suami yang ia tunggu-tunggu sudah menikah lagi bahkan sudah mempunyai anak.
"Kamu tega Mas membiarkan darah dagingmu kelaparan selama 5 tahun, tapi kamu menggait wanita kaya demi kebahagiaan kamu sendiri"
"Bukan begitu Sri, maafkan aku"
Nahlo, apa alasan Widodo sampai menikah lagi? Apakah yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Kita ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Boleh saya bantu Mbak, mau numpang angkutan bukan?" Tanya Widodo, dengan cepat ia ambil alih kantong plastik besar dari tangan Sri.
Sri mengangkat kepala menatap wajah pria yang tertutup masker itu suaranya tidak asing di telinga Sri.
"Saya supir angkutan yang tadi Mbak" Widodo tidak ingin Sri tahu jati dirinya, sebab jika Sri tahu bisa dipastikan akan menghindar. Widodo sudah senang bisa dekat dengan Laras walaupun dengan cara seperti ini.
"Oh, boleh Bang, nanti ongkosnya saya tambah" jawab Sri membuat dada Widodo sesak. Sebenarnya ia tidak mau ambil uang ongkos dari Sri, tapi jika Widodo menolak khawatir Sri curiga.
Sri mengikuti Widodo sambil menuntun Laras tidak membawa apapun. "Kok tumben sih, supir angkot itu mau membantu penumpang? Batin Sri memandangi dua tangan Widodo yang membawakan belanjaan miliknya. Pakaian Widodo yang kumal dan lusuh itu rupanya mampu mengecoh Sri.
Tiba di angkutan sudah ada beberapa penumpang tapi rata-rata mereka memilih duduk di dekat pintu. Sri membungkuk masuk angkot duduk di belakang supir.
"Hape Bunda sepertinya bunyi, deh" kata Laras yang memegang tas selempang milik Sri mendengar getaran.
"Coba Bunda lihat" Sri ambil hape dari dalam tas kemudian melihat si penelpon. "Om Prasetyo sayang... ada apa ya" Sri segera mengangkat telepon dan berbasa basi.
Dalam perbincangan tersebut Prasetyo ingin bertemu Sri karena ada hal serius yang akan dia bicarakan.
"Di rumah Mas saja" Sri mengusulkan agar tidak terjadi fitnah jika Belinda melihatnya.
"Baiklah, nanti sore kamu saya jemput" Pras pun mengakhiri pembicaraan bersamaan telepon ditutup. Padahal Sri ingin menolak dijemput, lebih baik jalan kaki daripada Belinda tahu dan akhirnya salah paham.
Sementara Widodo kaget karena mantan istrinya itu kenal dengan Prasetyo pengusaha restoran yang bukan hanya satu tempat saja. Semangat Widodo untuk mendekati mantan istrinya itu menciut jika harus bersaing dengan Prasetyo.
"Berhenti ya, Bang" ucap Sri menyadarkan Widodo dari lamunan.
"Iya Mbak" Widodo berhenti di depan kios seperti ketika berangkat dari pasar. Dengan semangat ia membantu Sri menurunkan belanjaan kemudian meletakkan di teras ruko. "Ya Allah... wanita yang aku sia-siakan akhirnya bisa bangkit menjadi wanita hebat. Sementara aku? Ya Allah... inilah hukuman yang harus aku terima" batin Widodo memindai sekeliling ruko tanpa Sri tahu karena sedang membuka kunci.
"Terima kasih Bang" ucap Laras senang karena dia pikir pak supir baik sekali telah membantu bundanya.
Widodo mendongak menatap putrinya itu. Jika bukan karena menjaga identitas, ia rasanya ingin menggendong Laras.
"Sama-sama cantik" Widodo tersenyum walaupun hanya terlihat dari matanya. Ia segera kembali ke angkutan karena beberapa penumpang masih menunggu.
"Pak supir" panggil Laras.
Widodo yang hendak membuka pintu menoleh ke belakang, hatinya terasa sejuk memandangi Laras yang berlari ke arahnya. Dia membayangkan putrinya itu benar-benar mengejarnya sebagai ayah.
"Ada apa sayang..." Widodo membungkuk memegang pundak Laras.
"Maaf Bang, Bunda lupa membayar ongkosnya" Laras menyerahkan uang 15 ribu. Anak itu menuturkan, yang delapan ribu sebagai ongkos, selebihnya upah mengangkat barang.
Widodo tersenyum menyembunyikan perasaan sedih di depan Laras karena menerima uang yang seharusnya Widodo yang berkewajiban memberi. "Laras, boleh kita berteman?" Widodo mendekatkan jari.
"Kok Abang tahu nama saya?" Polos Laras mengaitkan jari kelingkingnya kepada Widodo.
Widodo kebingungan tapi secepatnya mencari jawaban yang tepat. "Tadi kan Bunda memanggil kamu seperti itu"
"Laras... jangan lama-lama, cepat kemari sayang..." panggil Sri dari teras ruko.
"Iya Bun" Laras pun kembali. Ia segera diajak Sri masuk memilah-milah sayuran memasukkan ke dalam lemari pendingin.
"Bun, kok Abang supir angkot tadi mirip Ayah" Laras rupanya merasakan kontak batin.
"Kamu ini, mana mungkin Ayah kamu mau berpakaian seperti tadi, lagi pula untuk apa menarik angkot" Sri membantah walaupun sebenarnya ia pun merasa jika suara supir mirip dengan Widodo.
"Kan Laras bilang hanya mirip Bun, bukan Ayah" Laras menjawab dengan cerdas.
"Iya sayang... mungkin karena kamu kangen sama Ayah" Sri sedih juga, ia memang mantan istri Widodo, tapi Laras adalah anaknya. Namun, nyatanya Widodo tidak pernah menemui Laras semenjak resmi bercerai.
"Paling Ayah nggak ingat aku Bun, Ara terus yang disayang" Laras cemburu, dalam pikirannya saat ini ayahnya sedang jalan-jalan dengan Ara keliling Indonesia bahkan ke luar negeri.
"Sayang... sebaiknya kita makan terus bobo siang, nanti sore kita ke rumah Mbah Uti Gayatri" Sri mengalihkan obrolan, ia tahu jika Laras sedang sedih.
"Kerumah Mbah Ratri Bun? Horee... nanti aku minta izin mainan" Laras seketika senang ingat tempo hari di salah satu kamar banyak boneka dan mainan yang lain.
Sri mengangguk memandangi Laras yang segera beranjak ke lantai dua. "Besok sebaiknya aku belikan Laras boneka" batin Sri, dadanya sesak ketika ingat selama ini putrinya bukan hanya butuh makan, tetapi juga jalan-jalan, dan hiburan.
Sore harinya Sri sudah berada di kediaman Gayatri, jika Laras diajak bu Ratri ke kamar bermain, Sri sedang berbincang-bincang dengan Prasetyo di ruang tamu.
"Besok restoran sudah buka Sri, jadi kamu sudah bisa memasak untuk restoran lagi" Prasetyo menuturkan.
"Nanti dulu Mas, kalau pelakunya sudah ditangkap" Sri masih trauma kejadian kemarin akan terulang.
"Sudah ditahan" Pras menjawab pendek.
"Oh gitu... lalu siapa orang itu Mas?" Sri tentu saja ingin tahu agar ia lebih hati-hati.
"Mereka anak buah saya sendiri Sri" Pras menceritakan jika dua orang bagian dapur pelakunya, dan sengaja merusak cctv.
"Lalu apa motifnya Mas?" Sri tidak yakin dua orang itu akan bertindak bodoh jika bukan karena dendam atau ada orang yang menyuruh.
"Saya tidak tahu karena masih dalam penyelidikan" Pras tidak mau pusing, biar itu menjadi urusan polisi.
"Bukan mau menuduh Mas, pasti ada orang yang menyuruh dua anak buah Mas Pras itu" Sri merasa tidak mengenal dua orang itu, tidak mungkin jika mereka tiba-tiba menyerangnya.
"Kamu ada gambaran siapa kira-kira orang itu?" Prasetyo sebenarnya berpikiran sama.
"Orang itu menyerang saya Mas, sudah dipastikan benci pada saya. Untuk itu Mas simpulkan sendiri" Sri ingin Prasetyo berpikir sendiri tidak mau menceritakan kecurigaannya.
Obrolan berhenti ketika bibi membawa dua cangkir minuman meletakkan di depan mereka.
"Terima kasih Bi" Sri tersenyum kepada art. Art itu membalas senyum sembari berjalan kembali ke dapur.
Sementara Pras tidak memperhatikan minum yang masih ngebul itu, tapi pikiranya mencerna kata-kata Sri baru saja. "Apa mungkin Belinda pelakunya? Ah, tidak mungkin" batin Pras menepis pikiranya sendiri. Belinda jika bicara memang ketus, tetapi untuk berbuat sekejam itu Pras tidak percaya.
"Aaagghhh... Panas..." Sri tiba-tiba berteriak karena pundaknya ada yang menyiram teh panas yang baru saja disediakan bibi.
Pras yang sedang menopang pelipis dengan tangan segera berdiri membantu Sri.
"Apa yang kamu lakukan?" Prasetyo menatap tajam seseorang yang hanya berdiri melipat tangan di dada.
...~Bersambung~...
mknya cuss krja bikin kmu sukses dn bhgiain laras....doll...
sekarang baru merasakan widodo, dulu kemana hati nuranimu menelantarkan sri n laras anak kandungmu