"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis itu Berhati Besar
Karel memotong, "Sebaiknya, Anda pergi sebelum situasi ini menjadi kegaduhan." Tatap Karel dengan mata serius.
Karel memegang tangan Dalian memejamkan matanya, bibirnya bergerak pelan, seperti berbisik pada sesuatu yang tak terlihat. “Nggak ada yang berhak memiliki jiwa-jiwa inner child itu Dalian selain pemiliknya sendiri,” jawab Karel, lalu menatap Dalian dengan tatapan penuh keyakinan. “Pecahkan telur itu dan mereka akan kembali pada pemiliknya masing-masing.”
Dalian ragu sejenak, tetapi melihat kepercayaan di mata Karel, Dalian berjalan meninggalkan ruangan itu dengan telur bercahaya di pelukannya.
Dalian, dengan langkah perlahan namun penuh tekad, memimpin jalan menuju atap sekolah bersama Chelsey dan juga Karel. Telur bercahaya yang dipeluk Dalian berdenyut lembut, seperti detak jantung penuh harapan. Di setiap denyutnya, terasa kehidupan yang menunggu untuk kembali ke pemilik sejatinya.
Saat mereka tiba di atap, angin sore yang sejuk menyambut mereka. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, seolah dunia tahu bahwa sesuatu yang sakral akan terjadi. Dalian berdiri di tengah atap, memandang telur bercahaya itu dengan hati yang berat namun ikhlas.
"Lakukan, Dalian. Ini waktunya.” Karel mengangguk pelan, memberi dukungan.
Dalian menarik napas panjang, lalu mengangkat telur itu tinggi ke udara. Cahaya dari telur tersebut semakin terang, membuat langit yang mulai gelap menjadi bercahaya.
Dalam bisikan lembut, ia berkata, “Kembalilah… ke tempat kalian seharusnya berada. Temukan kembali harapan, kebahagiaan, dan cinta yang pernah hilang.”
Perlahan, telur itu mulai terlepas dari tangannya. Terjatuh menghantar lantai. Cahaya mereka berubah menjadi sosok-sosok kecil, bayangan anak-anak dengan senyum tulus, penuh kebahagiaan. Mereka melayang bebas, bergerak di udara, dan setiap sosok menuju arah yang berbeda, kembali kepada pemiliknya masing-masing.
Chelsey memandang dengan mata berkaca-kaca. “Mereka… akhirnya pulang.”
Satu demi satu sosok itu lenyap, meninggalkan jejak cahaya lembut yang menghilang ke dalam langit. Namun, sebelum benar-benar pergi, setiap jiwa tampak membungkuk kepada Dalian, seperti mengucapkan terima kasih.
“Inner child…” Dalian berbisik pelan, menatap mereka dengan penuh rasa haru. “Mereka adalah bagian dari kita yang paling murni. Yang terluka, yang pernah hilang… Tapi kini, mereka bisa kembali menjadi bagian dari hidup seseorang.”
Chelsey menambahkan dengan lirih, “Inner child adalah cermin jiwa. Saat kita melupakannya, kita kehilangan jati diri. Tapi saat kita menyembuhkan dan menerima mereka, kita bisa kembali menjadi utuh.”
Karel memandang langit dengan mata penuh perenungan. “Mungkin kita semua punya bagian dari diri kita yang seperti itu—anak kecil yang pernah terluka, tapi tetap menunggu untuk didengar dan diterima.”
Dalian tersenyum, meski matanya masih basah oleh air mata. Dan, mungkin dia masih belum percaya bahwa Cian adalah inner childnya. Cian, menjadi misteri bagi dirinya.
“Dan mungkin, tugas kita adalah melindungi mereka. Merawat mereka, seperti mereka merawat harapan kita selama ini.” ucap Dalian.
Saat jiwa-jiwa terakhir menghilang, angin berembus lembut, seolah membawa pesan damai dari jiwa-jiwa itu.
“Terima kasih, Dalian,” bisik Cian. “Karena sudah percaya.”
Dalian menatapnya, lalu Karel, dengan rasa syukur yang tak terlukiskan. “Aku hanya ingin kita semua utuh lagi.”
Inner child mereka mungkin tak sempurna, tetapi kini mereka tahu bagaimana merawatnya—dan, pada akhirnya, saling merawat satu sama lain.
...TAMAT...
Eits!! :'3
Malam itu, di balkon rumah yang diterangi sinar bulan, Dalian termenung. Angin malam yang dingin seolah bersekongkol dengan suasana hatinya, membuatnya semakin terlarut dalam pikirannya.
Wajah Kaya kembali terlintas di benaknya—saat ia berubah wujud menjadi manusia dewasa untuk menyelamatkannya. Gambaran tubuh tinggi, sorot mata tajam, dan kekuatan luar biasa Kaya terus menghantui pikirannya.
"Apa itu tadi?" Dalian bergumam pelan, menatap langit penuh bintang. Pipinya terasa panas, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. “Kenapa gue ngerasa... kayak gini?”
Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengenyahkan pikiran aneh itu. Namun, semakin ia mencoba, bayangan Kaya justru semakin jelas.
Satu detik, ia mengingat tatapan tegas Kaya, dan detik berikutnya, senyum kecil yang nyaris tak terlihat saat menyelamatkannya.
“Cinta? Nggak mungkin…” bisiknya, lalu menggigit bibir, berusaha menahan senyumnya sendiri. "Dia cuma... kaya. Maksud gue, dia literally 'Kaya'."
"Gue ngerasa ini kedua kalinya gue melihat Kaya dalam wujud manusia. Sungguh, dia begitu... emm." Pipi Dalian merona. "Tapi, dia sangat mirip dengan Pak Pandita."
"Stop! Dalian! It's just pesona sesaat. Jangan terbuai!!" Elak Dalian mencoba menepis perasaan kecil yang muncul di hatinya.
Tiba-tiba, sebuah suara menyela lamunannya. “Eh, Dalian! Lagi mikirin siapa tuh sampai senyum-senyum sendiri?”
Dalian tersentak. Ia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan Karel berdiri di balkon rumah tetangga, menatapnya dengan senyum jahil.
Karel mengenakan kaus oblong yang santai, tampak benar-benar santai meski sudah larut malam.
“Ng—nggak mikirin siapa-siapa!” Dalian langsung membantah, wajahnya memerah. Ia berusaha terlihat tenang, tapi itu hanya membuat Karel semakin curiga.
“Oh, gitu?” Karel mencondongkan tubuhnya di pagar balkon, matanya menyipit penuh godaan. “Tapi muka lo merah gitu. Jangan-jangan lo jatuh cinta, ya?"
“Jangan asal tuduh, deh!” sergah Dalian sambil berusaha menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. “Lo tuh nggak ada kerjaan lain, ya? Kenapa selalu ganggu gue?”
Karel tertawa kecil, jelas menikmati situasi ini. “Loh, ini kan udah jamnya tetangga ngobrol santai. Lagian, lo keliatan banget lagi mikirin sesuatu yang gede, nih. Ayo, cerita sama Karel yang baik hati ini.”
Dalian memutar bola matanya, setengah frustrasi. “Yaelah, lo denger, kan, tadi? Gue nggak mikirin apa-apa!”
Karel mengangkat alis, memasang wajah pura-pura serius. “Hmm… kalo gitu gue bakal tebak. Lo lagi mikirin seseorang yang baru lo lihat dari sisi lain. Seseorang yang rela berubah untuk nolong lo. Dan lo nggak tau gimana perasaan lo sekarang. Bener kan?”
Dalian melotot, jelas merasa terpojok. “Lo tukang baca pikiran, ya?! Sotoy bener!"
Karel tertawa keras. “Nggak, gue cuma pinter aja. Lo tuh gampang banget ditebak, Dalian.”
Dalian berdiri dengan gusar, menendang pagar balkonnya sendiri. “Lo ganggu banget, tau nggak? Udah sana balik ke kamar lo!”
“Eits, jangan lupa, kalo elo suka seseorang baiknya segera omongin. Gue siap bantu."
Dalian diam sejenak, ekspresinya melunak. Ia mendesah pelan, lalu bergumam, “Apaan sih elo, Karel."
Dalian terdiam, "Aneh sih memang. Kenapa hati gue ngerasa ada yang beda tiap kali gue inget dia. Kaya.”
Karel mendadak berhenti tertawa. Tatapannya berubah lebih lembut. “Dalian, perasaan itu bukan hal yang harus lo hindarin. Kadang, orang spesial muncul di hidup kita dengan cara yang nggak biasa. Mungkin ini akan memulai cerita baru elo.”
Dalian mengerjap, terkejut mendengar Karel yang biasanya usil tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang bijak.
aku sudah mampir yah kak "Fight or Flight"