"Dia bukan adik kandungmu, Raja. Bukan... hiks... hiks..."
17 tahun lamanya, Raja menyayangi dan menjaga Rani melebihi dirinya. Namun ternyata, gadis yang sangat dia cintai itu bukan adik kandungnya.
Namun, ketika Rani pergi Raja bahkan merasa separuh hidupnya juga pergi. Raja pikir, dia telah jatuh cinta pada Rani. Bukan sebagai seorang kakak..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Sudah Pindah ke Kota
Beberapa hari kemudian...
Setelah pulang sekolah Hani datang dengan membawa banyak bungkusan di tangannya. Dia dari pasar.
"Uhukk.. Uhukk"
Murni yang memang sudah dua hari ini sakit dan tidak pergi ke perkebunan. Cukup terkejut dengan apa yang di bawa anaknya itu. Tapi kemudian, dia berpikir mungkin saja anaknya mendapatkan barang-barang itu dari Bu kepala desa atau Bu Retno. Karena memang selama ini dua orang itulah yang kerap membentuk Murni dan Hani.
"Hani, kamu sudah pulang nak? ibu tidak kuat bangun, tolong kamu masak nasi ya nak, jangan lupa jemur kayu bakarnya..."
"Aku capek Bu! aku baru pulang dari pasar! mau istirahat, lagipula aku sudah makan di warung nasi yang ada di pasar!" ujar anak itu yang langsung masuk ke dalam rumah begitu saja mengacuhkan ibunya yang berusaha merangkak turun dari tempat tidur.
"Kamu dari pasar? barang-barang itu dari pasar? bukan pemberian..."
Mendengar itu Hani menjadi kesal. Kenapa seolah dia pengemis yang harus terus mengandalkan pemberian dari orang lain.
"Bu, ini semua aku beli ya. Memangnya ibu yang selalu bangga di kasih sumbangan orang lain! Heran, dianggap pengemis kok bangga!"
Hani bicara dengan sangat kasar. Dia juga menyindir ibunya, merendahkan ibunya.
"Kamu kenapa bicara seperti itu? kamu dapat uang darimana? apa nona Rani..."
"Cukup ya Bu!" bentak Hani menyela Murni.
Hani bahkan melemparkan plastik hitam bergaris putih itu ke tanah. Ya, lantai rumah sederhana mereka memang masih tanah merah.
"Kenapa ibu selalu mengatakan hal itu terus, hal itu terus? seolah aku ini tidak bisa apa-apa tanpa Rani, tak punya apa-apa tanpa kebaikan Rani. Dia itu munafik Bu, dia itu sebenarnya cuma mau cari muka. Yang dia kasih itu barang bekas! Aku bosan semua orang mengelu-elukan dia terus. Rani si baik hati, si pintar, tidak pernah berkelahi. Itu bohong Bu! dia itu bermuka dua!"
"Hani..."
"Kenapa? ibu mau bela dia? bela saja! yang pasti aku gak akan pernah mau terima atau pakai barang bekasnya lagi. Sudah cukup ya Bu! aku bisa kok dapat uang sendiri, lihat ini! aku beli semua ini pakai uangku sendiri!" Hani mengatakan semua itu dengan bangga.
Namun semakin Hani membanggakan dirinya. Murni semakin khawatir.
"Darimana kamu dapatkan uang itu nak?" tanya Murni pelan.
"Ibu gak perlu tahu, karena selama ini ibu juga gak pernah kasih aku kehidupan yang layak. Aku selalu dihina, direndahkan orang lain karena ibu yang gak mampu! ibu itu lemah dan bodohh. Kalau aku bisa milih. Aku gak mau dilahirin sama ibu. Aku gak mau, punya ibu kayak ibu, lemah, miskin, bodohh lagi!"
Tes tes tes
Air mata Murni mengalir deras, tanpa henti. Mengalir tanpa bisa dia sanggup untuk tahan. Hatinya hancur. Dia memang bukan ibu kandung Hani, tapi dia selalu berusaha menyayangi Hani dengan tulus. Dia juga berusaha menghidupinya dengan segenap usaha dan keterbatasannya.
Namun ternyata, darah itu memang lebih kental daripada air. Rasanya Murni ingin segera memberitahukan yang sebenarnya. Ingin mengatakan kalau Hani memang bukan anaknya. Tapi, dengan Hani yang seperti ini, dia bahkan tidak punya muka rasanya menghadapi Bu Retno dan pak Jacky nanti.
Semakin hari, kondisi kesehatan Murni semakin buruk. Hingga dia harus dilarikan ke puskesmas. Di saat itulah, dia tidak mendapati keberadaan dokter Jacky. Justru ada dua dokter muda yang memeriksanya. Padahal, sebelumnya hanya ada dokter Jacky di puskesmas desa ini.
"Pak dokter Jacky..." lirih Murni.
"Dokter Jacky sudah pindah tugas ke kota Bu. Beliau di daulat menjadi dokter di rumah sakit terbesar di kota, karena dedikasinya. Semalam mereka sudah pindah, kami yang tinggal di rumah dinas itu sekarang. Jangan khawatir Bu, kami akan memeriksa dan memastikan untuk merawat ibu dengan baik!" kata dokter muda itu.
Murni langsung bingung.
'Bagaimana ini, aku belum katakan yang sebenarnya. Apa memang seharusnya begini, apa ini tandanya aku memang harus merawat Hani sampai akhir hidupku. Rani, ibu bahkan tidak bisa melihatmu untuk terakhir kali nak...'
"Dok, kasih aja dia obat tidur. Dari tadi batuk terus! berisik!" ujar Hani.
"Adek ini anaknya Bu Murni ya?" tanya salah satu dokter muda itu.
"Iya dok, tapi saya mau pulang. Kalau ada apa-apa, urus aja lah gimana baiknya. Saya capek mau tidur!"
Murni menghela nafas panjang. Hani sepertinya sudah tidak bisa di rubah lagi. Murni sungguh merasa bersalah, kalau saja dia bisa lebih tegas saat Hani masih kecil. Mungkin dia tidak akan jadi seperti ini.
**
Di kota...
Rani di antarkan Raja ke sekolah barunya. Sekarang dia sudah kelas 5, dan Raja sudah SMA.
"Dengar! jangan jajan sembarangan, jangan makan bersama satu tempat makan, jangan minum bersama satu botol atau sedotan dengan orang lain, oke!"
Rani mengangguk patuh. Tapi saat akan masuk kelas dia ragu.
Raja menepuk bahu adiknya dengan lembut.
"Kamu anak baik Rani, pasti mudah untukmu mendapatkan teman. Atau mau kakak tunggu di sini, sampai pulang?" tanya Raja.
Sekarang Raja benar-benar sudah lebih bijaksana.
Namun Rani dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Tidak usah, kakak juga harus ke sekolah..."
"Halo, anak baru ya? darimana? kita main yuk! namaku Alia"
Seorang anak dengan kuncir rambut modern dengan jepit kupu-kupu yang bisa bergerak menghampiri Rani. Tak lama, anak lain juga datang.
"Rani, namanya Rani" kata Raja tersenyum.
Semua calon teman-teman Rani tampak terpesona dengan senyuman Raja.
"Oh nama kamu Rani, aku Santi. Ini kakak kamu ya..."
Akhirnya Rani pun memiliki banyak teman. Awalnya, teman-temannya itu memang terkesima dengan Raja. Namun lama-kelamaan, mereka memang suka pada Rani yang baik dan ramah.
***
Bersambung...