Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar, "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar. "Hati-hati lain ka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat Abizard
Almira termenung di kamarnya,hingga tak mendengar panggilan Debora dari luar kamarnya. Kata-kata Abigail membuatnya rapuh. Ia yang tak ingin membuat Abizard celaka harus menuruti keinginan Abigail untuk menjauhinya.
Ceklek
"Al, kau sudah pulang?." ucap Debora begitu ia masuk
Almira menoleh sambil mengusap pipinya yang basah karena air matanya,
"Debora." singkatnya.
Debora duduk disampingnya,dengan lembut menarik tangan Almira dan menggenggamnya,
"Ada apa Al, katakan padaku jika kau ada masalah?."
Almira menatap sendu sahabatnya itu, sudah sejak lama mereka hidup bersama tanpa kasih sayang kedua orang tua mereka masing-masing. Walaupun usia Debora lebih tua ,namun Debora tak masalah jika Almira menganggapnya seumuran dengannya .
Terlahir dari keluarga yang tidak mampu, membuat mereka harus saling mengasihi satu sama lain. Terlebih mereka berdua sama-sama dibesarkan di panti asuhan.
"Deb, Abigail... Dia memintaku untuk menjauhi Abizard."
"Apa?!!.
Tentu saja Debora terkejut, Debora sudah sejak awal merasa janggal dengan sikap Abigail pada Almira itu pun mengepalkan tangannya.
" Kurang ajar sekali dia. Lalu kau akan menurutinya?."
Almira terdiam sejenak,
"Al, kau harus melawan, bagaimana pun Abigail tak bisa mengatur hidupmu."
Almira menatap lekat sahabatnya itu,
"Jika tidak aku lakukan, Abigail akan menyakitinya."
Debora tertegun mendengar penjelasan Almira. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarah yang mulai membakar dadanya.
"Al, kita nggak bisa biarin Abigail seenaknya," ujar Debora tegas.
"Kita harus cari cara buat melindungi Abizard tanpa harus menyerah pada Abigail."
"Tapi gimana caranya, Deb?" tanya Almira, suaranya bergetar.
"Dia punya kendali penuh atas situasi ini. Aku nggak tahu apa yang dia bisa lakukan kalau aku melawan."
Debora menggenggam tangan Almira lebih erat.
"Kamu lupa kita udah bertahan dari banyak hal lebih berat dari ini? Kita akan cari jalan, Al. Tapi pertama-tama, kamu harus kuat. Jangan biarin dia melihat kamu takut."
Almira terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
"Aku akan coba."
Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Almira dan Debora saling berpandangan, firasat buruk segera menyelimuti.
Debora berdiri, berjalan menuju pintu dan mengintip dari lubang intip. Ia langsung berbalik, wajahnya tegang.
"Abigail…" bisiknya.
Almira langsung berdiri. "Deb, jangan buka pintunya."
Tapi sebelum Debora bisa mencegah, Abigail sudah mengetuk dengan nada mendesak.
"Almira, aku tahu kamu di dalam. Kita harus bicara."
Debora menatap Almira, menunggu keputusan. Almira menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu.
"Aku akan hadapi dia."
Debora menggenggam lengannya.
"Aku di sini. Apa pun yang terjadi, kamu nggak sendirian."
Almira membuka pintu perlahan. Abigail berdiri di sana dengan senyum liciknya.
"Boleh aku masuk?"
Almira menahan napas, lalu melangkah ke samping, membiarkan Abigail masuk. Debora tetap berdiri di samping Almira, matanya menatap tajam Abigail, seolah siap melindungi sahabatnya kapan saja.
Abigail duduk di sofa dengan santai, menyilangkan kakinya.
"Jadi, Almira, aku datang ke sini bukan cuma untuk memastikan kamu menepati janji. Aku punya tawaran baru untukmu."
Almira menegang. "Tawaran apa?"
Abigail menatap Almira dengan penuh arti.
"Menikahlah denganku, Almira. Itu satu-satunya cara aku bisa benar-benar yakin kamu tidak akan kembali ke Abizard."
Debora langsung maju selangkah. "Apa kamu sudah gila?!"
Abigail tersenyum dingin.
"Ini bukan permintaan, Debora. Ini perintah. Kalau Almira menolak, aku pastikan hidup Abizard tidak akan pernah tenang."
Almira terdiam, tubuhnya gemetar. Tawaran itu seperti jebakan yang tak mungkin ia hindari.
"Jangan dengarkan dia, Al!" sergah Debora.
"Ini sudah keterlaluan!"
Namun, Almira tahu Abigail tidak main-main. Ia menatap Abigail dengan penuh kebencian, tetapi juga pasrah.
"Aku akan pikirkan… Beri aku waktu."
Abigail tersenyum puas.
"Tentu. Tapi jangan terlalu lama. Waktumu hanya sampai akhir minggu ini." Dengan itu, Abigail berdiri dan berjalan keluar, meninggalkan Almira dan Debora dalam keheningan penuh ketegangan.
Debora berbalik, menatap Almira dengan tatapan menelisik,
"Al, apa yang kau lakukan? Kau akan menerimanya."
"Lalu aku harus apa Deb, aku tak cukup kuat untuk melawannya. Jika aku menikah bisa membuat Abizard jauh dari penderitaan aku rela."
Debora mengguncang bahu Almira, matanya berkaca-kaca menahan emosi.
"Al, dengar aku! Menikah dengan Abigail bukan solusi. Kamu pikir itu akan menyelamatkan Abizard? Tidak, itu justru akan menghancurkan kalian berdua. Apa kamu mau hidup dalam neraka selamanya?"
Almira menunduk, air matanya jatuh semakin deras.
"Tapi, Deb… Aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak mau kehilangan Abizard, tapi aku juga nggak bisa melihat dia terluka. Abigail akan melakukan apa saja."
Debora menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu Almira sedang berada di titik terlemahnya.
"Kalau begitu, kita harus cari bukti untuk menjatuhkan Abigail. Dia pasti punya kelemahan, dan kita akan temukan itu."
Sementara di rumah sakit, Abizard sangat mencemaskan Almira . Sudah beberapa hari ia tak melihat sosok wanita yang selalu ada disampingnya belakang ini.
"Bu, bagaimana kabar Almira? Apakah ada kabar?."
Melisa menggeleng,
"Ayahmu baru saja mengirim seseorang untuk mencarinya. Kau jangan cemas Zard, Almira pasti baik-baik saja."
Abizard terdiam, merasa sesuatu terjadi dengan Almira. Ia memutar-mutar ponsel pipihnya. Entah sudah beberapa kali Abizard menghubungi Almira namun ponselnya tidak aktif.
"Al, di mana kamu." gumamnya.
Di sudut lain, Yoseph baru saja mendapat kabar dari anak buahnya, bahwa belakangan ini Almira sering bertemu dengan Abigail Rendra. Kedua tangan Yoseph terkepal. Ia tahu sesuatu pasti terjadi pada Almira.
"Antar aku menemui Almira."
"Baik tuan."
Yoseph yang tak ingin terjadi sesuatu pada putranya yaitu Abizard . Terpaksa harus menyukai wanita pilihan putranya itu. Sebelumnya ia sempat curiga dengan sikap Almira sebelum meninggalkan rumah sakit.
Yoseph tiba di apartemen Almira dengan wajah tegang. Ia turun dari mobil, melangkah cepat menuju pintu apartemen sambil menelepon seseorang.
"Pastikan Abigail diawasi. Jangan sampai dia lolos kalau terbukti mengancam Almira," perintahnya dengan nada dingin.
Yoseph mengetuk pintu kediaman Almira. Dari dalam, Debora mengintip melalui lubang intip, lalu berbisik kepada Almira,
"Al, ada seorang pria paru baya. Apa kita buka pintunya?"
Almira terdiam sejenak, wajahnya diliputi keraguan.
"Tunggu Deb. Biar aku saja yang buka."
Almira mendekat lalu membuka pintu rumahnya, dan Yoseph langsung masuk dengan tatapan tajam.
"Almira, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya tegas.
"Kenapa kau tiba-tiba menghilang dan menghindari Abizard? Apa hubungannya dengan Abigail?"
Debora mencoba menjawab, tapi Almira menyentuh lengannya, meminta izin untuk berbicara.
"Tuan Yoseph, ini rumit," ucap Almira, suaranya bergetar.
"Abigail mengancam akan menyakiti Abizard jika aku tidak menjauhinya. Bahkan… dia memaksaku untuk menikah dengannya."
Mata Yoseph membelalak.
"Menikah?! Abigail benar-benar sudah kelewatan!"
"Ya," lanjut Debora,
"Dia mengawasi Almira setiap saat. Kami sedang mencari bukti untuk menghentikannya, tapi kami butuh bantuan."
Yoseph menarik napas panjang, wajahnya berubah serius.
"Kalian tidak sendirian. Aku akan membantu. Abigail sudah kelewat batas, dan aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan kehidupan kalian."
Almira merasa sedikit lega, meski masih ada ketakutan di hatinya.
"Tapi, Tuan Yoseph… Abigail itu licik. Dia pasti punya rencana cadangan."
"Itu sebabnya kita harus selangkah lebih maju," ucap Yoseph dengan penuh keyakinan.
"Aku akan mencari semua kelemahannya. Kalian tetap di sini, jangan sampai dia tahu kita sedang menyusun rencana."
Debora mengangguk setuju. "Kita akan tetap waspada."
Sementara itu, di rumah sakit, Abizard semakin gelisah. Firasat buruk terus menghantuinya. Ia menatap kosong ke jendela, pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang keberadaan Almira.
"Al… apa sebenarnya yang terjadi?" gumamnya lirih.
Tak lama, ponsel Abizard bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
"Jika kau ingin tahu di mana Almira, temui aku di kafe tua di sudut kota malam ini."
Abizard menatap pesan itu dengan tatapan bingung. Ia tahu pesan itu bisa saja jebakan, tapi hatinya tak bisa diam.
"Aku harus pergi," gumamnya sambil bersiap meninggalkan kamar.
Namun, Melisa yang baru masuk langsung menahan langkahnya.
"Zard, kamu mau ke mana?"
"Aku harus cari Almira, Bu. Aku nggak bisa diam di sini."
Melisa menggenggam tangannya erat.
"Tapi kau masih lemah, Zard. Setidaknya beri tahu Ayahmu dulu."
"Tidak, Bu. Ini urusan antara aku dan Almira. Aku nggak bisa tunggu lebih lama lagi."
Dengan tekad bulat, Abizard meninggalkan rumah sakit, meski tubuhnya masih lemah.
Di sisi lain, Abigail sedang menyusun rencana barunya, tak sadar bahwa Yoseph dan Almira sudah mulai bergerak untuk mengungkap rahasianya.