“Aku bukan barang yang bisa diperjualbelikan.” —Zea
Zea Callista kehilangan orangtuanya dalam sebuah pembantaian brutal yang mengubah hidupnya selamanya. Diasuh oleh paman dan bibinya yang kejam, ia diperlakukan layaknya pembantu dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh sepupunya, Celine. Harapannya untuk kebebasan pupus ketika keluarganya yang serakah menjualnya kepada seorang mafia sebagai bayaran hutang.
Namun, sosok yang selama ini dikira pria tua berbadan buncit ternyata adalah Giovanni Alteza—seorang CEO muda yang kaya raya, berkarisma, dan tanpa ampun. Dunia mengaguminya sebagai pengusaha sukses, tetapi di balik layar, ia adalah pemimpin organisasi mafia paling berbahaya.
“Kau milikku, Zea. Selamanya milikku, dan kau harus menandatangani surat pernikahan kita, tanpa penolakan,”ucap Gio dengan suara serak, sedikit terengah-engah setelah berhasil membuat Zea tercengang dengan ciuman panas yang diberikan lelaki itu.
Apa yang akan dilakukan Zea selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BEEXY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 - Sisi Sang Mafia
Suasana pagi itu dipenuhi ketegangan setelah yang terjadi malam sebelumnya dimana Gio mendengarkan mimpi buruk Zea .
Gadis itu duduk di tepi ranjang dengan Giovanni yang beranjak pergi.
"Kau benar-benar tidur di sini semalaman?"tanya Zea. “Jawab pertanyaanku.”
“Kau punya mata untuk melihat keberadaan ku juga di ranjang itu.” suara Giovanni terdengar tajam dan dingin.
"Kau mendengar ku .. mengigau?”
“Kenapa kau terus menerus membicarakan hal yang sudah pasti? Aku tidur di sini, di samping mu, tidak mungkin aku tidak mendengar suara berisik yang menganggu istirahat tenangku.”
“Lagipula kenapa kau tidur di sini?”
Giovanni mengentikan langkahnya. "Dimanapun aku tidur itu bukan urusanmu.”
“Tetap saja aku adalah tahanan mu kan? Tapi kenapa kau...”
“Kau terlalu banyak bicara.” Giovanni mengentikan langkahnya. “aku hanya ingin mengawasi propertiku," ucapnya datar.
Zea mengatupkan bibirnya, darahnya mendidih mendengar kata itu. "Aku bukan barang!"
Gio tersenyum miring, tapi itu bukan senyum hangat. Itu adalah ekspresi superioritas, seakan ia tengah menikmati bagaimana Zea marah, tapi tetap tak berdaya di hadapannya.
"Kau dijual padaku. Itu membuatmu menjadi milikku."
Zea menggigit bibirnya, tubuhnya menegang. Ia ingin melawan, ingin meneriakkan bahwa ia bukan sesuatu yang bisa dimiliki sesuka hati. Dia rasanya ingin menghajar Giovanni Tapi matanya menangkap sesuatu di pinggang pria itu—sebuah pistol terselip rapi di balik celana bahan hitamnya.
Seolah memahami arah tatapan Zea, Gio hanya menatapnya dalam diam, membiarkan Zea menyadari sendiri realitas mengerikan ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, pria itu melangkah menuju kamar mandi, meninggalkan Zea dengan pikirannya sendiri.
---
Suara air mengalir dari balik pintu kaca kamar mandi.
Zea berusaha mengatur napasnya, tangannya mencengkeram seprai. Ia mencoba mencari celah untuk melarikan diri, tapi satu-satunya pintu di kamar ini terkunci.
"Aku tidak boleh terus menerus berada di sini. Berbahaya, aku bisa mati kapanpun juga. Pistol itu ... ” Zea memejamkan matanya kembali terbayang oleh pistol yang selalu berada di sekitar Giovanni. “Pistol itu dapat mengambil nyawaku dalam sepersekian detik. Aku harus berhati-hati dengannya.”
Walau begitu ada hal yang tidak Zea pahami, mengapa Giovanni memilih untuk tidur di kamar itu satu ranjang dengannya, padahal jika hanya untuk mengawasi Zea, Giovanni bisa saja memasang CCTV, itu sudah cukup. Padahal Zea juga menyadari kalau di ruangan itu terdapat CCTV di pojok langit atap.
Pikirannya terus berputar, sampai suara pintu kamar mandi terbuka.
Zea refleks menoleh, dan napasnya tercekat.
Giovanni Alteza berdiri di sana dengan hanya handuk putih yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah, beberapa tetes air jatuh dari ujung rambutnya, menelusuri kulit dada dan perutnya yang kokoh.
Pria itu tidak terburu-buru mengenakan pakaian. Dengan santai, ia berjalan ke lemari, mengambil celana panjang, lalu melepas handuknya begitu saja.
Zea sontak memalingkan wajah, wajahnya memanas.
"K-kau tidak tahu malu!"
Gio, yang kini mengenakan celana, hanya menoleh dengan ekspresi datarnya. "Di rumahku sendiri?"
Zea memelototinya, tapi pria itu tidak terpengaruh. Dengan tenang, ia mengenakan kemeja hitam tanpa mengancingkannya, membiarkan dadanya tetap terbuka. Menampilkan sosok Giovanni yang seksi dan menggoda.
Saat Zea hendak melangkah menjauh dari ranjang, namun Gio bergerak lebih cepat. Dalam sekejap, ia menarik pergelangan tangan Zea, menariknya hingga kembali terduduk di ranjang.
"Diam."
Zea mencoba memberontak, tapi cengkeraman pria itu terlalu kuat.
"Jangan menyentuhku!" Zea berusaha menarik tangannya, tapi Gio malah menariknya lebih dekat, hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. Zea dapat merasakan nafas Gio di wajahnya.
Tatapan mereka bertemu, mata tajam Gio mengunci pergerakannya. "Jangan berusaha pergi dari pandanganku. Kau tau konsekuensinya kan?”
Bagaimana Giovanni tahu niat Zea yang ingin pergi dari mansion itu?
”Aku ingin bebas. Aku bukan barangmu, aku berhak pergi, bukan keinginanku berada di sini.”
“Tapi faktanya kau dijual padaku.”
“Aku tidak pernah mau! Itu bukan keinginanku! Jika bisa memilih aku tidak pernah ingin berada di sini!”
"Kau tidak punya hak untuk memberontak," bisik Gio, suaranya rendah, mengancam. "Properti seharusnya diam dan tidak banyak bicara."
Dada Zea naik turun dengan cepat. Matanya menatap Gio dengan penuh kebencian, tapi pria itu hanya tersenyum kecil, seolah menikmati perlawanan yang sia-sia ini.
Dan kemudian, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Gio menurunkan wajahnya, mendekati leher Zea. Napasnya hangat di kulit Zea, membuat gadis itu menegang.
"Jangan lupa tempatmu, Zea," bisiknya.
Tubuh Zea membeku. Sensasi nafas Gio terasa hangat di telinganya.
Namun, secepat itu terjadi, Gio menjauhkan wajahnya begitu saja.
Dengan santai, ia meraih ponsel di meja samping ranjang, lalu menekan satu tombol.
"Federico," suaranya datar. "Bawakan makanan ke kamarku."
Zea masih duduk di tempatnya, tangannya gemetar halus. Ia menatap pria itu dengan perasaan campur aduk—takut, marah, dan kebingungan.
Seakan tak ada yang terjadi, Gio menekan nomor lain dan menempelkan ponselnya ke telinga.
"Asher," katanya dengan suara bos yang terbiasa memerintah. "Kirimkan file presentasi hari ini ke emailku. Aku ingin laporan detailnya sebelum jam sepuluh."
Asher adalah sekretaris pribadi Gio.
Zea mengerjap.
Mendengar suara Gio berbicara soal bisnis, mengingatkannya lagi akan fakta bahwa pria ini bukan hanya seorang mafia.
Ia adalah Giovanni Alteza, CEO Alza Grup.
Bagaimana mungkin seorang pria yang memiliki bisnis besar, yang selalu tampil di majalah dan acara penting, juga seorang mafia kejam yang bisa membeli seseorang seperti dirinya?
Tanpa sadar, Zea mengeluarkan pertanyaan yang mengusik pikirannya sejak tadi malam.
"Kenapa seorang CEO sepertimu menjadi mafia?"
Gio menghentikan langkahnya.
Ia menatap Zea, tetapi tidak segera menjawab. Ada ketegangan halus dalam sorot matanya, seolah pertanyaan itu menyentuh sesuatu yang lebih dalam dari yang seharusnya.
Setelah beberapa detik hening, pria itu berjalan mendekat, lalu menatap Zea dari atas.
"Kau pikir dunia bisnis dan dunia mafia itu berbeda?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan beracun. "Dunia ini penuh dengan orang-orang rakus yang akan melakukan apapun demi kekuasaan. Aku hanya memastikan aku berada di puncak rantai makanan."
Zea menatapnya, mencoba mencari kebohongan dalam kata-kata itu.
"Puncak rantai makanan? Kau gila.”
“Memang. Aku akan melakukan segalanya untuk mendapatkan itu.”
“Bahkan dengan cara ...”ucapan Zea menggantung di udara.
Giovanni bersmirk, dia seolah tau arah ucapan Zea. “Membunuh? Ya. Bahkan dengan cara itu.”
Gio tersenyum kecil, senyum yang sama sekali tidak hangat.
“Kau ... membunuh?”
"Tentu. Memang kenapa? Tidak ada bedanya denganku yang menghancurkan perusahaan kecil demi keuntungan lebih besar." ia berbisik di telinga Zea, nada suaranya menggoda sekaligus berbahaya. "Bedanya, dalam dunia bisnis, aku membunuh mereka dengan angka. Dalam dunia ini, aku membunuh mereka dengan peluru."
Zea menahan napas.
Ia baru menyadari satu hal.
Pria ini tidak hanya berbahaya. Ia adalah seseorang yang lahir untuk berada di dalam kegelapan.