"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Black Wound
Setelah kepergian Riana, Tari masih terisak dalam diam. Air matanya masih mengalir, sementara Yudha duduk di sebelahnya, terus mengelus pelan punggung Tari yang bergetar.
"Tari sudahlah, berhentilah menangis. Riana kan udah maafin kamu, semuanya akan baik-baik saja sekarang. Jangan terlalu stress, nggak baik untuk anak kita," Yudha tersenyum lembut menatap Tari yang menutup wajahnya menggunakan tangan.
Tari menggeleng pelan dan menurunkan tangannya, suaranya bergetar ketika ia akhirnya membuka mulut. "Yud pulanglah ke rumahmu. Temani Riana, aku nggak mau dia sendirian saat ini."
Yudha menatapnya dengan ragu. "Tapi kamu juga sendirian disini Tari, aku nggak mau ninggalin kamu. Kamu masih butuh istirahat—"
"Aku nggak apa-apa," potong Tari cepat, tatapannya terlihat kesal. Ia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya. "Riana lebih penting sekarang. Dia pasti sangat terluka sekarang, dia hanya pandai menyembunyikannya. Dia sangat membutuhkan mu lebih dari aku,"
Yudha menghela napas panjang, merasa bimbang. Ia ingin memastikan Tari baik-baik saja, tapi ia juga tahu bahwa ucapan Tari juga benar. "Kamu yakin? Tapi kalau ada apa-apa, kamu harus langsung hubungi aku."
Tari menghela napas dan mengangguk kecil.
Yudha memandangi wajah Tari terlihat sangat lelah, dengan mata yang bengkak dan merah. Ia tidak ingin melihat Tari seperti ini.
Akhirnya ia mengangguk perlahan. "Oke aku akan pulang sekarang. Kamu harus langsung istirahat,"
Tari tidak menjawab, ia menyandar kebelakang sofa dan akhirnya mengangguk.
Sebelum berdiri Yudha mencondongkan tubuhnya pada Tari yang terdiam melihat apa yang akan di lakukan olehnya. Lalu detik berikutnya matanya membelalak, Yudha mencium bibirnya dengan lembut. Tari tidak membalas ciuman Yudha, hanya membiarkan pria itu.
Lalu Yudha melepaskan ciumannya dan tersenyum simpul melihat Tari yang terengah-engah, kehabisan napas akibat ulahnya. Ia berdiri dari sofa, mengambil jaketnya, lalu menatap Tari sekali lagi sebelum melangkah menuju pintu. "Aku akan datang besok."
Tari hanya diam, Matanya mengikuti pria itu hingga pintu apartemen tertutup. Begitu Yudha pergi, keheningan menyelimuti ruangan.
Ia tidak ingin mengakui nya, tapi perasaan nya terasa membaik karena ciuman Yudha. Pria itu menyalurkan semangat dan rasa cinta dalam ciuman itu. Sejujurnya jika saja Yudha bukanlah suami Riana, tapi suami wanita lain. Bisa dipastikan ia akan dengan senang hati merebutnya.
Matanya sontak membelalak, terkejut oleh apa yang baru saja di pikirkan nya.
'Apa secara perlahan aku mulai kehilangan akal?,'
Tari melihat kebawah, kearah perut nya. Ia memegang perutnya yang masih rata, pandangan matanya terlihat kosong.
"Kenapa kehamilan ku selalu di iringi dengan berbagai masalah, apa aku dikutuk atau semacamnya," gumamnya pelan, ia tersenyum getir.
.
.
.
Yudha sampai di rumah sekitar pukul 10 malam. Suasana rumahnya sunyi dan gelap, Ia membuka pintu dengan hati-hati dan menutup nya perlahan, lalu masuk ke dalam rumah.
"Riana?" panggilnya, suaranya menggema di keheningan rumah, ia berjalan menuju saklar lampu dan menghidupkan nya. Ia berjalan menuju kamar, "Sayang, kamu di dalam?"
Yudha membuka pintu kamar mereka perlahan, dan mendapati sosok Riana sedang berbaring di tempat tidur menghadap jendela, membelakanginya saat ini.
Dengan langkah perlahan, Yudha melepaskan jam tangannya dan meletakkannya di meja rias Riana. Perlahan ia mendekati tempat tidur dan duduk di tepi kasur, memandangi punggung Riana yang tampak kaku. Tanpa berkata apa-apa, ia berbaring di sebelahnya, lalu perlahan memeluk tubuh Riana dari belakang dengan erat.
Riana sedikit tersentak merasakan pelukan itu, tapi tak ada gerakan lain darinya.
"Riana..." bisik Yudha lembut, dagunya bertumpu di bahunya. "Aku pulang. Aku di sini sayang."
Tidak ada respons apapun. Yudha menutup matanya, mengeratkan pelukannya. Tapi tak lama, ia mendengar suara isakan kecil, suara itu terdengar pilu. Mendengar nya membuat rasa bersalah nya semakin menjadi.
"Riana aku salah, salahkan lah aku. Berhentilah menangis sayang," Yudha mengecup lembut bahu istrinya yang bergetar.
Riana mengusap wajahnya dengan punggung tangan, mencoba menahan tangis yang semakin sulit ia kendalikan. Namun, akhirnya ia tidak mampu lagi. Ia terisak mengeluarkan suara yang pilu.
"Aku di sini sayang." Yudha berkata dengan ekspresi sendu di wajahnya, ia sangat merasa bersalah. Perkataan Tari benar, Riana sangat terluka, Dia hanya pandai menyembunyikannya.
Riana menggigit bibir bawahnya, mencoba menghentikan tangisnya, tapi akhirnya ia bersuara di antara isak nya. "Maafkan aku. Aku butuh waktu untuk menerima semuanya, semuanya terlalu tiba-tiba. Aku merasa... aku akan kehilangan tempatku di hidupmu."
Yudha membelalak, Ia memutar tubuh Riana perlahan agar bisa menghadap ke arahnya. Mata Riana terlihat sembab dan penuh air mata.
"Riana, jangan bilang gitu, kehilangan tempat apa? Kamu itu istriku. Aku tidak akan menceraikanmu, keputusanku dari dulu tidak ada yang berubah. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu."
Riana menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kau masih mencintaiku kan?."
Yudha menangkup wajah Riana dengan kedua tangannya. "Tentu saja sayang, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Aku mengakui bahwa Tari sudah mengambil tempat di hatiku, tapi kamupun juga ada disana Riana. Jadi jangan berpikir seperti itu."
Air mata Riana kembali mengalir, namun kali ini ia tidak menahan tangisnya. Ia memeluk Yudha dengan erat, membenamkan wajahnya di dada pria itu. "Aku mencintaimu Yud, aku sangat takut kehilanganmu."
Yudha balas memeluknya erat, membiarkan Riana menangis di dadanya. "Aku tidak akan kemana-mana sayang, soal kehamilan Tari. Kami sudah membahasnya, kau juga akan turut menjadi ibu dari anak ini. Anak Tari dan aku adalah anakmu juga sayang,"
Dalam pelukan itu mata Riana membelalak, mendengar ucapan suaminya yang menurutnya tidak masuk akal. Pandangan matanya menggelap. Tangisannya pun perlahan berhenti.
'Kau boleh berencana Yudha, tapi sayangnya anak sialan itu tidak akan pernah kubiarkan lahir kedunia ini'
Yudha melepaskan pelukannya dan menatap Riana dengan lembut. "Bagaimana mungkin kau bisa berpikir seperti itu. Meninggalkanmu? Sayangnya pikiran itu tidak pernah kubiarkan hinggap di kepalaku."
Riana tersenyum bahagia dan Yudha mengecup keningnya dengan penuh cinta. Lalu mereka berpelukan kembali, menyalurkan kenyamanan untuk satu sama lain.
.
.
.
.
Keesokan paginya, Tari terbangun di sofa karena suara bel yang terus berbunyi tanpa henti. Ia menggeliat malas, badannya terasa pegal karena posisi tidurnya yang tidak nyaman. Ia akhirnya tertidur di sini. Wajah nya terlihat sembab.
"Apa ini Si sialan Ade! Apa manusia satu itu nggak bisa kasih aku ketenangan sebentar aja?" gumamnya kesal sambil menggaruk pelan belakang tengkuknya, rambut pendeknya terlihat acak-acakan.
Bel kembali berbunyi, kali ini benar -benar membuat Tari frustrasi. Dengan langkah kaki yang menghentak lantai, ia berjalan ke arah pintu. Tari membuka pintu dengan ekspresi kesal.
"Apa sih?!" bentaknya kesal.
Tari menatap tajam pada Ade berdiri di depan pintu dengan senyum lebar. Pria itu mengenakan kaos kasual dan celana jeans pendek, dengan dua paper bag besar di kedua tangannya.
"Pagi Tar!" sapa Ade dengan ceria, menghiraukan wajah kesal Tari. "Kok lama banget bukanya? Aku kira kamu kenapa-kenapa."
Tari mengerutkan kening, tidak menyembunyikan kekesalannya. "Ngapain kau ke sini pagi-pagi begini?"
Bukannya menjawab, Ade malah langsung menerobos masuk, melewati Tari yang masih berdiri di ambang pintu. "Kamu pasti baru baru bangun kan."
Tari menutup pintu, ia sudah tidak heran lagi dengan kekurangajaran pria itu dan menatap Ade yang sibuk mengeluarkan isi paper bag di meja dapur. "Ade kalau sudah selesai, keluarlah. Aku nggak mod menghadapi leluconmu saat ini."
Ade menoleh sambil tersenyum lebar. "Aku bawain sarapan buat kamu," katanya sambil mengeluarkan 2 kotak makanan beserta beberapa bungkus buah-buahan dari dalam paper bag. Menghiraukan Tari yang mengusirnya.
Tari menghela napas panjang, mencoba menahan rasa kesalnya. "Ade aku nggak mood makan. Aku masih capek, dan aku cuma pengen tidur sekarang."
Ade menghentikan kegiatannya dan memandang Tari dengan tatapan serius. "Tar apa kamu udah berkaca pagi ini. Apa kamu udah liat penampilan kamu sekarang. Mana mungkin aku biarin kamu sendirian. Gimana kamu bisa jadi ibu yang baik buat anak kamu ntar,"
Lalu Ade berbalik memunggungi Tari, ia ingin memanaskan kotak makan yang ia beli untuk sarapan Tari.
Perkataan Ade membuat Tari terdiam sepenuhnya. Ia memandang pria itu dengan tatapan datar dan curiga.
"Darimana kau tau soal kehamilan ku?,"
Ade sontak menghentikan gerakannya. Matanya membelalak, menyadari apa yang sudah ia katakan.
"Ah, aku tanya ke Riana dan aku di beritahu soal keadaan mu, soalnya kau nggak ada di apartemen mu. Aku takut terjadi sesuatu denganmu," Ade berusaha bicara dengan nada yang normal, agar Tari tidak mencurigainya.
Tari hanya diam memandang punggung Ade yang sempat tersentak karena pertanyaan nya. Ia melipat kedua tangannya di dada. "Aku nggak tau kau begitu akrab sama Riana belakangan ini?,"
"Aku yang sering menghubungi dia, aku memang sering bertanya tentangmu. Tapi ah udahlah, berhenti membicarakan Riana. Jangan mengalihkan pembicaraan kita, kau harus memakan sarapan yang kuberikan untukmu" Ade tersenyum merekah sambil mulai memasukkan kotak makan ke dalam microwave.
Tari menghela napas, lalu mengangguk kecil. "Oke aku akan makan. Tapi kau harus pergi."
"Oke, Deal," Balas Ade tersenyum kecil.
Tari merasa lemas dan malas ingin berdebat lebih lanjut. ia berjalan menuju meja makan dan duduk. Memperhatikan tiap gerakan pria itu.
Ade membuka plastik wrapping beberapa buah yang ia beli, ia mencuci nya terlebih dulu sebelum menatanya di piring. Sementara Tari hanya duduk di kursi, memperhatikan tiap gerakan Ade yang terlihat cekatan. Bau harum makanan yang keluar dari sana sangat menggugah seleranya.
Dalam hati, ia merasa sedikit berterima kasih pada Ade dan tentu saja tak akan mau mengakuinya. Mencium bau makanan langsung membuat nya merasa sangat lapar saat ini, dan untungnya sepertinya demamnya sudah sembuh.