Sabila. seorang menantu yang acap kali menerima kekerasan dan penghinaan dari keluarga suaminya.
Selalu dihina miskin dan kampungan. mereka tidak tau, selama ini Sabila menutupi jati dirinya.
Hingga Sabila menjadi korban pelecehan karena adik iparnya, bahkan suaminya pun menyalahkannya karena tidak bisa menjaga diri. Hingga keluar kara talak dari mulut Hendra suami sabila.
yuk,, simak lanjutan ceritanya.
dukungan kalian adalah pemacu semangat author dalam berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26.
"Mas Burhan tu kenapa, sih? Kesambet! Orang bertanya baik-baik dia uring-uringan." Gumam Hendra.
*** ***
Sementara di tempat lain dimana Sabila berada.
Seorang wanita paruh baya sedang ribut dengan kasir minimarket. Wanita itu telah meminum sebotol air dan memakan dua bungkus roti, ternyata saat ingin membayar dia tidak membawa uang.
Sabila yang baru saja memasuki minimarket tersebut, segera menolong wanita paruh baya yang terjatuh akibat di dorong oleh seorang karyawan toko.
"Aduh! Kenapa kalian kasar? Saya cuma minta tunggu sebentar, sopir saya akan datang untuk membayarnya." Ucap wanita itu.
"Kalian ini, dengan orang yang lebih tua tidak bisa bicara baik-baik." Sabila membantu wanita itu untuk berdiri.
"Ibu ini mencuri. Alasan yang dia katakan itu tidak masuk akal, mana ada orang dengan penampilan biasa begini punya sopir. Mau menipu orang, segitunya sekali." Ucap seorang wanita yang dilihat sepintas seperti seorang pekerja kantoran.
"Mbak ini, penampilan tidak serta merta mewakili jati diri seseorang. Ada kok orang kaya punya banyak mobi bisa nyalip kalo ada macet." Sabila membantah tuduhan wanita karir itu.
"Alah orang kayak kamu pasti temennya ibu ini, kamu juga pasti mau maling disini."
"Astaghfirullah!"
"Berapa total yang diambil ibu ini?" Bila tidak ingin berlama-lama berdebat dengan orang yang tak punya sopan santun seperti mereka.
Kasir segera menjumlah makanan dan minuman. "Totalnya tiga puluh lima ribu, kak." Sabila geleng kepala jumlahnya tidak terlalu banyak, bahkan pembeli yang masuk rata-rata pegawai kantor tidak satupun dari mereka berinisiatif membayarkan.
Sabila menyerahkan satu lembar uang merah kepada kasir. "Sisanya tambahkan dua botol air, dan roti yang seperti ibu ini makan.
Urusan di minimarket selesai. Sabila tidak jadi belanja di minimarket itu, karena tidak menyukai cara mereka melayani pembeli.
"Ibu! Ini roti dan airnya, kalau ibu masih lapar bisa dimakan lagi." Sabila menyerahkan kantongan belanjaannya pada ibu itu.
Deg
"Tanda itu, kenapa persis sama dengan milik anakku Salsabila?"
"Terimakasih sudah mau bantu, Ibu! Karena terburu-buru, ibu meninggalkan dompet di mobil. Setengah jam lagi sopir ibu akan datang menjemput, ibu gantikan uang kamu." Ucapnya masih dengan sesekali menatap tangan Sabila.
Sabila menggeleng kepala, "Tidak usah diganti, tapi gantinya aku mau bertanya pada ibu. Apa boleh?"
Mereka baru saja bertemu tapi ibu itu sudah merasakan kedekatan yang seperti tercipta sejak lama. Dengan cepat dia mengangguk tanda setuju.
"Menurut ibu, bagaimana pendapat ibu tentang roti yang ibu makan tadi?"
"Roti SB kaya rasa, isiannya melimpah, yang paling Ibu suka rotinya lembut. Mungkin karena banyak peminatnya, setiap mau beli ibu harus keliling carinya padahal masih pagi." Ibu ini bercerita dengan sangat antusias.
"Wah, terimakasih. Apakah ada saran dan kritik untuk Owner Roti SB, Bu?" Sabila tiba-tiba jadi Tim survey saja.
Ibu itu tampak memikirkan sesuatu. "Minta dia membuat kue lebih banyak lagi. Kalau bisa selama sebulan dia mengirimkan kue gratis ke rumah ku. Hehehe!" Sabila ikut tertawa mendengarnya.
Setelahnya meminta alamat ibu tersebut. Tak lama mobil jemputan Ibu Ningsih tiba, dia ingin mengembalikan uang Sabila tapi ditolak.
Dalam perjalanan Bu Ningsih berbicara pada asistennya. "Pecat semua karyawan toko di jalan M. Mereka tidak bisa menghormati pembeli." Ucapnya dengan tegas.
"Baik, Nyonya!"
"Satu hal lagi, aku ingin kamu menyelidiki ulang tentang Salsa."
Asisten Nyonya Ningsih tersenyum. "Akhirnya Nyonya mau menyelidiki ulang. Biar nyonya tau kelakuan putri palsunya selama ini."
"Saya akan menyelidikinya dengan baik." Sahutnya.
*** ***
Kembali pada Sabila
Dia tidak langsung kembali ke Villa Ervan. Dia mengunjungi suatu tempat, dimana adik dari Ibu angkatnya tinggal.
Sabila baru tau saat akan menikah, kalau selama ini dia dibesarkan oleh keluarga angkat.
Tepat di depan rumah sederhana, yang begitu sejuk dengan pohon rindang yang tumbuh di depannya.
Sabila melihat seorang wanita bermain dengan anak-anak. Itu adalah bibinya, adik dari sang ibu.
"Assalamualaikum!" Ucap Sabila.
Wanita bersama anak-anak yang berlarian seketika menoleh. "Wa'alaikumussalam." Jawab mereka serempak.
Sabila tersenyum ramah pada mereka. "Bibi Sinta!" Sabila mencium tangan wanita itu.
"Maaf tapi kamu siapa?" Bibi Sinta tidak mengenali siapa yang ada dihadapannya.
23 tahun bukan waktu sebentar. Sejak Ibu kandung Sabila menitipkannya pada kedua kakak beradik ini, terhitung hanya 3 hari saja Bi Sinta menjaga Sabila.
Kakaknya membawa kabur Sabila entah kemana. Saat Ibu kadung sabila datang menjemput, ceritanya sudah berbeda.
Ayah Sabila bahkan menuntutnya, akibat lalai menjaga anak semata wayangnya.
"Aku anaknya Bu Santi."
Deg
Bi Sinta membekap mulutnya, syok dengan pengakuan Sabila. Semua terlihat gelap, Bi Sinta kehilangan kesadarannya.
Kedua anak yang ditemani sejak tadi menjadi panik, begitupun dengan Sabila. Seorang lelaki paruh baya keluar dari rumah kemudian membantu sabila menggotong Bi Sinta.
Sekitar 15 menit Bi Sinta akhirnya terbangun. Dia heran melihat sekeliling yang dimana sudah ada suami dan anak kembarnya, tak ketinggalan Sabila yang duduk di kursi tak jauh darinya.
"Kamu! Tadi kau bilang, kamu siapa?" Tanya Bi Sinta, yang kini sudah mulai tenang.
"Saya anak Bu Santi, kakak Bi Sinta." Sabila merasakan panas dimatanya. Bagaimana tidak, wajah itu gambaran dari ibunya.
"Darimana kamu tau, kalau saya tinggal disini? Dimana sekarang Mbak Santi?" Ucapnya dengan emosi yang tertahan.
"I Bu..."
Ucapan Sabila dipotong cepat oleh suami Bi Sinta. "Sudah! Sebaiknya kamu pergi saja! Apa yang dilakukan ibu mu membuat luka yang dalam pada Istri ku." Ucapnya.
Sabila tidak bisa memaksa, mungkin dilain waktu mereka bisa bicara kembali dengan situasi yang lebih baik.
Sabila beranjak dari duduknya. "Maafkan saya! Kalau begitu saya permisi dulu."
Sebelum sempat melangkahkan kakinya keluar pintu, Bi Sinta menghentikannya.
"Tunggu!"
Sabila pun segera menghapus air matanya yang sudah terlanjur mengalir, kemudian menoleh pada Bi Sinta.
"Siapa nama mu?" Bukan tanpa alasan Bu Sinta menanyakannya. Diwaktu Sabila mencium tangannya, tanpa sengaja dia melihat tanda yang sama pada anak majikannya yang hilang 23 tahun yang lalu.
"Sabila!" Satu kata yang membuat Bi Sinta membekap mulutnya kembali. Dia mendekat ke arah Sabila dan memeluknya.
Hu..huu...Hiks
Tangisan Bi Sinta mengartikan banyak hal. Tapi satu hal yang dia syukuri, anak tuannya kembali.
"Ini adalah Nona Salsabila yang asli. Perempuan yang di mansion Nyonya adalah ular."
"Duduklah Non! Maaf tadi Bibi syok."
"Bi Sinta, jangan panggil seperti itu. Cukup Sabila saja."
"Benar-benar gambaran Nyonya dan Tuan. Tidak pernah menyombongkan diri."
"Apa yang membuat Non, eh. Apa yang membuatmu sampai disini? Apa Ibu mu tahu?" Bi Sinta masih belibet lidahnya.