Felyn Rosalie sangat jatuh cinta pada karya sastra, hampir setiap hari dia akan mampir ke toko buku untuk membeli novel dari penulis favoritnya. Awalnya hari-harinya biasa saja, sampai pada suatu hari Felyn berjumpa dengan seorang pria di toko buku itu. Mereka jadi dekat, namun ternyata itu bukanlah suatu pertemuan yang kebetulan. Selama SMA, Felyn tidak pernah tahu siapa saja teman di dalam kelasnya, karena hanya fokus pada novel yang ia baca. Memasuki ajaran baru kelas 11, Felyn baru menyadari ada teman sekelasnya yang dingin dan cuek seperti Morgan. Kesalahpahaman terus terjadi, tapi itu yang membuat mereka semakin dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Xi Xin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Yang Sulit Dijelaskan
Tak lama kemudian, nomor antrian Felyn sudah di panggil. "Nomor antrian 225 silahkan memasuki ruang pemeriksaan 2!"
Morgan pun membantu Felyn berjalan, tampak wajah Felyn masih lesu ya dan penuh kesedihan, Morgan tidak berani bertanya.
Mereka pun masuk ke ruang dokter, lalu disambut baik oleh dokternya. Mereka duduk di kursi, Di sini Felyn hanya diam sambil menarik lengan baju Morgan, ia seperti tak ingin Morgan pergi ke mana-mana.
"Felyn Rosalie. Kaki yang mana yang terkilir, boleh saya lihat?" Dokter itu pun beranjak untuk melihat kaki Felyn yang sakit.
Tetapi Felyn tidak menggerakkan kaki nya supaya bisa dijangkau oleh dokter itu, jadi Morgan melepaskan sepatunya lalu membiarkan dokter melihat kondisi kakinya itu.
Dokter itu hanya melihat tanpa menyentuh pergelangan kaki Felyn karena sudah membengkak dan tampak memar. "Kamu gak merasa sakit masih pakai sepatu, padahal sudah seperti ini?" tanya dokter itu dengan lembut pada Felyn.
Felyn hanya mengangguk pelan, Morgan hanya memperhatikannya.
Dokter itu pun kembali duduk di kursinya. Ia tidak yakin Felyn akan menjawab lebih, jadi ia bertanya pada Morgan. "Awal bisa terkilir karena terbentur kah, atau jatuh?"
Morgan melirik Felyn lalu menjawab, "Iya, awalnya terbentur bola voli, kemudian dia jatuh. Kebetulan tempat dia jatuh tidak rata." jawabnya.
"Keras gak benturannya?"
"Lumayan, kami yang dari lapangan juga mendengar."
Dokter mencatat di sebuah kertas diagnosisnya dan mencoba memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada Felyn.
"Ini sudah di tingkat sedang. Ligmen robek sebagian, lalu disertai nyeri juga, dan pembengkakannya sudah parah, makanya cukup mempengaruhi kestabilan sendi dan respon otak." jelas dokter panjang lebar.
"Jadi, apa yang harus dilakukan?" tanya Felyn.
"Untuk sekarang saya akan melakukan pemeriksaan foto Rontgen, supaya bisa memastikan kalau ada tidaknya tulang yang retak atau patah."
"Bila diperlukan, saya akan melakukan pemeriksaan MRI, untuk melihat kondisi sendi secara detail." lanjut dokter.
Morgan pun mengangguk mengerti dan tidak khawatir lagi soal kondisi Felyn, karena dokter sudah bisa memastikan kondisinya.
Setelah kurang lebih setengah jam berkonsultasi dengan dokter tersebut, Morgan dan Felyn keluar dari ruangan itu. Kini Felyn menggunakan satu tongkat penyangga (kruk) untuk membantunya berjalan lebih baik, dan kaki kirinya itu sudah di perban. Tetapi Morgan masih memegangi lengan kanannya, karena masih khawatir Felyn belum menyesuaikan dengan keadaannya sekarang.
Mereka pun berhati-hati, sesampainya di parkiran motor Morgan, ia langsung membantu Felyn naik ke atas motornya.
"Sini, tas kamu di depan aja." usul Morgan.
Felyn pun langsung melepaskan tas ranselnya dan memberikan pada Morgan. Morgan mengenakan tas tersebut di arah depan supaya tidak mengganggu pergerakan Felyn yang membawa tongkat Kruk. Morgan memastikan Felyn sudah duduk dengan benar, barulah mereka segera pergi menuju ke rumah Felyn.
Apartemen Wira, jam 13:15 WIB …
Seperti biasa karena gak ada kerjaan, Wira menonton tv sambil membaca novel favoritnya, ditemani juga dengan secangkir kopi hangat.
Di tengah waktu santainya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengambil ponselnya itu dari meja, tetapi tidak menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal.
"Siapa coba? Nomornya juga bukan nomor Indonesia." ucapnya lalu kembali meletakkan ponselnya dan membiarkan berdering terus menerus.
(Kalau kita Indonesia kode negara/kode panggilannya itu +62)
Wira tidak juga mengangkat telepon itu, karena panggilan tak dikenal, ditambah lagi kode panggilannya bukan Indonesia, tetapi negara lain dengan kode +61 (Australia).
Wira sempat mencurigai kalau nomor tersebut adalah ayahnya atau ibunya, tetapi kemmungkinannya kecil jadi dia tidak menjawabnya.
"Malas berurusan sama Ayah, selalu gak ada habisnya."
Sudah lebih dari 30 panggilan tak terjawab dan orang tersebut masih berusaha menghubungi Wira. Karena kesal, ia pun langsung menjawab telepon tersebut.
"Halo?"
"Wira, kamu benar-benar tidak bisa menghargai orang tua? Kamu sengaja tidak mengangkat telpon tadi kan." nada suara itu sangat dikenal oleh Wira.
Orang itu benar saja adalah ayahnya dan ia terpaksa menjawab. "Tidak bisakah Ayah membiarkan Wira beristirahat sejenak? Wira capek belajar, dan pada akhirnya harus menuruti kemauan Ayah!"
"Sudahlah, kamu itu tidak tahu apa-apa Wira! You better go home, before anyone forcibly picks you up!" nada suara ayahnya meninggi.
Wira menggelengkan kepalanya dan wajahnya terlihat sangat kesal. "Not. I won't obey anything now, Dad."
"Wira gak mau jadi boneka yang hanya menuruti kemauan egois Ayah lagi. Sudah cukup! Biarkan Wira berjalan dengan kaki Wira sendiri sekarang."
"Oke, kalau kamu tidak mau bicara baik-baik, silahkan tunggu dijemput secara paksa!" ancam ayahnya lalu bergegas menutup sambungan teleponnya dengan Wira.
Wira langsung melempar ponselnya ke lantai karena emosi. Ayahnya ingin ia segera pulang ke tempat asalnya, tetapi Wira tidak mau karena ia akan dijadikan seperti sebuah bidak yang hanya menuruti perintah tuannya saja.
Kembali ke Felyn dan Morgan, mereka baru aja sampai di depan rumah Felyn.
Felyn turun dari motor dibantu Morgan lagi, dan mengembalikan tas ransel Felyn. "Bisa jalan sendiri?" tanya Morgan.
Felyn menyesuaikan kembali dengan tongkat kruknya. "Iya, bisa kok. Aku….masuk dulu ya!" ucapnya pelan.
Morgan mengangguk sambil memperhatikan Felyn berjalan perlahan dengan bantuan tongkat kruk itu.
Felyn melangkah beberapa langkah ke depan tetapi ia lupa untuk mengucapkan sesuatu pada Morgan karena sudah membantu dan berada disampingnya saat ia sedang terpuruk.
Felyn pun perlahan berbalik, disaat yang sama Morgan baru saja mau pergi dari sana. "Morgan!"
Morgan sontak menahan rem, dan membuka kaca helmnya.
Felyn kembali ke hadapan Morgan, tatapan matanya senang dan ia tersenyum. "....Emm, aku gak tahu gimana cara berterima kasih. Tapi, untuk segalanya hari ini terima kasih banyak, Morgan!"
Morgan tidak tahu harus bersikap seperti apa kalau melihat Felyn tersenyum kembali karenanya, ia pun menutup kembali kaca helmnya supaya tidak melihat wajah Felyn yang memerah.
"Ya sudah, sana masuk! Minum obat." ucap Morgan dengan nada datar.
"Ya, kan aku mau bilang terima kasih. Ya udah deh, hati-hati di jalan." Felyn tersenyum lagi.
Di sini Felyn belum menyadari kalau dia tidak lagi memanggil Morgan dengan kata "Lo/gue" secara spontan ia menggunakan kata "Aku/kamu/nama". Morgan pun tidak merasa hal itu aneh, karena ia berpikir pikiran Felyn masih belum sepenuhnya kembali fokus pada kehidupan yang sedang ia jalani sekarang.
Morgan pun mengendarai motornya dengan perlahan sambil memencet klakson sedetik, untuk mengisyaratkan Felyn kalau dirinya pamit.
Felyn mengangguk seraya melambaikan tangan kanannya, ia memperhatikan Morgan pergi sampai tidak terlihat lagi di kedua matanya barulah ia masuk ke dalam rumah.
BERSAMBUNG ….
[Tambahan]
Setelah Felyn masuk ke rumah, terus dia langsung ke kamar dan liat ke cermin, ternyata pipi nya merah dan menyadari apa yang dikatakan oleh Morgan padanya.
Jadi, dia malu deh sambil nutup wajahnya. "Kenapa gak langsung bilang aja coba? Kenapa harus pake kata-kata yang aneh."
Dia pun berpikir untuk mencuci muka di kamar mandi untuk menghilangkan pipi nya yang merah itu, tetapi sudah dibasuh pun pipinya masih tetap memerah itu membuatnya kesal.
"Hilang! Hilanglah! Hilang dari wajahku!" Felyn menggosok wajahnya menggunakan handuk tetapi tidak hilang juga.