Ini adalah kisah antara Andrean Pratama putra dan Angel Luiana Crystalia.
kisah romance yang dipadukan dengan perwujudan impian Andrean yang selama ini ia inginkan,
bagaimana kelanjutan kisahnya apakah impian Andrean dan apakah akan ada benis benih cinta yang lahir dari keduanya?
Mari simak ceritanya, dan gas baca, jangan lupa like dan vote ya biar tambah semangat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 - Hujan yang Tak Pernah Usai
Bogor, Awal Musim Hujan
Hujan udah turun dari pagi, nggak deras, tapi cukup bikin kaca jendela berkabut tipis. Di ruang kerjanya yang sederhana, Andrean duduk di depan laptop. Jemarinya ngetik pelan, kadang berhenti, ngetik lagi, lalu hapus sendiri. Judul di layar itu Perjalanan yang Tersisa. Cerita baru yang masih terasa asing buat dia, tapi entah kenapa, harus ditulis.
Pintu diketuk pelan. Kayla masuk, bawa dua cangkir kopi hitam. Ia naruh satu di meja Andrean, lalu duduk santai di sofa kecil deket jendela. Matanya ngelihat keluar, ke halaman belakang yang basah oleh hujan.
"Kamu nulis apa sekarang?" tanya Kayla pelan.
Andrean senyum tipis. "Tentang laki-laki yang selalu jalan terus... walau capek, walau hujan nggak berhenti."
Kayla noleh, matanya agak sendu. "Dia nggak takut sendirian?"
Andrean diem sebentar, lalu jawab pelan, "Dia nggak sendirian... kalau ada yang mau jalan bareng."
Kayla nggak ngomong lagi. Pandangannya beralih ke halaman belakang, di mana Reyhan, Anelia, dan Lian lagi main hujan. Mereka bertiga pakai jas hujan warna-warni. Reyhan yang paling gede, usia tujuh tahun, sibuk ngumpulin air hujan di ember kecil. Anelia, enam tahun, ketawa-ketiwi ngejar Reyhan sambil bawa payung mini yang udah miring. Sedangkan Lian, empat tahun, pake jas hujan pink yang udah sempit, loncat-loncat di genangan air sambil peluk boneka kelincinya.
"Anelia udah mulai cerewet kayak aku kecil," kata Kayla tiba-tiba, senyum kecil di bibirnya.
Andrean nyengir. "Tapi lebih keras kepala."
Kayla melirik, pura-pura manyun. "Itu nurun dari siapa, hayo?"
Andrean ngakak pelan. Tangannya nyentuh cangkir kopi yang mulai dingin.
"Lian juga makin mirip Angel," ucap Kayla lirih.
Andrean diem. Pandangannya tetap ke Lian yang tertawa sambil ngangkat celana jas hujannya yang melorot dikit.
"Iya," jawab Andrean akhirnya. "Senyumnya... sama persis."
---
Malam Hari
Hujan belum juga reda. Udara dingin masuk lewat celah-celah jendela. Kayla lagi nutup jendela kamar Reyhan dan Anelia yang udah tidur di tempat tidur masing-masing. Lian tidur di kasur kecil di samping Anelia, peluk boneka kelincinya erat-erat.
Andrean nyiapin teh jahe di dapur, suara sendok ngaduk pelan di dalam gelas kaca. Kayla datang, duduk di kursi kayu di teras belakang. Mereka berdua diem dulu, dengerin suara hujan.
"Reyhan udah mulai tanya-tanya soal ayah kandungnya," kata Kayla pelan.
Andrean naruh gelas teh jahe di meja, ngelirik Kayla. "Lo udah siap jawab?"
Kayla tarik napas panjang. "Nggak akan pernah siap... Tapi gue nggak mau bohong."
Andrean ngangguk. "Kalau lo butuh gue di sana, gue ada."
Kayla genggam tangan Andrean. "Lo selalu ada, Dre."
Mereka diem lagi. Pandangan Kayla jauh ke kebun belakang yang gelap.
"Gue takut," gumam Kayla. "Kadang gue mikir, semua ini terlalu indah buat bertahan lama."
Andrean noleh, matanya serius. "Kita nggak tau berapa lama... tapi yang penting, sekarang kita jagain."
Kayla senyum tipis. "Sama kayak hujan ini. Kadang deras, kadang cuma gerimis. Tapi selalu ada."
---
Beberapa Hari Kemudian
Lian demam. Badannya panas banget. Kayla panik, tapi tetap berusaha tenang di depan anak-anak. Malam itu, mereka bertiga—Andrean, Kayla, dan Reyhan—ganti-gantian jagain Lian. Anelia, walau masih kecil, ikut ngerasa khawatir. Dia duduk di lantai samping tempat tidur Lian sambil peluk boneka miliknya, kadang usap pelan kepala Lian yang berkeringat.
Andrean duduk di sisi ranjang, megang tangan kecil Lian yang panasnya kayak bara api.
"Mau ke rumah sakit?" tanya Andrean pelan.
Kayla geleng, "Kita tunggu sampai subuh. Tadi dokter udah dikabarin. Katanya masih aman asal nggak ada kejang."
Reyhan diem di pojokan kamar, duduk di kursi rotan kecil. Matanya merah, tapi dia tahan nangis. Anelia akhirnya ketiduran di pangkuan Kayla.
Malam itu panjang. Hujan makin deras, suara petir sesekali nyambar jauh di langit Bogor. Tapi di dalam kamar itu, ada kehangatan. Ada harapan yang mereka genggam bareng-bareng.
---
Pagi Hari
Langit mulai terang. Hujan reda. Suhu badan Lian mulai turun, wajahnya yang pucat pelan-pelan dapet warna lagi. Kayla megang kening Lian, senyum lega.
"Dia udah stabil," kata Kayla pelan.
Andrean duduk di teras depan, matanya lelah, tapi ada lega. Dia liat langit yang masih kelabu, tapi nggak lagi nyiram bumi. Kayla dateng bawa dua cangkir kopi, duduk di sebelah Andrean.
"Terima kasih," kata Andrean tiba-tiba.
Kayla noleh, "Buat apa?"
Andrean senyum kecil. "Buat bertahan sejauh ini."
Kayla sandarin kepala di pundak Andrean. "Kita tim, Dre. Selama ada kamu, aku nggak takut."
Andrean tarik napas, lihat pohon mangga di halaman yang daunnya basah. "Mungkin... hujan ini cuma mau ngingetin kita, kalau hidup nggak selalu cerah. Tapi kalau kita bareng, nggak apa-apa."
Kayla diem, nyender lebih dekat.
Dan pagi itu, walau langit Bogor masih mendung, rumah kecil mereka hangat lagi.
---
BERSAMBUNG...