Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Setelah selesai olahraga malam, Alesha berbaring di atas lenganku. Tubuhnya terasa hangat dan nyaman, seakan menjadi pelarian dari segala kekacauan hidupku. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang mengganjal, perasaan gelisah yang enggan pergi.
Tiba-tiba, dia mengangkat wajahnya, menatapku lekat-lekat. Tatapan matanya begitu dalam.
"Farel," panggilnya dengan nada lembut.
"Kamu nyaman kayak gini ?" tanya alesha.
Aku menunduk, membenamkan wajah di bahunya seraya mengangguk pelan.
"Iya." jawabku dengan suara pelan.
Namun, pertanyaan berikutnya berhasil menghentikan nafasku untuk sesaat.
"Kenapa kita nggak nikah aja ?"
Aku tertegun.
“Hah ?” tanyaku spontan, seolah memastikan aku tidak salah dengar. Kata-katanya seperti petir yang mengguncang duniaku.
Menikah ? Dengan Alesha ? Pikiran itu membuat dadaku sesak. Aku tidak mencintainya. Selama beberapa hari ini aku memang sudah merasa nyaman dengannya, tapi aku tahu itu bukan cinta. Lebih dari itu, ada hal lain yang dia belum tahu. Hal yang terus menghantui langkahku, bahwa aku sudah terikat pernikahan dengan Salsa.
Aku mengalihkan pandanganku, tidak berani menatap matanya. Alesha terlalu tulus. Terlalu baik untuk terjebak dalam masalah yang kubawa.
"Sebenernya aku belum kepikiran buat nikah, Sha," jawabku, berusaha terdengar setenang mungkin.
"Kenapa ?" tanyanya lagi, suaranya bergetar samar.
"Aku... belum siap aja." jawabku.
Senyumnya tiba-tiba muncul, tapi kali ini terasa dipaksakan.
"Haha... Kamu serius banget sih. Aku cuma bercanda kok." Dia tertawa kecil, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan.
Aku tahu, meskipun dia mengatakan tadi hanya bercanda, tapi dia menyimpan harapan dalam ucapannya tadi. Harapan yang tidak akan pernah bisa kuberikan, aku tahu dia tak mungkin perhatian padaku bila memang dia tak merasa tertarik.
Aku memeluknya erat, mencoba mengalihkan pikirannya dari pertanyaan yang baru saja dia dilontarkan.
"Yaudah, tidur aja, Sha," bisikku pelan.
Dia tidak menjawab, hanya membenamkan wajahnya di dadaku. Aku tahu dia masih memikirkan kata-kataku, atau mungkin sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Sementara itu, pikiranku mulai berkecamuk. Sepulang kuliah tadi, aku bahkan belum sempat mandi. Lelah bercampur rasa bersalah menjalari tubuhku, membuatku semakin terjebak dalam kebingungan.
Awalnya, aku hanya berniat menidurkannya.
Membuatnya merasa aman di pelukanku, walaupun aku tahu kenyamanan itu tak sepenuhnya tulus. Tapi entah bagaimana, rasa hangat dari tubuhnya, suara napasnya yang pelan, dan keheningan malam perlahan-lahan malah menyeret ku ke dalam rasa kantuk.
Belum sempat menyadari, mataku terpejam. Dan malam itu, di antara gelisah dan penyesalan, akulah yang lebih dulu tertidur, bersama beban rahasia yang belum mampu ku ungkapkan.
Ponselku tergeletak di atas meja kecil samping ranjang. Mungkin ada panggilan masuk, tapi aku tak mendengarnya.
Alesha, yang masih terjaga, tampaknya lebih peka. Dia mengambil ponselku yang bergetar dan melihat ada panggilan masuk. Setelah memastikan siapa yang menelepon, dia mungkin sudah mengangkat panggilan dari ibuku.
Walau ragu, akhirnya dia pun membangunkan ku perlahan dengan panggilan yang sudah tersambung.
“Farel, bangun... Mamah kamu nelepon tuh.” ucapnya, suaranya terdengar pelan namun cukup jelas untuk membuatku terbangun dengan kaget.
“Mamah ?” tanyaku, setengah sadar dan sedikit panik.
Aku langsung mengucek mataku, mencoba mengusir kantuk yang masih menggantung.
Alesha menyerahkan ponsel itu padaku.
“Ini, udah aku angkat sih,” ucapnya seraya memperhatikan ekspresiku yang terlihat gugup.
Aku menerima ponsel itu dengan tangan gemetar.
“Bentar ya, Sha,” ucapku buru-buru berdiri dan sedikit menjauhkan jarak darinya.
Aku harus memastikan bahwa pembicaraan ini tak akan didengar olehnya.
“Halo, mah,” sapaku setelah menempelkan ponsel ke telinga.
Suaraku bergetar sedikit, dan jantungku berdegup kencang.
“Kamu di mana, Farel ? Tadi siapa yang angkat teleponnya, mamah denger kayak itu bukan suara salsa ya ?” tanya Ibuku dengan nada yang tajam, menandakan kemarahannya.
Aku terdiam sesaat, aku tahu Ibu akan salah paham jika tahu aku sedang bersama Alesha, apalagi mengingat hubungan ku dengan salsa yang rumit belakangan ini. Aku juga tak ingin Alesha mendengar pembicaraan ini dan mengetahui bahwa Ibu meneleponku untuk membahas Salsa.
“Aku... Aku masih di tempat kerja mah. Tadi yang angkat telepon itu temen kerjaku,” jawabku, berusaha terdengar tenang meski suaraku sedikit bergetar.
Namun, Ibu bukan orang yang mudah diyakinkan.
“Jangan bohong, kamu. Kamu pasti lagi sama cewek lain kan ? Jangan main-main, Farel ! Jangan kamu pikir mama bodoh.” sergah ibuku dengan nada tinggi.
“Mah, sumpah, aku benar-benar lagi kerja. Tadi itu emang cewek lain, bukan salsa. Tapi dia temen satu shif sama aku. Kita lagi tutup kasir, tapi aku ketiduran sebentar,” jawabku lagi, mencoba mencari alasan yang terdengar masuk akal.
Aku melirik sekilas ke arah Alesha, memastikan dia tidak mendengar apapun perkataanku.
Percakapan itu berlangsung cukup lama, ibukku terus menekan dan menuduhku, sementara aku mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan kebohongan kecilku.
Akhirnya, setelah cukup lama berdebat, Ibuku tampaknya mulai percaya.
“Dengar ya, Farel. Jangan macam-macam. Kamu tahu kan, kamu udah punya istri, harus bisa jaga jarak sama cewek lain." ucap ibuku dengan nada yang lebih tenang, tapi tetap penuh peringatan.
“Iya, mah. Aku ngerti. Tenang aja aku nggak bakal macam-macam kok,” jawabku singkat, merasa lega pembicaraan itu hampir selesai.
Setelah panggilan berakhir, aku kembali ke tempat Alesha. Dia menatapku dengan sorot mata yang penuh tanda tanya. Aku mencoba tersenyum, meski rasanya canggung.
“Kenapa ? Mamah nyariin kamu ya ?” tanyanya.
“Biasalah,” jawabku sambil mengalihkan pandangan. Dalam hati, aku merasa bersalah. Tapi untuk saat ini, aku harus menjaga dua sisi cerita yang sudah terlanjur kusulam.
"Apa kamu di suruh pulang ?" tanya alesha seolah takut di tinggalkan.
"Pasti, tapi aku gak mau." ucapku menenangkan alesha.
"Nanti, semoga kamu gak bakal lupa sama aku setelah pergi dari sini." ucap alesha.
"Kok ngomongnya gitu sha ?" tanyaku.
"Kamu gak bakal di sini terus terusan kan ? Kamu pasti bakal balik ke rumahmu. Dan kamu bakal lupa sama aku, kecuali kayak kataku tadi." ucap alesha.
"Emang tadi apa ?" tanyaku.
"Kita nikah." jawab alesha.
"Ah, kamu. Jadi bahas itu lagi kan ?" tanyaku seraya tersenyum mencoba menepiskan rasa canggung.
"Udah lah, aku mau mandi dulu." ucapku, aku berlalu menuju kamar mandi dan akan bebersih.
Mungkin alesha serius dengan perkataannya tadi, aku malah jadi semakin merasa berdosa padanya.
Padahal niatku memang hanya untuk menghindar sesaat dari permasalahan yang tengah ku hadapi saat ini, namun alesha malah beneran baper padaku. Aku harus apa ?
Setelah kembali dari kamar mandi, alesha masih belum tertidur. Aku mengosok rambutku dengan handuk dan setelah itu menghampiri alesha, aku ikut terbaring di sampingnya seraya memeluknya.
"Udah mandinya ?" tanya alesha. Aku hanya mengangguk.
Ting...
Tiba tiba ponselku berbunyi, aku langsung bangkit dan meraihnya.
Ternyata pesan dari adnan.
[Ngopi.] pesan adnan.
[Dimana ?] balasku.
[Tempat biasa, gw bayarin lagi dapet rezeki nih.] balas adnan lagi, aku jadi tersenyum.
"Kenapa ?" tanya alesha, aku seolah lupa bahwa saat ini tengah bersamanya.
"Aku keluar bentar ya." ucapku seraya akan beranjak. Namun alesha malah memasang wajah yang memelas seolah tak mau di tinggalkan.
"Keluar kemana ?" tanyanya.
"Ngopi." jawabku.
"Gak usahlah, kamu mau ninggalin aku sendirian di kostan ?" tanyanya, aku jadi tersenyum. Rasanya juga tak tega bila aku harus melakukan itu.
"Yaudah, aku gak jadi keluar." ucapku, aku mendekat dan kembali memeluk alesha. Aku sangat menikmati perlakuan manjanya, yang selama ini tak ku dapat dari istriku sendiri.
Aku pun kembali mengirimkan pesan kepada adnan dan menolak ajakannya. Aku tahu adnan kecewa tapi dia pasti ngerti kok.