NovelToon NovelToon
Takdir Di Ujung Cinta

Takdir Di Ujung Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Irh Djuanda

Judul: Takdir di Ujung Cinta

Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.

Masalah mulai muncul ketika seorang pria kaya bernama Arman datang ke rumah mereka. Arman adalah seorang pengusaha muda yang tampan tetapi terkenal dingin dan arogan. Ia menawarkan untuk melunasi semua utang keluarga Soraya dengan satu syarat: Soraya harus menikah dengannya. Tanpa pilihan lain, demi menyelamatkan ibunya dari hutang yang semakin menjerat, Soraya menerima lamaran itu meskipun hatinya hancur.

Hari pernikahan berlangsung dengan dingin. Soraya merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Sementara itu, Arman memandang pernikahan ini sebagai kontrak bisnis, tanpa rasa cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketakutan Arman

"Apa yang kau katakan, Man? Kau bilang Soraya mulai mengusik ketenangan mu? Apa mungkin Soraya mengetahui sesuatu? ".

Ucap Ray, mencari jawaban dari bungkamnya Arman.

" Entahlah, Aku rasa kehadiran Nadia sudah mengusiknya".

Arman hanya membalasnya dengan alasan seperti itu. Sementara Ray menarik nafasnya pelan. Sambil mendudukkan bokong di atas sofa empuk itu.

"Kau harus memberitahukan kebenarannya, sebelum orang lain mendahului mu".

Terang Ray, sambil menyandarkan punggungnya di sofa itu.

Arman terdiam sejenak, pandangannya tertuju pada lantai, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu bersandar pada kursi di hadapan Ray.

"Aku tidak punya keberanian,Ray,aku takut Soraya kecewa padaku" ujar Arman dengan nada yang lelah.

"Soraya... Dia bukan tipe orang yang mudah menerima kebenaran, terutama yang seperti ini."

Ray menatap Arman dengan pandangan tajam.

"Tapi, semakin lama kau menunda, semakin besar kemungkinan semuanya berantakan. Kau tahu itu, Man."

"Aku tahu!" potong Arman, suaranya sedikit meninggi.

"Tapi aku juga tahu seperti apa Soraya. Dia keras kepala, dan kalau dia tahu tentang Nadia... Aku takut dia akan melakukan sesuatu yang tak bisa kita perbaiki."

Ray menggeleng pelan, mencoba tetap tenang.

"Tapi bukankah lebih baik dia mendengarnya langsung dari mulutmu? Kalau dia tahu dari orang lain, atau lebih buruk lagi, kalau Nadia sendiri yang bicara... Kau pikir apa yang akan terjadi?"

Arman menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca.

"Kau tak mengerti, Ray. Ini bukan hanya soal Soraya... Ini soal semuanya. Nadia, keluargaku, semua yang telah ku bangun. Aku takut semua itu akan hancur."

Ray berdiri dari sofa, menatap sahabatnya dengan penuh keseriusan.

"Man, sudah ku katakan dari awal. Jangan libatkan perasaan mu.Kau ingat bukan?"

Kata-kata Ray menusuk Arman seperti pedang. Ia tak bisa menyangkal kebenarannya, tapi keberanian untuk melangkah maju rasanya seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul.

"Berikan aku waktu," gumam Arman, hampir tak terdengar.

Ray menatapnya sejenak, lalu menghela napas.

"Waktu tak akan menyelesaikan ini, Man. Kau yang harus mengambil langkah pertama."

Setelah itu, keheningan kembali mengisi ruangan. Di luar, langit mulai berubah warna, menunjukkan bahwa malam sudah mulai merangkak naik. Tapi di hati Arman, kekelaman yang lebih dalam sedang menyelimuti. Sebuah keputusan besar menantinya, dan ia tahu tak ada jalan untuk menghindarinya.

Di sisi lain Nadia tersenyum miring melihat foto pernikahan Arman dan Soraya yang tercetak di sebuah majalah. Nadia memutar majalah itu dengan pelan, memperhatikan setiap detail foto pernikahan Arman dan Soraya.

Wajah Soraya yang bahagia, tersenyum lebar di samping Arman yang terlihat gagah dengan setelan tuxedo. Senyum Nadia melebar, tapi tatapannya penuh ironi.

"Jadi ini hidup bahagia yang kau pilih, Arman?" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti bisikan.

Ia membalik halaman demi halaman, membaca artikel tentang kehidupan pasangan itu, lengkap dengan cerita tentang kesuksesan karier dan keharmonisan rumah tangga mereka.

Nadia meletakkan majalah itu di meja dengan keras, suaranya menggema di ruangan kosong itu.

"Keharmonisan?" Ia tertawa kecil, sarkastik.

"Kau membangun hidup yang sempurna di atas penderitaan kakakku!."

Ia berjalan ke dekat jendela, menatap langit sore yang mulai memerah. Dalam hatinya, ia bergulat dengan perasaan marah, kecewa, dan sedih bercampur jadi satu.

"Tapi kau tidak bisa terus berpura-pura, Arman" katanya pelan, suaranya hampir bergetar.

"Kehidupan sempurna mu itu akan runtuh. Aku akan pastikan itu."

Nadia mengambil ponselnya dan membuka daftar kontak. Jarinya berhenti di nama Arman. Ia menatap layar itu cukup lama, seolah sedang memutuskan sesuatu yang berat. Setelah menarik napas dalam, ia mengetik sebuah pesan singkat:

"Kita harus bicara. Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi."

Ia menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponsel itu di meja. Matanya kembali tertuju pada majalah di depannya, pada foto pasangan yang tampak bahagia itu. Kali ini, tidak ada senyum di wajahnya, hanya tatapan dingin yang menyimpan dendam dan kesedihan.

"Soraya, aku ingin melihat bagaimana kau menghadapi kebenaran yang disembunyikan suamimu selama ini," bisiknya pelan.

Di dalam hatinya, Nadia tahu langkah yang ia ambil ini akan mengubah segalanya. Tentang memaksa Arman untuk menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Arman menghindari masa lalu nya dan menutupi dari semua orang dan dunia Arman.

Malam itu, Arman masih terduduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah gelas kopi yang sudah dingin di atas meja. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang semakin rumit. Ponselnya tiba-tiba bergetar, menarik perhatiannya. Ia meraih ponsel itu dengan ragu, dan matanya langsung terpaku pada pesan yang baru masuk.

"Kita harus bicara. Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi."

Pesan itu dari Nadia. Hati Arman mencelos. Ia tahu, waktunya semakin sempit. Soraya yang sedang berada di lantai atas pasti tak menyadari apa yang sedang terjadi, namun bayangan bagaimana reaksi istrinya jika semua ini terungkap membuat Arman semakin gelisah.

Arman menekan dahinya dengan tangan, mencoba menenangkan diri.

“Apa yang harus aku lakukan? Jika aku bicara, aku menghancurkan segalanya. Jika aku diam, aku akan kehilangan kendali,” gumamnya pelan.

Tak berapa lama Soraya datang dan mengejutkannya.

"Apa yang kau pikirkan? " ucap Soraya,

Sambil mendudukkan bokongnya disamping suaminya. Arman menatap wajah polisi istrinya, Ia teringat ucapan Ray yang terus menghantui pikirannya. Namun, di depan Soraya, Arman tetap berusaha menjaga ketenangannya.

"Tidak ada, hanya... pekerjaan," jawab Arman sambil tersenyum tipis, meskipun matanya memancarkan kegelisahan yang sulit disembunyikan.

Soraya memiringkan kepalanya, menatap Arman dengan tatapan curiga.

"Arman, aku mengenalmu. Kalau kau bilang 'tidak ada', biasanya ada sesuatu yang kau sembunyikan. Apa ini tentang klien baru itu?"

Arman menggeleng cepat, mencoba mengalihkan perhatian Soraya. "Bukan, sayang. Hanya beberapa masalah kantor yang sedikit membuatku pusing. Tidak perlu khawatir."

Soraya menghela napas, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Arman.

"Kau tahu, aku selalu ada untukmu, kan? Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kau bisa cerita. Aku tak mau kau memikul semuanya sendirian."

Perasaan bersalah mulai menjalar di hati Arman. Kata-kata Soraya terasa seperti tamparan, mengingatkan betapa tulusnya cinta istrinya itu. Namun, semakin ia mendengar, semakin ia merasa takut untuk mengungkapkan kebenaran.

"Aku tahu, Soraya. Terima kasih," balasnya sambil mengecup kening istrinya.

"Aku hanya butuh waktu untuk membereskan semuanya."

Soraya tersenyum kecil, meskipun masih ada keraguan di wajahnya.

"Baiklah, kalau begitu aku akan membiarkanmu berpikir. Tapi jangan lupa istirahat, ya?"

Soraya bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur, meninggalkan Arman yang kembali tenggelam dalam pikirannya. Ponselnya masih ada di tangannya, dengan pesan dari Nadia yang belum ia balas.

Arman menghela napas panjang. Ia tahu bahwa jika ia terus menunda, situasi ini akan semakin sulit untuk dihadapi. Namun, keberanian itu belum juga muncul.

Di saat yang sama, Nadia, yang berada di apartemennya, menatap layar ponsel dengan frustrasi. Tidak ada balasan dari Arman. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan kemarahan yang mulai menggelegak.

"Baiklah, kalau kau tidak ingin bicara, aku sendiri yang akan menemui Soraya," gumamnya penuh tekad.

Nadia meraih tasnya, memasukkan beberapa barang, lalu melangkah keluar apartemen dengan langkah cepat.

Sementara itu, di rumah, Soraya kembali menghampiri Arman dengan dua cangkir teh hangat. Ia tersenyum lembut, mencoba menghibur suaminya yang tampak begitu lelah.

"Ini, mungkin teh ini bisa sedikit menenangkanmu," katanya sambil meletakkan cangkir di meja.

Arman memaksakan senyum, menerima cangkir itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia menatap Soraya, ingin mengatakan sesuatu, tapi suara itu tak kunjung keluar. Ia hanya bisa bergumam pelan,

"Terima kasih, Soraya."

Namun, di dalam dirinya, Arman tahu, waktunya untuk bersembunyi semakin habis. Nadia bukan seseorang yang mudah menyerah, dan ia takut, sangat takut, jika semua yang ia sembunyikan akhirnya meledak di hadapan orang yang paling ia cintai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!