NovelToon NovelToon
Suatu Hari Di Tahun 2018

Suatu Hari Di Tahun 2018

Status: tamat
Genre:Action / Romantis / Fantasi / Tamat / Cintapertama / Cintamanis / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:724
Nilai: 5
Nama Author: Gregorius Tono Handoyo

Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,

ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Percakapan tengah malam

Bukankah di negara ini orang-orang lebih suka sok tahu daripada mencari tahu?

Malam itu, percakapan kita seperti biasa kembali dimulai. Dan, seperti biasa pula, tidak akan ada habisnya. Kita tidak pernah menemukan titik penyelesaian. Kau akan bersikeras dengan pendapatmu, terlebih juga aku. Namun, kita berdebat memang untuk itu. Kau jenuh dengan kuliahmu, sementara aku kadang lelah dengan pekerjaanku. Kita butuh obrolan di luar kebiasaan yang kita lakukan. Itulah sebabnya, kita berdebat dan mempermasalahkan banyak hal. Bahkan hingga larut malam.

"Kamu besok tidak kuliah?"

"Besok kan Minggu."

Kalimat percakapan seperti itu selalu menjadi penanda bahwa malam sudah terlalu larut. Sudah tidak selayaknya kita memperdebatkan hal-hal yang bukan urusan kita ini. Namun, tidak seperti perempuan kebanyakan. Kau tidak akan membiarkan aku menutup obrolan. Kau mulai membahas topik baru. Itu artinya, percakapan kita akan berlanjut sampai subuh.

Kau memesankan dua gelas minuman lagi.

Aku selalu suka dengan caramu memandang sesuatu. Meski tidak semua pandanganmu aku setujui. Misalkan, menurutmu mahasiswa jurusan bahasa Indonesia tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas kecarutmarutan bahasa yang digunakan sekarang. Tetapi menurutku, justru itu tugas mahasiswa bahasa Indonesia yang harus menjadi contoh. Hal ini tidak pernah menemukan titik terang bagi kita. Kau bersikeras, aku pun tidak ingin mengalah. Akan tetapi untuk hal lain, aku sepakat denganmu. Misalkan, menurutmu mencintai harus memiliki. Aku setuju. Aku benci pada orang-orang sok kuat. Orang-orang yang bersembunyi di balik kalimat basi "cinta tidak harus memiliki".

Kita sepakat, hanya orang-orang cemen yang percaya dengan kalimat itu. Orang-orang yang tidak mau memperjuangkan apa yang dicintainya. Atau orang-orang yang sebenarnya tidak pernah benar- benar mencintai. Kalau sudah membahas hal seperti ini. Kita akan mengkaji lebih dalam. Bahkan, kita sudah seperti dua orang mahasiswa akhir jurusan filsafat.

Segala sesuatu yang kita bicarakan, kita ajukan dengan filosofi karangan kita masing-masing.

"Kalau cinta tidak harus memiliki, kenapa kau harus mencintai?"

Itu pertanyaan yang menjadi kekuatan kita untuk menyepakati bahwa mencintai berarti harus memiliki. Jika menyatakan tidak bisa memiliki, mulai saat itu kau pun harus berhenti mencintai. Jangan menjadikan cinta sesuatu yang salah. Sesuatu yang seolah menyakitimu. Kau dan aku sepakat, bahwa bukan cinta yang menyakiti manusia. Tetapi manusialah yang membiarkan dirinya menderita. Sebab, pada hakikatnya cinta adalah kebahagiaan. Kalau sudah sakit, luka, dan patah hati, itu artinya manusia tidak lagi sedang mengalami jatuh cinta. Melainkan lepas dari cinta.

"Mereka orang-orang yang membiarkan diri mereka terluka. Kau terkekeh.

Aku ikut tersenyum. Kita selalu suka menertawakan hal-hal yang kita anggap tidak seharusnya terjadi. Bukankah hal-hal yang menurut kita konyol selalu bisa kita tertawakan? Apalagi hal yang menyangkut kebodohan orang lain. Untungnya, kita hanya menertawakan itu untuk diri kita berdua. Kau juga tidak sepakat, bahwa bahagia dengan menertawakan orang lain di depan orang banyak bukanlah sesuatu yang cerdas. Kau paling kesal, melihat beberapa orang di media sosial yang sering kelewatan.

"Kita hidup di zaman payah, orang-orang payah." Katamu, "Bahkan tidak hanya pejabat, pemuka agama pun akan di-bully habis-habisan oleh orang-orang yang mengaku seleb di media sosial." Kau memang selalu kesal dengan hal itu. Menurutmu, terkadang mereka kelewatan. "Aku tidak suka dengan orang- orang yang kadang bicara agama, seolah dia adalah orang yang alim, tetapi di saat lain, dia masih saja menulis dengan bahasa-bahasa vulgar. Aku tahu yang kau maksud. Kita memang sering membahas orang itu. Salah satu penulis buku yang bukunya kumpulan tulisan orang lain.

Sebagai mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, kau memang kesal kepada orang-orang seperti itu.

"Mereka kan, tidak salah. Lagian, yang punya tulisan saja bersedia, kenapa kau malah kesal?" tanyaku, seperti biasa ada beberapa hal yang membuat kita. tidak sependapat.

"Ya, tidak masalah memang. Tapi aku kesal saja melihat orang-orang seperti itu. Gayanya belagu. Kau tidak tahu, sebagai mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, aku merasa itu penting bagiku. Aku resah!" Kau menatapku dengan kesal.

Aku tergelak. Kau ternyata sama saja dengan kebanyakan orang di negara ini. Kau kesal dengan sesuatu, lalu menghujatnya. "Kenapa tidak bikin buku yang lebih bagus saja?" Tanyaku serius.

"Aku belum mau bikin buku."

"Lalu kenapa kau menyalahkan orang-orang yang bikin buku?"

"Aku tidak menyalahkan. Hanya saja, aku tidak suka cara mereka. Ingin menjadi terkenal, bikin buku berdasarkan kumpulan tulisan orang lain. Nanti, namanya yang dibuat, seolah dialah orang yang menulis buku itu. Padahal dia hanya menyumbang satu cerita pendek. Hanya karena dia terkenal di media sosial." Kau terlihat masih kesal

Aku tidak melanjutkan bahasan itu. Kalau sudah begitu, kau bisa membahasnya panjang lebar. Kau akan menjabarkan dengan teori-teorimu. Dan, aku sedang tidak berminat mendengarkan ocehanmu panjang lebar. Sudah terlalu malam untuk mendengarkan penjabaranmu yang bisa lebih panjang daripada satu bab buku yang biasa kubaca.

Kita terdiam beberapa saat. Aku meneguk minunam. yang tadi kau pesankan. Aku menunggu emosimu mereda. Entah kenapa setiap kali berbicara dengan hal yang berkaitan dengan kuliahmu, kau menjadi lebih cepat naik pitam. Dan jujur saja aku kadang lebih memilih mengalihkan pada hal lain. Mungkin itu yang membuat kita masih bertahan selama ini. Masih bisa menjadi teman berbicara hingga malam terlalu larut.

"Kau tidak berniat mencari kekasih?" Tanyaku. Itulah pertanyaan yang sangat jarang kutanyakan. Aku ingat, terakhir kali aku menanyakan kepadamu, dua tahun. lalu. Setahun setelah kau putus dengan mantan pacarmu.

"Belum. Buat apa? Pertanyaan itu terdengar menyedihkan.

Aku hanya diam, tidak tahu apa yang akan kukatakan.

"Kenapa? Kau sudah mulai merasa bosan menjadi temanku?" Tanyamu lagi.

"Bukan, bukan seperti itu maksudku."

"Lalu?"

"Aku hanya bertanya." Aku berusaha menghentikan. pembicaraan perihal itu.

"Kau sendiri, kenapa masih betah sendiri? Masih berharap sama mantan kekasihmu yang dua tahun lalu memilih kembali ke mantan kekasihnya itu?" Sungguh, aku tidak suka tentang bahasan ini. Kau selalu saja mengaitkan dia dengan kenapa aku masih memilih sendiri.

"Sudahlah, Raka. Kau tidak bisa mengelak. Kau masih berharap pada Helza, kan?"

"Kau sok tahu!"

"Haha...!"

Kau malah tertawa. "Raka, mantan itu memang terkadang susah untuk dilupakan. Tapi masih mencintai mantan, sama saja kau mencintai benda sisa. Sama saja seperti kau mencintai bangkai. Lama- lama akan membuatmu ikutan membusuk."

Sebenarnya, aku bisa saja membalas omonganmu. Tetapi aku memilih untuk mengalah. Aku tahu, setelah tiga tahun mantan kekasihmu Kau orang yang tidak punya hati lagi kepada lelaki. Kau sama saja seperti perempuan lain. Hanya karena disakiti seorang lelaki yang kau sayang, kau menganggap semua lelaki sama saja. Sama-sama brengsek!

Begitulah kita, semakin malam bahasan kita semakin mengarah ke mana-mana. Dari urusan negara sampai urusan hati. Namun, semua itu tetap membuat kita merasa nyaman.

"Alisa, kau tahu? Kadang, kita sibuk mengurusi kesalahan orang lain. Padahal jika kita yang melakukannya belum tentu bisa sebaik itu. Atau bisa jadi malah lebih buruk. Aku menyandarkan tubuhku. ke punggung kursi. Mulai lelah. Mulai mengantuk.

"lya, aku tahu. Tapi, bukankah berkomentar dan menyalahkan lebih menyenangkan?" Kau tertawa, ikut menyandarkan tubuhmu

"Ternyata kita sama saja dengan orang lain. Kita hanya bisa menyalahkan orang lain. Padahal, jika kita yang melakukan belum tentu kita mampu, kan?" Aku menatap ke wajahmu.

Kau setuju hal itu. Malam itu terakhir kalinya kita menertawakan hal-hal atas kebodohan orang lain. Setidaknya, itu menjadi pembelajaran bagi kita.

"Setidaknya, kita hanya bicara berdua. Tidak seperti orang-orang yang terkenal media sosial itu. Mereka yang punya banyak penggemar. Kau berusaha mem- bela diri.

"Ya, itu karena kau tidak punya pengikut. Karena kau tidak terkenal. Aku meledek.

"Hih! Kau ini...." Kau menepuk pelan bahuku

"Jadi, kapan mau cari kekasih?" tanyaku.

"Kalau kau sudah punya kekasih lagi," jawabmu.

Dan sampai saat ini, kita tidak pernah menemukan orang lain. Katamu, tidak ada yang bisa membuatmu nyaman seperti saat bersamaku. Dan, hal yang sama. sebenarnya juga aku rasakan. Itulah sebabnya, aku memilih tidak mencari kekasih lain. Kalau bersamamu aku bisa menjadi diriku sendiri.

1
Akun Kedua
ini sudut pandang orang berapa kak, maksudnya povnya? 1, 2, 3? soalnya agak aneh pas baca dialog irvan sama alisa.. deskripsinya agak sedikit diperbaki lagi kak, soalnya baca deskripsinya serasa baca surat hehe.. tapi untuk cerita udah bagus, 😊👍 plotnya juga dibuat dengan matang 😊👍
Akun Kedua: sama2 kak 😉
IJ: siap kakak terimakasih banyak🙏😚
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!