Istri yang dimanfaatkan olehnya telah tiada, meninggal dalam pelukannya. Wanita berwajah rusak yang tidak pernah lelah menunggunya.
"Bangun Foline..." gumamnya, tidak pernah mengijinkan pemakaman sang istri. Memeluk jenazah yang berada dalam peti mati dalam kamarnya.
Pemuda keji, yang menampik rasa kasih dari istrinya. Menghancurkan keluarganya, hanya demi ambisinya untuk memiliki segalanya.
"Sayang...jika aku dapat mengulangi waktu, aku tidak akan membiarkanmu menangis, tidak akan membiarkan jarimu tergores..." gumamnya hendak mengakhiri hidupnya. Kala bahkan tidak ada lagi rasa kasih dari keluarganya.
*
Namun, ada yang aneh. Otto Celdric tidak meninggal. Matanya terbuka mengamati ruangan, dirinya kembali ke masa 12 tahun lalu.
Mencari keberadaan istrinya, melindungi keluarganya, itulah yang akan dilakukan psikopat itu kali ini.
Menginjak tubuh orang-orang yang akan menghancurkan keluarganya.
"Kalian tidak ingin bermain lagi denganku?"
"Aaggh!"
"Adios!"
Dor!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahagia Selama-Lamanya
Beberapa menit sebelumnya_
Eric terdiam menatap CCTV, mimik wajah Gledo diamatinya. Apa orang ini dapat dipercaya?
"Perlukah aku meracuni---" Kalimat Ace disela.
"Seorang koki yang baik, tidak akan bermain-main dengan makanan. Kecuali setelah berburu (membunuh), kamu ingin memasak dagingnya." Ucap Eric tersenyum, menatap ke arah Gledo yang tengah berbicara dengan Alex.
"Siapa yang mau memasak daging manusia!" Gumam Ace merinding.
"Itulah intinya." Eric tersenyum, kembali mendorong troli yang berisikan hidangan utama.
Tubuh mereka benar-benar menggiurkan untuk disayat perlahan. Teriakan mereka akan terdengar indah bukan?
Tapi tidak, kesalahan kecil akan membuat semuanya kembali pada keadaan semula. Tangannya yang mendorong troli mencengkeram gemetar. Manusia inilah yang menyebabkannya menjadi predator.
Hanya senyuman yang terlihat, bagaikan iblis yang mengintip dengan sengaja. Kalimat demi kalimat yang dikatakan mulut busuk Veronica membuat Eric tersenyum.
Bukankah Veronica sangat cantik? Hingga membuat dirinya membenci setiap wanita karena pengkhianatannya?
Bagaimana jika Veronica menjadi pengantinnya malam ini? Tidak masalah untuk menemani mereka bermain putri dan pangeran bukan?
"Drama dimana pangeran menghabisi monster untuk menyelamatkan putri? Bagus juga! Kita bermain putri dan pangeran..." Benar-benar antusias rasanya, Eric meraih katana. Raut wajah penuh senyuman bagaikan ini hanya permainan bajak laut.
Zed dan Alfa bergerak hampir bersamaan. Dua orang yang membawa senjata api. Sedangkan dirinya membawa katana yang hanya dapat menyerang jarak dekat.
Dor!
Dor!
Mereka mulai menembakkan peluru ke arah Eric. Namun, apakah Eric cukup bodoh?
Salah satu peluru mengenai dadanya. Membuat tubuh Eric roboh di lantai restauran.
"Jangan sampai dia mati. Bawa ke markas, aku akan tunjukkan bagaimana seorang Alex bermain---" Kalimat Alex terhenti.
Srak!
Pisau dilempar hampir mengenai wajahnya, hanya meninggalkan goresan di pipi. Sedangkan pisau kini tertancap pada tiang penyangga. Hal yang dilakukan Eric bangkit, kemudian berlari dengan cepat.
Dor!
Dor!
Dor!
Kembali Zed dan Alfa bergerak hendak menembak Eric. Tapi kali ini pemuda yang memakai jaket anti peluru di balik bajunya itu bergerak lebih cepat, untuk menghindari peluru.
Tepatnya ke arah balik lemari pajangan. Benar-benar berhati-hati, Zed dan Alfa mengepung melalui dua arah. Berjaga-jaga jika Eric juga memiliki senjata api.
Tapi, tidak terlihat siapapun dibalik lemari pajangan. Dua orang dengan kewaspadaan yang meningkat.
Dimana tepatnya keberadaan Eric saat ini? Pemilik restauran yang sudah pasti mengetahui tempat bersembunyi, yang tepat. Perkelahian jarak dekat, maupun kemampuan menembak kedua orang itu tidak dapat diragukan.
Namun, ini bukan hanya tentang kemampuan. Tapi strategi untuk membunuh.
Hingga Zed melihat ke arah atas, menyadari ada yang salah.
"Adios (sampai jumpa)." Ucap Eric bersamaan dengan lampu kristal yang terjatuh mengenai tubuh Alfa. Setelah pemuda itu memutuskan tali rantai pengaman.
Dor!
Alfa sempat melayangkan tembakannya. Namum, apa yang dapat ditembak oleh seseorang yang berada dalam kepanikan?
Darah menetes membasahi lantai. Alfa yang kejatuhan lampu kristal tidak dapat bangkit lagi. Bersamaan dengan itu Eric melompat turun dari atas rak pajangan.
Dor!
Dor!
Dor!
Srash!
Berfikir cepat untuk mengeluarkan pisau sebagai senjata jarak dekat? Tentu Zed tidak bisa. Senyuman dingin bagaikan ini sebuah permainan menbuat adrenalin Eric terpacu, tiga peluru bersarang di rompi anti pelurunya yang terletak di balik kemeja. Pedang menancap di tubuh Zed, tepat di titik dimana tidak terdapat organ di dalam sana.
Mengapa? Ayahnya dari kecil selalu menginginkan Eric menjadi seorang dokter. Kerap membawanya ke rumah sakit, mengajari anatomi manusia. Bahkan dari sekolah dasar dirinya sudah biasa melihat ayahnya melakukan operasi. Walaupun hanya dari monitor, tidak diijinkan langsung untuk masuk.
Bagaimana seorang anak yang diajarkan kebaikan, tumbuh menjadi monster akibat pembullyan yang mengerikan.
Srash!
Tangan pria itu dilukai tidak dapat memegang senjata api lagi.
Srak!
Srak!
Srak!
Sekitar tiga kali Eric kembali menancapkan katananya penuh senyuman. Pada tubuh Zed dan Alfa.
"Agggh!" Suara jeritan semakin menggema. Kala pemuda itu menuangkan alkohol pada tubuh mereka tanpa ekspresi.
"Sialan!" Alex hendak menyerang.
Namun, katana diarahkan tepat di hadapan Alex. Lebih tepatnya berjarak beberapa centimeter dari hidungnya.
"Alex sayang, tidak diduga kamu berperan sebagai naga jahat." Ucap Eric tersenyum, sedikit tertawa, bagaikan anak kecil yang menganggap ini benar-benar sebuah permainan.
Benar-benar hanya tinggal mengayunkan katananya maka kepala Alex akan terlepas.
"Aku bukan naga jahat." Alex tersenyum, namun sejujurnya kakinya gemetar saat ini.
Bagaimana untuk bertahan hidup melawan orang gila ini?
"Lalu berperan sebagai apa? 7 kurcaci di dongeng snow white. Bukankah kita bermain putri dan pangeran?" Tanya Eric bertanya dengan tenang.
"Aku? Kurcaci!? Baj*ngan sial! Br*ngsek..." Alex masih berusaha tersenyum. Memikirkan cara untuk merobohkan sekaligus membunuh orang ini.
Eric sedikit melirik pada Veronica, yang baru saja usai menghubungi Miller (ayak Alex) kemudian tersenyum."Veronica sayang, haruskah aku membunuhnya untukmu, sebagai bukti cinta sejatiku?"
"Kamu akan mati! Sampah..." Sebuah dendam yang masih tersimpan. Bagaimana dirinya dipermalukan, kala tubuhnya dipertontonkan di hadapan banyak orang.
"Wah! Putri membenci pangeran! Padahal pangeran mencintai putri. Karena itu hanya untuk sang putri. Pangeran ini akan membunuh kurcaci." Kala Eric hendak mengayunkan katananya.
Alex bergerak menjegal kakinya. Namun, bagaikan monster yang kala terjatuh pun masih dapat mencakar. Bagian paha Alex dilukai.
Merebut katana milik Eric? Bahkan Eric yang sempat terjatuh itu masih memegang katananya lagi. Menepuk-nepuk pakaiannya yang sempat kotor terkena debu.
Alex berusaha bangkit memegangi kakinya yang terluka, darah mengucur begitu deras. Kembali Eric mengarahkan katana tepat di hadapan wajah Alex.
Zed dan Alfa, keduanya masih hidup, walaupun mengalami cidera. Suara rintihan mereka masih terdengar.
"Putri! Aku sudah melukai kurcaci. Tidak bisakah kamu mencintaiku. Karena aku sangat iri dan cemburu pada kurcaci." Ucap Eric.
Sedangkan, Cassandra sudah menelan ludah berusaha melarikan diri. Pemilik restauran ini tidak normal, benar-benar psikopat yang haus darah.
"Masa bodoh! Jika dengan Alex aku akan dibunuh! Lebih baik menjual kesetiaan pada orang gila saja!" Teriak Gledo menghentikan Cassandra melarikan diri.
"Lepas!" Teriak Cassandra, kala Gledo memeganginya.
"Eric! Aku sudah menangkapnya! Dia mau kabur!" Ucap Gledo, tidak ingin suatu saat kesetiaannya dicurigai Eric. Yang penting tidak mati, itulah prinsipnya.
"Rupanya Gledo sudah mau menjadi temanku." Nada ceria, benar-benar tersenyum dalam situasi seperti ini.
Sedangkan Alex memikirkan cara untuk mengalahkan orang gila ini. Memegangi kakinya yang terluka cukup dalam. Sejak kapan Eric menjadi segila ini.
Hingga.
Pintu depan restauran terbuka. Menampakkan Miller yang masuk diikuti beberapa orang.
Senyuman di wajah Eric memudar."Paman Miller... bukankah paman sudah sepakat dengan ayahku, jika ini hanya perkelahian antara dua orang anak laki-laki? Apa paman berubah fikiran?"
"Ayah! Bunuh dia! Dia yang melukaiku! Dia hanya orang br*ngsek yang lemah!" Teriak Alex pada ayahnya.
Miller mengepalkan tangannya melihat keadaan putranya."Sudah saatnya Alex pulang. Tidak boleh bermain terlalu larut."
"Sudah malam? Baiklah! Paman boleh menjemput Alex pulang." Eric menurunkan katananya. Mengetahui Miller orang yang begitu perhitungan. Membunuh Eric? Itu artinya harus siap berhadapan dengan ayahnya.
"Ayah!" Teriak Alex.
Namun dua orang tetap membawa Alex yang terluka pergi. Beberapa orang lainnya membawa Zed dan Alfa.
Namun, kala Veronica hendak mengikuti melangkah pergi.
"Tunggu! Veronica sayang... pangeran belum menikah dengan tuan putri. Bagaimana kamu dapat meninggalkan pangeran seorang diri?" Tanya Eric, duduk di atas meja masih memegang katana. Cipratan darah terlihat mengotori pakaian dan pipinya. Senyuman mengerikan yang bahkan membuatnya benar-benar ketakutan.