~Dibuat berdasarkan cerpen horor "Anna Van de Groot by Nath_e~
Anastasia ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja hotel di kota Yogyakarta. siapa sangka hotel baru yang rencana bakal soft launching tiga bulan lagi memiliki sejarah kelam di masa lalu. Anastasia yang memiliki indra keenam harus menghadapi teror demi teror yang merujuk ada hantu noni Belanda bernama Anna Van de Groot.
mampukah Anastasia mengatasi dendam Anna dan membuat hotel kembali nyaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nath_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama
Anastasia duduk termenung di luar kerjanya. Layar laptop yang terus berjalan memperlihatkan slide demi slide presentasi untuk grand opening hotel nyatanya tidak menarik lagi bagi wanita berusia 35 tahun itu. Begitu juga dengan lembaran-lembaran kertas yang berserakan di depannya.
Pikiran Anastasia tertuju pada simbol yang ditemukan samar di pantry saat melakukan rekognisi. Sudah sekian lama Anastasia tidak menemukan simbol itu. Sejak kepulangannya ke Indonesia tiga tahun silam.
“Ini mulai meresahkan,” ucapnya pelan kembali memijat pelipisnya.
Suara pintu ruangan terdengar diketuk, seraut wajah manis muncul setelah pintu terbuka. “Mbak belum pulang?”
“Oh kamu, Nath. Masuk deh!”
Nathan masuk dengan setumpuk pekerjaan di tangannya. Tatapan Anastasia langsung jatuh ke tangannya. “Apa itu? Buat aku lagi?”
“Oh, bukan mbak. Ini kerjaan mau saya revisi. Mau ijin sama mbak,” jawab Nathan meletakkan tumpukan file dalam map didepan Anastasia.
Anastasia memeriksa file terdepan, “heem, iya deh. Bawa balik tapi besok clear bisa?”
“Saya usahakan mbak.”
Wajah sumringah Nathan sedikit menghibur Anastasia. Lelaki berkulit putih bersih itu masih berdiri dihadapannya.
“Adalagi?” kening Anastasia berkerut.
“Ehm, saya mau …,” untuk sesaat Nathan ragu, tapi kemudian. “Kasus pantry, gimana mbak?”
Anastasia memundurkan punggungnya hingga ke sandaran kursi. “Aku udah urus itu. Kalian jangan khawatir.” Jawabnya pelan.
Nathan segera duduk didepan meja Anastasia. “Saya bukan mau kepo apalagi julid mbak, saya cuma mau kasih info penting!” Ucapnya dengan wajah serius.
“Apa?”
“Kasus di pantry sebenarnya sudah terjadi berkali-kali, cuma Chef Umar nggak mau blow up ini. Kejadian kemarin adalah yang terparah dan Siska akhirnya nggak kuat lagi buat nutupin rasa cemasnya.”
Nathan mulai bercerita tentang kejadian-kejadian aneh seputar pantry. Mulai dari bahan makanan yang cepat busuk, makanan siap saji yang tiba-tiba saja berantakan, gudang bahan makanan yang berantakan dan terburuk adalah Poltergeist yang terjadi belakangan. Chef kepala–Umar– nyaris saja celaka setelah pisau besar terbang dan melukai tangannya.
“Astaga …,” kepala Anastasia seketika berdenyut kencang mendengarnya. “Kenapa kalian nggak mau ngomong? Ini serius banget lho! Sampai ngeganggu keselamatan karyawan.”
“Maaf, mbak. Bukan pak Umar nggak mau kasih tahu, tapi … beliau berpikir jika ini resiko kerja, dan meminta yang lain untuk diam.”
Helaan nafas berat terdengar dari Nathan. “Kami sangat paham dan mengerti kekhawatiran mas Adam. Rumor hotel berhantu, sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada kepercayaan. Itu sebabnya kami sepakat untuk diam.”
“Kalian … uuuugh!! Damn,” emosi Anastasia meluap sesaat. Ia memukul ringan meja dan memejamkan mata sesaat untuk mengontrol emosinya.
Ia menarik nafas panjang dan dalam sebelum kembali bicara. “Ok, makasih informasinya. Tapi boleh nggak aku minta tolong sama kamu, Nath?”
“Apa tuh mba, saya siap bantu.”
“Tolong untuk tiga bulan ke depan usahakan agar rumor ini nggak menyebar luas tanpa kendali. Kasih pengertian juga ke yang lainnya,” ucapnya pelan penuh penekanan.
“Ok mbak, siap! Kita juga paham kok mbak. Kalau nggak ada lagi, saya pamit pulang dulu ya mbak.”
Anastasia mengangguk dan membiarkan Nathan pergi. Ia teringat sesuatu, “Adam,”
Anastasia berdiri ragu di depan pintu ruang kerja Adam. Perdebatan keduanya beberapa jam lalu, masih membayang. Anastasia harus mengambil langkah pertama untuk memperbaiki hubungan. Setelah menghela napas panjang, ia mengetuk pintu.
“Masuk,” suara Adam terdengar, dingin dan tegas.
Anastasia membuka pintu perlahan, menemukan Adam sedang sibuk dengan laptopnya. Wajah pria itu tampak sedikit lelah, tetapi ia melirik Anastasia dengan tatapan datar.
“Sibuk Dam?” Anastasia memulai dengan hati-hati, tak ada reaksi dari Adam. Ia masih sibuk mengetik. “Aku mau minta maaf masalah tadi. Kamu benar, mungkin aku terlalu menyepelekan situasinya.”
Adam menghela napas dan menutup laptopnya. “Kamu tahu An, aku menghargai setiap pendapatmu. Tapi ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar ... rumor.”
“Ya, aku tahu itu,” Anastasia menjawab cepat. “Aku juga nggak mengira kalau ternyata, kejadian di pantry itu sudah berulang kali terjadi. Dan yah, kamu benar. Aku mungkin nggak seperti mbak Dewi dalam menyikapi permasalahan.” Akunya dengan tulus.
Adam memandangnya selama beberapa detik sebelum akhirnya melonggarkan sikapnya. “Kamu bukan Dewi. Duduklah,” katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.
Anastasia duduk dengan patuh, tangan terlipat di pangkuannya, berusaha menurunkan egonya.
“Dengar,” Adam memulai dengan nada lebih lembut, “hotel ini sedang dalam tahap negosiasi dengan beberapa investor besar. Jika cerita-cerita ini sampai keluar, mereka mungkin akan menarik diri. Itu bisa menghancurkan bisnis kita.”
“Iya, aku tahu,” Anastasia menanggapi. “Tapi menurut ku, ada selling point yang bisa kita gunakan juga dari kejadian ini. Bukan sekedar rumor kosong. Aku yakin ada penjelasan di balik semua kejadian aneh ini.”
Adam menyandarkan tubuhnya ke kursi, tampak berpikir sejenak. “Baiklah, kamu mau tahu cerita sebenarnya? Aku bakal kasih tau, tapi hanya sejauh yang aku ketahui.”
Anastasia mengangguk, merasa lega karena Adam akhirnya mau berbicara.
“Sejak hotel ini dibangun,” Adam memulai, “pekerja konstruksi sering mengeluhkan hal-hal aneh. Alat-alat mereka sering rusak tanpa alasan, dan beberapa dari mereka bahkan melapor mendengar suara-suara aneh di malam hari. Saat itu, kami menganggapnya hanya paranoia.”
“Lalu?” Anastasia mendorong dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ketika hotel mulai beroperasi, masalah itu tidak hilang,” Adam melanjutkan. “Pintu yang terbuka sendiri, lampu yang padam mendadak, dan suara langkah kaki di lorong-lorong kosong. Bahkan aku pernah mengalaminya sendiri. Ada malam di mana aku lembur, dan aku mendengar suara pintu terbuka di lorong, padahal aku tahu aku sendirian di sini.”
Anastasia merasakan bulu kuduknya berdiri. “Apakah ini terjadi di area tertentu?”
Adam mengangguk. “Terutama di lantai tiga, dekat suite utama. Beberapa karyawan juga melaporkan melihat sosok wanita di sana. Tapi kami selalu mencoba mengalihkan perhatian mereka, mengatakan bahwa itu hanya bayangan atau ilusi optik.”
Aku tersenyum masam, “Ilusi optik? Dan mereka percaya?”
“Tentu saja tidak, tapi aku memaksa mereka untuk percaya.” Adam berkata dengan serius. “Aku harus mengendalikan situasi, An. Waktu kamu belum datang, semuanya baik-baik saja dan aku akan memastikan hal yang sama setelah kamu disini.”
“Ok, aku mengerti. Tapi menurutmu, apa yang menyebabkan semua ini?” Anastasia bertanya hati-hati. “Nggak mungkin kalau semua gangguan ini tanpa penyebab kan?”
Adam menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu pasti. Tapi ada cerita kalau sebelum hotel ini dibangun, tanah ini memiliki sejarah panjang yang ... kurang menyenangkan. Aku tidak yakin apakah itu hanya kebetulan atau ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Anastasia terdiam, memikirkan semua informasi yang baru ia terima.
“Dengar, Anastasia,” Adam melanjutkan dengan nada serius, “kamu bisa melakukan apapun untuk mencari tahu lebih banyak, tapi jangan sampai membuat rumor ini semakin besar. Kita harus melindungi reputasi hotel.”
“Aku mengerti,” Anastasia menjawab. “Aku bakal berhati-hati. Apa menurutmu kita perlu memanggil paranormal atau semacamnya?”
“Lakukan apa yang diperlukan. Kamu nggak harus meminta ijin ke aku juga, An. Kamu Manager utamanya, kamu berhak melakukan apapun.”
Anastasia tersenyum tipis, Adam memang benar. Kedudukannya jauh lebih tinggi dari Adam, tapi setidaknya ia harus meminta pendapat pada senior.
“Baiklah, ini sudah larut. Aku rasa kamu juga mau pulang dan aku harus kembali menyelesaikan beberapa pekerjaanku.”
Adam mengangguk singkat. “Ok, aku sebentar lagi pulang. Dan Anastasia ... aku menghargai permintaan maafmu.”
Anastasia tersenyum kecil. Dengan pikiran yang penuh, ia meninggalkan ruangan Adam, bertekad untuk menggali lebih jauh misteri yang menyelimuti hotel itu tanpa membuat situasi semakin buruk.
Setelah perbincangan yang cukup intens dengan Adam, Anastasia kembali ke ruangannya. Pikirannya penuh dengan informasi yang baru saja ia dapatkan. Ia tidak ingin hanya berdiam diri sementara rekan-rekannya terus-menerus diganggu oleh kejadian aneh.
Koridor menuju ruangannya tampak sepi. Lampu-lampu di langit-langit memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Anastasia melangkah dengan tenang, tapi sejurus kemudian, langkah kakinya tiba-tiba terhenti.
Dari sudut matanya, ia menangkap sosok seseorang berdiri di ujung koridor. Wanita itu mengenakan gaun putih panjang dengan desain yang tampak kuno, hampir seperti gaya busana dari abad ke-19. Rambutnya disanggul rapi, kulitnya tampak pucat, tak wajar.
Anastasia menelan ludah, terasa nafasnya tersangkut di tenggorokan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin tamu hotel yang kebetulan mengenakan kostum vintage.
“Permisi?” suara Anastasia terdengar gemetar saat ia mencoba memecah keheningan.
Sosok itu tidak bergerak apalagi menjawab. Ia hanya menatap Anastasia dengan tatapan kosong, dingin, dan menembus.
Ketika Anastasia mencoba melangkah maju untuk memastikan apa yang ia lihat, sosok tersebut tiba-tiba berbalik. Gaunnya melayang seolah tidak tersentuh gravitasi, dan ia berjalan perlahan ke arah tangga darurat.
“Hei nona, ada yang bisa saya bantu?” Anastasia mencoba bertanya lagi, meskipun rasa takut mulai menguasainya.
Tanpa menjawab, wanita itu menghilang di balik sudut tangga. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada bunyi pintu terbuka—hanya keheningan yang menelan sisa-sisa keberadaan sosok itu.
Anastasia berdiri terpaku, jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan di dadanya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengumpulkan keberaniannya untuk berjalan mendekati tangga. Saat ia mengintip ke arah tangga darurat, yang terlihat hanya ruang kosong. Tidak ada jejak wanita tadi.
Dengan nafas terengah-engah, Anastasia memutuskan untuk tidak mengejar lebih jauh. Tapi saat ia berbalik, sosok wanita misterius itu sudah berdiri di belakangnya dengan seringai mengerikan.
“Waar is hij ... Moordenaar!”
(Dimana dia .. pembunuh!)
Bersambung ..,