Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Suasana mendadak sunyi. Kata-kata Siera menggema di antara mereka, membuat waktu seolah berhenti sesaat. Tante Arumi dan Om Bima saling berpandangan, senyuman lega mulai menghiasi wajah mereka.
“Sie…” Tante Arumi memanggil pelan, matanya berkaca-kaca. Ada rasa haru yang terpancar dari tatapannya, seolah tidak percaya bahwa keputusannya bersama suaminya dan kedua orangtua Siera akan mendapatkan jawaban seperti ini. “Terima kasih, sayang. Tante tahu ini bukan hal yang mudah buat kamu.”
Om Bima mengangguk, ikut tersenyum lembut. “Kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua, Nak. Dan percayalah, kami akan selalu mendukung apa pun yang membuat kalian bahagia.”
Siera hanya tersenyum kecil sebagai jawaban, tapi di dalam hatinya ia tidak bisa memungkiri rasa gugup yang terus menggelitik. Pandangannya kemudian beralih ke Arka, yang masih berdiri diam di tempatnya.
Arka menatapnya lekat-lekat, seolah mencari kebenaran dalam setiap gerakan dan ekspresi Siera. Ada perasaan lega yang perlahan menyusup ke dalam dirinya, tapi juga rasa ragu yang tak bisa ia abaikan. Ia menghela napas panjang, mencoba menguasai emosi yang mulai membuncah di dalam dadanya.
“Terima kasih,” ucap Arka akhirnya, suaranya terdengar pelan namun penuh arti. Tatapannya tetap tertuju pada Siera, kali ini dengan sedikit senyum yang mulai mengembang. “Jawaban kamu ini sangat berarti buat aku.”
Siera hanya mengangguk pelan, tak berani menatap lama-lama ke arah Arka. Ia bisa merasakan tatapan pria itu yang begitu intens, seolah menyampaikan sesuatu yang tidak terucapkan.
Tante Arumi kemudian mendekati Siera, meraih tangan gadis itu dengan lembut. “Mulai sekarang, kamu adalah bagian dari keluarga kami, Sayang. Jangan ragu untuk menganggap kami seperti orang tuamu sendiri, ya.”
Siera mengangguk lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. “Terima kasih, Tante. Om.”
Om Bima tersenyum hangat. “Baiklah, kalau begitu, mari kita masuk, Ma. Jangan sampai penerbangan kita tertunda karena momen haru ini.”
Semua orang tertawa kecil mendengar komentar santai Om Bima, mencairkan ketegangan yang sempat terasa. Namun, di dalam hati mereka masing-masing, ada berbagai emosi yang masih mengendap, rasa haru, kebahagiaan, juga keraguan.
Saat berjalan menuju terminal keberangkatan, Arka mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan Siera. Dengan nada rendah, ia berbisik, “Kamu yakin dengan ini, Siera?”
Siera menoleh, melihat Arka dengan mata yang sedikit berkabut. “Gue yakin, Ka. Tapi... gue harap kita bisa melangkah pelan-pelan.”
Arka mengangguk, memahami apa yang dimaksud Siera. “Pelan-pelan nggak masalah. Yang penting, kita melangkah bersama.”
***
Selepas mengantar Mama dan Papa Arka, kini hanya ada Siera dan Arka duduk berdua di dalam mobil. Suasana terasa sunyi, hanya terdengar suara mesin mobil yang bergetar lembut. Siera menatap keluar jendela, pikirannya melayang-layang memikirkan percakapan tadi. Di sisi lain, Arka sesekali melirik Siera dari sudut matanya, mencoba menangkap apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Arka akhirnya membuka suara. “Sie, mau makan malam dulu nggak?”
Siera menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. “Lo belum makan, Ka?”
Arka mengangguk kecil sambil menyunggingkan senyum tipis. “Nggak sempat tadi.”
Siera mengernyit, cemas. “Lo sering banget gini ya, Ka? Melewatkan makan?”
Arka tertawa kecil. “Enggak sering, kok. Cuma kebetulan aja tadi buru-buru.”
Siera menghela napas pendek, tak sepenuhnya percaya. “Hmm... ya udah, boleh deh. Mau makan di mana?”
Arka menatapnya sejenak, lalu tersenyum penuh arti. “Ada satu tempat yang kayaknya cocok banget buat kita sekarang.”
Siera mengangkat alis, penasaran. “Maksudnya, tempat kayak apa?”
Arka menyalakan mesin mobil dan mulai melaju pelan. “Tunggu aja. Nanti kamu tahu sendiri.”
Selama perjalanan, keheningan kembali menyelimuti, tapi kali ini terasa lebih nyaman. Siera beberapa kali melirik ke arah Arka, memperhatikan bagaimana pria itu tampak begitu tenang, percaya diri, dan fokus. Ada sesuatu dalam caranya menyetir yang membuat Siera merasa lebih santai.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah restoran kecil dengan suasana yang hangat dan sederhana. Siera tersenyum tipis. “Jadi ini tempatnya?”
Arka mengangguk. “Ini tempat rekomendasi Jevian. Makanannya enak, suasananya nyaman. Kamu pasti suka.”
Mereka masuk ke dalam restoran. Aroma makanan yang lezat langsung menyambut mereka, membuat perut Siera yang tadinya tak terlalu lapar kini mulai berbunyi pelan. Arka menahan tawa kecil saat mendengarnya. “Kayaknya bukan cuma aku yang butuh makan malam.”
Siera mencubit lengan Arka dengan pelan, setengah malu. “Udah, pesan aja sana.”
Malam itu, mereka menikmati waktu bersama dengan obrolan ringan yang perlahan mencairkan kekakuan di antara mereka. Siera mulai merasa lebih nyaman, sementara Arka tampak puas melihat gadis itu mulai tersenyum lebih sering.
Di tengah obrolan, Arka menatap Siera dengan serius. “Aku tahu ini semua terasa cepat, tapi aku janji, aku bakal berusaha supaya kamu nggak nyesel sama keputusan tadi.”
Siera menatapnya, sedikit terkejut dengan nada serius itu. Namun, melihat ketulusan di mata Arka, ia hanya bisa tersenyum kecil dan mengangguk. “Kita lihat aja nanti, Ka. Tapi jangan janji apa-apa, ya. Takut kecewa lagi.”
Arka mengerti maksud Siera. Saat ini, wanita cantik itu belum sepenuhnya percaya padanya. Ia sadar harus berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan kepercayaan Siera kembali.
Saat mereka tengah menunggu pesanan, seorang pria tampan yang hendak keluar dari restoran itu tiba-tiba menyapa Siera.
“Loh, Siera. Makan di sini juga?” tanya pria yang ternyata adalah Rey.
“Eh, hi Rey. Iya, baru penan makanan, nih,” jawab Siera dengan santai.
“Oh…” ucap Rey singkat. “Kamu bareng siapa ke sini?” tanyanya basa-basi, sambil melirik ke arah Arka yang duduk di berhadapan dengan Siera.
“Oh iya, Rey. Kenalin, ini Arka,” ucap Siera dengan ramah. “Ka, ini Rey, sepupu Cindy.”
“Arka,” ujar Arka sambil mengulurkan tangan kepada Rey, tatapannya tajam dan jelas tidak bersahabat.
“Rey,” balas Rey singkat, menerima uluran tangan itu.
Arka dengan mudah menangkap maksud tersembunyi di balik sikap Rey. Sangat jelas bagi Arka bahwa pria di depannya ini memiliki ketertarikan pada Siera. Cara bicara Rey yang lembut dan tatapan matanya pada Siera menjadi petunjuk yang sulit diabaikan.
“Oh, jadi ini Arka,” ujar Rey sambil menatap Arka dari ujung kepala hingga ujung kaki. Nada bicaranya datar, tapi ada kesan menilai di baliknya.
Arka hanya mengangguk singkat. “Iya, gue Arka.”
Rey tampaknya menangkap sinyal dari Arka yang jelas tidak menginginkannya di sana lebih lama. Ia akhirnya mengangguk kecil. “Oh… Kalau gitu gue duluan, Sie. Kapan-kapan mampir ke Coffeshop lagi, yah.”
Sebelum pergi, Rey melontarkan kalimat terakhir sdikit berbisik ke Arka. “Jaga Siera baik-baik, ya. Dia itu istimewa.” Kata-kata itu terdengar tulus, tapi senyumnya jelas menyiratkan sesuatu yang lain.
Arka hanya menatap punggung Rey yang semakin menjauh, namun rahangnya terlihat mengeras. Ada sesuatu tentang Rey yang mengganggunya, dan ia tahu, ini baru permulaan.
walah sipa yah...