Cantik dan kaya, dua hal yang tidak dimiliki oleh Anjani. Hal ini membuatnya diperlakukan secara tidak adil oleh suami dan keluarganya. Dihina, diselingkuhi dan diperlakukan dengan kasar, membuat Anjani akhirnya menyerah.
Keputusan bercerai pun di ambil. Sayangnya, sesuatu hal buruk terjadi pada wanita itu dan membawanya bertemu dengan seorang Kelvin Stewart yang merubah hidupnya.
Keinginannya saat ini hanya satu, yaitu membalaskan dendamnya pada Andrew Johanson Sanjaya, mantan suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obat pelangsing
Menahan diri itu sulit, tetapi terdiam dan bersembunyi seperti pengecut pun bukan pilihan yang bisa di ambil oleh Anjani. Karena itu, wanita berpenampilan sederhana layaknya ibu rumah tangga ini turun, untuk menemui ibu mertua dan suami serta tamunya. Ia harus melayani keluarganya yang akan malam. Mengesampingkan egonya dengan menaruh piring di hadapan anggota keluarganya. Mengisinya dengan nasi dan mendekatkan lauk yang sudah ia masak seharian. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh Anjani sebagai menantu di keluarga Sanjaya.
“Kamu mau makan sama pake apa Cheryl? Tante masak sapo tahu kesukaan kamu, cobalah.” Cheryl menjadi perhatian penting bagi Widi. Seorang Anjani yang bertubuh besar di hadapannya, ia hiraukan keberadaannya.
“Iya Tante, Cheryl mau sapo tahunya,” timpal gadis berkulit putih itu.
“Ambilin dong, ngapain kamu diem aja?” Suara Widi meninggi, setengah membentak Anjani karena di anggap tidak sigap. Padahal jarak piring berisi sapo tahu tidak lah jauh dari Cheryl, malah lebih dekat di banding dari Anjani.
“Iya, Mah.” Anjani beranjak dari tempat duduknya, tetapi tiba-tiba tangan Andrew menahannya.
“Biar aku aja,” ucapnya dingin. Ia mengambilkan piring beiris sapo tahu untuk Cheryl dan menaruhnya di atas piring gadis itu. Anjani hanya tersenyum kelu lalu duduk kembali.
“Makasih Kak Andrew, udah cukup segitu aja.” Suara Cheryl memang sangat menggemaskan bagi Widi dan Andrew tetapi untuk Anjani sangat mengganggu. Dari cara bicaranya saja gadis itu terang-terangan sedang berusaha bermanja dengan suaminya. Telinganya sakit mendengar suara wanita itu.
“Makan yang banyak.” Dan Andrew tidak keberatan. Mereka berdua makan dengan lahap sementara Anjani masih memandangi menu yang tersaji di depan matanya. Seperti ada kabut yang menghalangi pandangannya dan nyaris turun hujan di kedua pipinya. Wanita itu menghela napasnya dalam untuk menenangkan dirinya sendiri, seperti biasa dia tidak boleh berreaksi berlebih atau hatinya akan semakin lelah menjalani hari yang sudah terasa berat setiap harinya.
Setelah merasa tenang, Anjani mengambil sedikit nasi dan lauknya. Tidak banyak yang ia makan karena perutnya sudah merasa kenyang setelah seharian mencium bau masakan.
“Tan, minggu ini aku ada fashion show, Tante sama Kak Andrew bisa datang kan?” Cheryl membuka obrolan.
“Dimana?” Widi terlihat antusias.
“Di salah satu hotel bintang lima. Nanti Cheryl kirim invitationnya* ke tante sama Kak Andrew. Pastikan hadir yaa\, biar Cheryl semangat. Kalau baju yang Cheryl peragain banyak yang beli\, ada kemungkinan Cheryl akan jadi BA designer** itu.” Alunan kalimat Cheryl terdengar manis untuk di dengar. Sayangnya kalimat itu hanya di tujukan untuk Widi dan Andrew. Anjani bukan bagian dari circle* model yang sedang naik daun ini.
“Ya, Tante sama Andrew pasti hadir dong buat nyemangatin kamu. Iya kan, Drew?” pertanyaan Widi membuat Anjani ikut melirik, menunggu jawaban suaminya.
“Aku usahakan kalau tidak ada kesibukan.” Andrew menjawab dengan diplomatis. Dia bilang akan diusahakan kalau tidak ada kesibukan. Apa Anjani buat suaminya sibuk saja supaya tidak bisa datang?
Hah, seketika pikiran jahat dari wanita yang sedang cemburu merasuki pikiran dan hati Anjani. Tiga orang ini benar-benar menganggap Anjani tidak ada di antara mereka. Bebas bercengkrama hangat di depan wanita yang dengan sadar mereka sakiti.
“Badan segede gini aja aku gak keliatan, apalagi kalau aku kurus....” Sempat-sempatnya Anjani mengupahi dirinya sendiri dengan kalimat itu. Hal itu membuat Anjani sedikit tersenyum, tersenyum kelu menertawakan penderitaannya selama satu tahun menikah bersama Andrew.
“Aku pulang,” sebuah suara mengusik pikiran Anjani. Suara itu adalah milik sang adik ipar, Carissa. Seperti biasa, mahasiswi semester empat ini baru pulang kuliah. Wajahnya tampak lelah dan langkahnya terlihat malas.
“Cuci tangan, kita makan sama-sama.” Widi yang menyabut putri bungsunya.
“Aku gak laper. Mba, bikinin aku minuman hangat kayak waktu itu ya, badanku gak enak.” Gadis itu menepuk bahu Anjani seraya berlalu pergi menuju kamarnya. Kamarnya ada di lantai satu, berdekatan dengan kamar Widi.
“Iya,” Anjani segera beranjak hendak membuatkan minuman untuk adik iparnya. Ia sudah sangat biasa di perintah oleh adik iparnya ini.
Tiga orang di meja makan itu tetap melanjutkan makan malamnya. Sesekali Cheryl tersenyum sinis melihat gadis desa yang lebih cocok menjadi pelayan di rumah ini di banding seorang menantu. “Aku pengen ngajak kak Jani juga, tapi aku gak yakin kalau ada baju yang muat buat dia. Sorry ya Kak,” Cheryl menunjukkan wajah penuh sesalnya pada Andrew.
“Gak usah, dia juga gak akan mau ikut.” Andrew hanya melirik wanita itu dari kejauhan. Yang mereka bicarakan mendengar sedikit perbincangan dua orang itu, lantas hanya tersenyum getir. Ia cukup sadar diri dengan kondisi tubuhnya yang jauh dari kata ideal, tetapi ucapan Andrew membuat lukanya semakin sakit. Ia sengaja tidak berbalik, tidak ingin memperlihatkan wajah sedihnya pada orang-orang itu. Bukankah mereka akan merasa puas saat melihat Anjani tersakiti?
Setelah membuatkan minuman, Anjani menuju kamar Carissa. Ia mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat.
“Masuk, Mba.” Suara Carissa terdengar serak. Sepertinya gadis itu memang tidak enak badan karena sedari tadi terus menerus membuang ingusnya dan tissue sudah berserakan di lantai.
“Ini minumannya ya. Kalau mau makan, Mba udah bikinin sup, tinggal di angetin aja,” ucap Anjani. Ia menyentuh dahi Carissa dan memang teraba hambar.
“Aku baik-baik aja.” Gadis itu menyingkirkan tangan Anjani yang berada di dahinya lalu mengambil gelas minuman yang sudah dibuatkan oleh Anjani. Ia menghirup hangatnya wangi jahe yang melegakan tenggorokannya.
“Istirahat ya, jangan lupa minum obat,” pesan Anjani.
“Hem, makasih.” Walaupun acuh, gadis ini masih tahu berterima kasih. Mungkin hanya gadis ini yang membuat Anjani merasa di anggap di rumah ini.
Anjani segera kembali ke meja makan. Orang-orang sudah selesai makan dan menyisakan piring yang kotor. Mereka sudah berpindah ke ruang keluarga. Anjani melihat kalau ketiga orang itu asyik berbincang. Sesekali Cheryl mencandai suaminya dan membuat suaminya tersenyum kecil, senyum yang jarang sekali tertuju untuknya. Gadis itu bahkan tidak ragu untuk bersandar di bahu Andrew dan suaminya membiarkannya begitu saja.
Selera makan Anjani mendadak hilang. Ia memilih membereskan piring dan gelas yang kotor. Rasanya ia ingin segera masuk ke kamarnya dan menenangkan dirinya di dalam sana. Sambil membereskan piring bekas pakai dan mengelap meja makan, ia kemudian berpikir, kapan penderitaannya akan berakhir? Apa ia begitu tidak menarik hingga suaminya lebih suka mencandai gadis lain secara terang-terangan di hadapannya? Bukankah dulu ia kembang desa?
“Kak Jani, sini deh.” Tiba-tiba saja Cheryl memanggilnya. Apa lagi maunya gadis ini?
“Ya,” Anjani masih berusaha tersenyum pada gadis itu. Ia menghampiri Cheryl, namun rasanya sungkan untuk duduk bersama mereka.
“Nih, aku punya obat diet. Cobain deh. Temenku turun enam kilo dalam seminggu.” Gadis itu menyodorkan obat dalam sebuah botol plastik berwarna putih. Anjani ragu untuk menerimanya, ia tidak mau sembarangan minum obat.
“Ngapain kamu diem aja? Kamu mau badan kamu tetep segede arca borobudur?” Adalah Widi yang berujar dengan sinis, sementara Andrew hanya meliriknya.
“Oh iya, terima kasih ya.” Akhirnya Anjani menerima obat itu.
“Sama-sama. Minumnya sebelum tidur. Di jamin paten.” Gadis itu terlihat begitu semangat.
“Iya, nanti aku coba. Aku permisi dulu.” Anjani memilih pergi setelah menerima obat itu. Tidak ada yang menimpalinya, karena ia hanya di anggap angin lalu. Ia bergegas pergi menuju kamarnya. Dari anak tangga kedua ia menoleh suaminya dan laki-laki itu kembali tersenyum saat Cheryl mencandainya. Cheryl bahkan menyentuh pipi suaminya dan Andrew membiarkannya begitu saja. Andrew sempat melirik Anjani dan Anjani segera memalingkan wajahnya. Hatinya selalu sakit setiap kali melihat wajah tanpa bersalah milik suaminya. Ia merasa tempatnya bukan di sini, kalau pun harus bicara dengan suaminya, ini bukan waktu yang tepat.
Di dalam kamarnya Anjani memandangi dirinya di cermin. Dia baru selesai mandi dan sedang menyisir rambutnya. Dipandanginya botol obat yang ia taruh di meja riasnya. Dia juga memperhatikan badannya yang memang sangat gemuk.
Bobot tubuhnya sekarang sekitar 108 kg, masuk ke dalam ketegori obesitas. Dulu tubuh Anjani tidak sebesar ini, berat badannya hanya sampai 52 kg. Tetapi sejak kakek mertuanya menyuruhnya untuk ikut program hamil, berat badan Anjani bertambah pesat. Lima bulan lalu, ia sempat merasakan memiliki janin. Di rahimnya tumbuh calon bayi yang menjadi kesayangan kakek mertuanya. Tetapi, Anjani harus kehilangan bayi itu saat berusia 5 minggu, ia terjatuh di tangga hingga keguguran.
Bukan hanya Anjani yang merasa terpukul, melainkan juga kakek mertuanya. Setelah kehilangan bayi itu, kakek mertua Anjani sakit-sakitan hingga meninggal dunia berselang satu bulan setelah ia keguguran. Sejak saat itu semua orang di rumah ini menganggap Anjani tidak pernah ada. Ia kehilangan satu-satunya pelindung. Kadang Anjani masih merasa sangat sedih atas kepergian calon bayinya, tetapi ia percaya kalau ini takdir terbaik yang harus ia jalani.
“Keadilan dunia ini hanya milik di cantik dan langsing. Apa mungkin aku harus seperti itu dulu agar sikap suamiku berubah?” Anjani bertanya pada botol obat yang ada di tangannya. Ia setengah putus asa menghadapi semuanya. Akhirnya ia memutuskan untuk meminum satu butir obat itu. Berharap ada nasib baik setelah tubuhnya tidak segemuk sekarang.
Satu butir obat itu telah Anjani telan. Perlahan ia merasakan kantuk yang luar biasa. Baru jam delapan malam, tetapi ia sudah menguap beberapa kali. Anjani membaringkan tubuhnya di atas kasur. Matanya sudah sangat berat untuk di ajak terbuka. Tidak dalam hitungan menit, dalam hitungan detik saja ia sudah terlelap. Kepalanya sangat berat. Apa efek obat pelangsing memang seperti ini?
****
ingat di ujung cambuk kehidupan ada emas berlian intan menanti mu✌️