Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 7
"Cari ke kampung itu. Mungkin saja kita menemukan petunjuk," kata Evander. Mereka masuk ke wilayah itu dan kebetulan bertemu dengan pemuda bertubuh kurus di tepi jembatan.
Pemuda itu agak sedikit takut karena sosok serta penampilan dari Evander dan anak buahnya yang perlente tapi nampak kejam.
"Hei kau! Sini!" panggil Evander.
"Eh, iya, Pak. Ada apa ya?" tanya pemuda dengan pakaian sederhana itu. Panggil saja Isman. Dalam pikirannya, Evander dan anak buahnya adalah seorang DC atau dept kolektor yang sedang menagih hutang.
"Saya sedang mencari pengedar barang haram. Saya curiga jika pelakunya kabur dan bersembunyi di kampung ini," jelas Evander mengaburkan hal yang sebenarnya.
"Wah, jadi mereka ini Intel," batin Isman. Dengan ekspresi kaget yang nampak di wajahnya.
"Oh begitu, Pak. Serem juga ya, kalau sampai ada pengedar barang haram yang masuk kampung ini. Kredibilitas saya sebagai anak karang taruna bisa jatuh nih," ucap Isman.
Evander mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan pemuda di hadapannya.
"Kalau boleh saya tau, bagaimana ciri-cirinya orang itu. Dia laki-laki atau perempuan?" cecar Isman.
Tentu saja hal tersebut menjadi sebuah pencerahan bagi, Evander. Ia sudah muak blusukan begini demi menyelesaikan urusan ayahnya. Evander tidak suka perkelahian yang mungkin akan membahayakan nyawanya.
"Dia laki-laki dewasa. Posturnya tinggi besar. Wajahnya kebarat-baratan dengan rambut hitam sebahu," jelas Evander.
Isman langsung mengerutkan keningnya tanda berpikir. Mencocokkan data yang barusan di sebutkan oleh pria di hadapannya ini.
"Gak mungkin ah. Masa temen kumpul kebonya, Arumi pengedar? Tapi kalau itu semua benar, wah mantab lah. Biar sekalian di usir saja mereka dari kampung ini. Dasar perempuan sok suci, cuih!" batin Isman.
"Hei! Kau tau tidak!" tegur Evander dengan suara baritonnya.
"Eh, i–iya, Pak, eh Bang. Kayaknya sih saya pernah lihat yang ciri-cirinya seperti tadi anda sebutkan. Tetapi saya tidak dapat memastikan kalau orang itu adalah yang kalian cari,"jawab Isman takut-takut.
"Dimana? Cepat antar saya kesana!" hardik Evander.
"Boleh, Pak. Tetapi, saya mau solat maghrib dulu ke musholla. Kebetulan, sudah adzan tuh," jelas Isman. Disahuti oleh gema suara panggilan solat untuk umat muslim itu.
"Baiklah. Kami akan ikut dan menunggu di sana," ucap Evander, meskipun sedikit tak mengerti apa yang di maksud oleh Isman.
Mereka semua, Evander dan anak buahnya mengikuti Isman yang ternyata mau ke musholla.
Kebetulan, di saat yang sama Mustafa juga mengajak, Max ke musholla untuk solat. Pria berwajah tampan kebulean itu masih mengenakan baju kemeja jadul milik mendiang ayah Arumi dan juga kain sarung lusuh milik Mustafa yang lusuh.
"Sampai kapan aku pakai baju begini? Percuma saja mandi sampai bersih kalau pakaiannya saja bau," batin Max, menggerutu. Ia menyesali keadaannya yang belum bisa bergerak bebas. Setengah mati mengakali ponselnya dengan alat charger yang ada tapi tidak ada yang pas dengan ponsel mahal miliknya itu.
Baru setengah jalan, dari rumah Arumi. Max, menangkap siluet penampakan dari Evander dan anak buahnya dari kejauhan.
"Oh, shit! Mereka ada di sini," umpat Max dan langsung balik badan.
"Kenapa, Nak? Ayo, nanti keburu Iqamah," ajak Mustafa seraya menarik lengan, Max.
"Sa–saya solat sama Arumi saja ya di rumah. Kasian kan dia sendirian," kata, Max beralasan.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau kamu memilih menjadi imam solatnya Arumi. Pakde malahan senang," kata Mustafa tersenyum. Max pun langsung berjalan cepat. Bahkan kini setengah berlari. Max memegangi bahunya yang kembali terasa nyeri. Untung saja, ia membawa obat paten yang cukup untuk beberapa hari. Ya,mafia harus selalu membawa obat hasil racikan mereka. Sebagai pertolongan pertama apabila terluka.
Evander dan anak buahnya itu tidak masuk ke dalam tempat ibadah tersebut, mereka semua menunggu di pelataran masjid saja.
"Maaf. Kalian semua mau menunggu di sini atau mau sekalian masuk ke--"
Evander mengangkat tangannya sebagai jawaban sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya.
"Oh. Maaf deh, kirain--" Isman menggaruk kepalanya dan berlalu meninggalkan orang-orang asing ini di depan musholla.
Evander sudah muak karena harus menunggu selama hampir setengah jam. Ternyata, Isman tengah berkompromi dengan pak RT dan juga sebagian warga. Terbukti, yang kini menghampiri Evander ada beberapa orang.
"Mari, kita ke rumah saya," ajak pak RT. Evander berdecak menahan geram. Memusingkan sekali pikirnya. Mencari seorang saja sungguh memakan waktunya.
Hingga malam, Evander dan para anak buahnya terus diinterogasi oleh pak RT. Mafia model apa mereka ini. Pak RT justru curiga jika Evander dan anak buahnya adalah komplotan pengedar itu juga.
Sebagai aparat dirinya tidak akan gegabah membiarkan orang asing berbuat kegaduhan di kampungnya. Karena itulah, aparat RT tersebut berinisiatif mencari tau dulu siapa mereka ini sebenarnya.
Evander yang sudah lelah dan bosan memilih untuk menyerah dan pergi. Tentu dengan rencana yang ia susun untuk hari berikutnya.
"Kenapa mereka di biarkan pergi Pak RT? Kan ciri-ciri yang di sebutkan mirip dengan suaminya Arumi?" cecar Isman. Pemuda yang memergoki Max saat itu. Pemuda pengangguran yang lamarannya di tolak oleh Arumi.
Bukan karena pemuda itu tidak tampan dan pengangguran sehingga Arumi menolaknya. Akan tetapi, karena pemuda itu sama sekali tidak ada niat untuk bekerja dan memilih menikmati harta dari kedua orang tuanya saja.
Di rumah, Arumi sedang bersiap untuk solat namun pintu kamarnya tiba-tiba di buka dengan kasar.
Brakk!
"Astagfirullah!" kaget Arumi seraya berbalik. Ia pun semakin kaget ketika melihat siapa yang telah membuka pintu kamarnya dengan tidak sopan begitu.
"Ng–ngapain kamu balik lagi!" panik Arumi yang langsung mencari atasan mukena untuk menutupi bagian atas kepala serta wajahnya. Sementara itu, pria di hadapannya justru mematung kaku dengan kedua mata terbelalak.
"Kamu, Arumi?" tanya Max dengan ekspresi seperti orang bodoh.
"Bukan. Aku kuntilanak penunggu rumah ini," sahut Arumi asal.
"Hah!" Max semakin terkejut. Sebenarnya dia masih tidak percaya kalau wanita cantik luar biasa di hadapannya ini adalah si gadis ninja yang ia nikahi dadakan.
"Aku mau solat. Kalau kamu masih mau melongo silakan," kata Arumi yang kini sudah rapi dengan mukenanya. Tak ada jawaban dari Max. Arumi meneruskan ibadah wajibnya itu dengan perasaan yang tidak karuan. Hingga, wanita muslimah ini mengucapkan istighfar berkali-kali demi mendapatkan ketenangan.
Max, memilih duduk di pinggir kasur dan memperhatikan setiap gerakan solat yang Arumi lakukan. Tapi, bukan itu yang sebenarnya ia pikirkan.
"Gila. Ku pikir dia menutup wajahnya karena berwajah jelek atau cacat. Tapi ternyata--" Max tidak meneruskan apa yang terucap di dalam hatinya. Meskipun ia sama sekali tak habis pikir. Kenapa Arumi melakukan itu semua. Untuk apa? Apakah dia ini seorang agen rahasia yang tidak boleh di ketahui identitasnya? Ah, Max malah semakin mumet dengan jalan pikirannya sendiri. Hingga tanpa ia sadari, Arumi sudah selesai dengan kegiatannya dan kini berdiri di hadapannya.
"Silakan. Kamu bisa gantian pakai sajadahnya," kata Arumi, seraya menundukkan wajahnya. Ia tak memiliki keberanian untuk menatap, Max apalagi mata kebiruan pria itu begitu menyihirnya. Walaupun Arumi sadar jika ia sah saja dan halal untuk menatap suaminya sendiri.
"A–apa? So–solat?" Max bertanya dengan tergagap. Ia masih syok dengan kenyataan yang di saksikannya saat ini. Bayangannya wajah Arumi itu buruk rupa.
Mendengar pertanyaan dari Max barusan, sontak membuat Arumi mendongak. "Kamu kan belum bisa solat. Kenapa malah pulang kerumah? Sedangkan, kalau di Mushola kan kamu bisa mengikuti gerakan imam?" cecar Arumi heran.
Max, menelan ludahnya susah. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Wajah tanpa cela dihadapannya ini membuat lidahnya kaku.