Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Banjir di Kelas
Pagi yang Tenang Menjadi Awal Kekacauan
Pagi itu, cuaca cerah dengan langit biru tanpa awan, dan suasana di SD Harapan Jaya tampak tenang. Kelas 5B, tempat Tomo dan teman-temannya belajar, terasa seperti hari-hari biasa. Anak-anak sibuk dengan buku pelajaran, sementara Pak Budi, guru kelas mereka, berdiri di depan papan tulis, menerangkan tentang matematika. Namun, di balik ketenangan itu, tidak ada yang tahu bahwa bencana kecil akan segera datang.
"Jadi, anak-anak, siapa yang bisa menjawab soal di papan ini?" tanya Pak Budi sambil menunjuk angka-angka rumit di papan tulis. "Siapa yang tahu berapa hasil dari 345 dikali 12?"
Tomo yang duduk di deretan tengah, setengah mendengarkan, setengah melamun. Sari dan Arif, yang duduk di sebelahnya, saling menatap, mencoba menghindari tatapan Pak Budi agar tidak dipanggil untuk menjawab.
Tiba-tiba, terdengar suara aneh dari pojok kelas, suara gemericik air yang perlahan semakin keras.
"Eh? Apa itu?" tanya Sari sambil mengernyitkan dahi, memandang ke arah suara.
Arif juga menoleh ke belakang, mencari sumber kebisingan itu. "Kayaknya suara air, deh. Tapi dari mana?"
Pak Budi yang menyadari ada keanehan di kelas, berhenti menulis dan ikut menoleh. "Ada apa, ya?"
Tanpa peringatan, suara itu berubah menjadi dentuman keras—*boom!*—dan dari bawah lantai kelas, tepat di dekat pojok ruangan, air mulai menyembur ke segala arah.
"ASTAGA!" teriak Tomo sambil melompat dari kursinya. "Ada air keluar dari bawah lantai!"
Dalam hitungan detik, lantai kelas yang tadinya kering kini mulai terendam air yang keluar dengan deras. Airnya terus mengalir seperti sungai kecil yang tiba-tiba terbentuk di tengah kelas.
Pak Budi yang kebingungan, langsung berteriak, "Semua anak-anak, keluar dari kelas! Sekarang juga!"
Namun, alih-alih panik, anak-anak di kelas mulai tertawa dan berteriak kegirangan. "Wah, kayak kolam renang!" seru salah satu anak.
Arif berdiri di kursinya, melihat genangan air yang semakin dalam dengan mata berbinar. "Kelas kita banjir! Kelas kita banjir!"
Sari yang awalnya panik, mulai tertawa juga. "Ini gila! Kenapa kita malah senang?"
Tomo, yang paling cepat berpikir, segera melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk bersenang-senang. "Hei, tunggu sebentar!" serunya. "Kita bisa jadikan ini lomba dayung!"
Arif menatap Tomo dengan bingung. "Lomba dayung? Kamu serius?"
Tomo tersenyum lebar, matanya berkilat penuh kegembiraan. "Kenapa nggak? Kita punya air, kita punya meja dan kursi. Ini saatnya bikin rakit!"
Misi Membuat Rakit
Dengan penuh semangat, Tomo mulai menarik meja-meja di tengah genangan air, sementara Arif dan Sari masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
"Arif, Sari, bantu aku! Kita bikin rakit dari meja-meja ini," kata Tomo sambil mendorong sebuah meja ke tengah ruangan yang airnya sudah mencapai betis.
Arif tertawa sambil mengangkat celana seragamnya agar tidak basah. "Ini gila, Tomo! Tapi aku suka idenya!"
Sari, meskipun sedikit ragu, akhirnya ikut tertawa dan membantu. "Baiklah, kita ikuti kegilaan ini. Tapi kalau kita kena marah, ini salahmu, Tomo."
Pak Budi, yang masih mencoba menghubungi tukang ledeng sekolah untuk memperbaiki pipa yang bocor, tidak menyadari bahwa anak-anak di kelasnya sedang merencanakan lomba rakit dadakan. Tomo dan teman-temannya mulai mengatur meja dan kursi di tengah genangan air, membentuk rakit yang kokoh.
"Ayo, ayo! Kita perlu lebih banyak kursi biar rakitnya kuat!" seru Tomo sambil menarik dua kursi lagi dan menggabungkannya dengan meja.
Arif yang memegang kaki meja sambil tertawa-tawa berkata, "Ini kayak bikin kapal Titanic versi mini!"
Sari, yang mulai terbawa suasana, menambahkan, "Kita butuh dayung! Apa kita punya sesuatu yang bisa dijadikan dayung?"
Tomo yang tidak pernah kehabisan akal, melihat ke sekeliling dan menemukan penggaris kayu besar yang biasa dipakai untuk pelajaran matematika. "Ini dia!" serunya penuh semangat. "Kita pakai penggaris kayu ini buat dayung."
Arif menepuk bahu Tomo. "Kamu jenius, Tomo. Sekarang kita bisa dayung ke mana pun kita mau."
Sementara itu, anak-anak lain di kelas yang melihat aksi Tomo, Arif, dan Sari mulai terinspirasi. Mereka juga ikut mengumpulkan meja dan kursi untuk membuat rakit mereka sendiri.
"Heh, kami juga mau ikutan!" teriak salah satu anak dari barisan belakang.
"Kita bikin rakit yang lebih besar dari Tomo!" seru yang lain sambil berusaha menyaingi rakit buatan Tomo.
Lomba Dayung Dimulai
Kini kelas 5B telah berubah menjadi arena lomba rakit. Setiap kelompok anak berusaha membuat rakit yang paling kuat dan stabil. Air yang sudah mencapai lutut membuat ruangan benar-benar terlihat seperti sungai kecil.
Tomo, Arif, dan Sari menaiki rakit mereka yang terbuat dari tiga meja dan empat kursi. Dengan penggaris kayu di tangan, mereka siap memulai lomba.
"Siap, teman-teman?" tanya Tomo dengan senyum penuh percaya diri. "Kita akan jadi tim rakit tercepat di kelas ini!"
Arif yang memegang salah satu kursi sebagai pegangan hanya bisa tertawa. "Siap, kapten! Ayo mulai!"
Sari, meskipun masih sedikit ragu, ikut memegang meja dengan erat. "Oke, Tomo. Pastikan kita nggak jatuh, ya!"
Dengan aba-aba dari Tomo, mereka mulai menggerakkan rakit mereka di atas genangan air, menggunakan penggaris kayu sebagai dayung. Arif dan Sari tertawa terbahak-bahak saat rakit mereka mulai bergerak perlahan-lahan, meskipun sering kali berputar-putar tanpa arah.
"Ayo, lebih cepat!" seru Tomo sambil mengayunkan penggaris kayunya dengan semangat. "Kita harus menang!"
Sementara itu, kelompok lain juga tidak mau kalah. Beberapa anak berusaha membuat rakit yang lebih stabil, sementara yang lain lebih memilih bersenang-senang dengan cara mengayunkan air ke arah tim lain.
"Heh, Tomo! Lihat ini!" teriak salah satu anak, sebelum dengan sengaja mencipratkan air ke arah rakit Tomo.
Tomo tertawa sambil berusaha menutupi wajahnya dari cipratan air. "Hei! Curang! Ini bukan perang air!"
Sari yang terkena cipratan air juga tertawa meski setengah terkejut. "Ya ampun, kita kayak lagi perang di sungai!"
Arif yang hampir terjatuh dari rakit karena tertawa, berusaha menjaga keseimbangan. "Tomo, kita harus lebih cepat! Mereka bisa menenggelamkan kita dengan air!"
Kekacauan Semakin Hebat
Tidak butuh waktu lama sebelum suasana di kelas berubah menjadi benar-benar kacau. Genangan air semakin tinggi, dan anak-anak semakin asyik bermain. Beberapa di antaranya mulai melempar air satu sama lain, sementara rakit-rakit yang mereka buat mulai rusak karena terlalu banyak gerakan.
"Tomo, rakit kita hampir tenggelam!" teriak Sari dengan suara panik, meskipun dia tidak bisa menahan tawanya.
Tomo yang masih sibuk mendayung dengan penggaris kayu, mencoba menenangkan timnya. "Tenang, tenang! Kita bisa selamat kalau kita tetap mendayung ke depan!"
Namun, tepat saat Tomo mengayunkan penggarisnya dengan keras, rakit mereka kehilangan keseimbangan dan terbalik. Mereka bertiga jatuh ke dalam genangan air yang sudah mencapai pinggang.
"Ahhhh!" teriak Arif saat dia terjatuh ke air dengan cipratan besar.
Tomo bangkit sambil tertawa terbahak-bahak, meskipun basah kuyup. "Ini seru banget! Kita harus buat rakit baru!"
Sari mengelap wajahnya dari air sambil tertawa. "Tomo, ini benar-benar ide paling gila yang pernah kamu punya. Tapi aku suka!"
Mereka bertiga berdiri di tengah genangan air, basah dan kedinginan, tapi dengan senyum lebar di wajah mereka. Di sekitar mereka, anak-anak lain juga basah kuyup, tertawa dan bercanda setelah "pertempuran air" dadakan yang tak terencana ini.
Kedatangan Kepala Sekolah
Namun, di tengah keseruan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berat dari koridor. Suara itu semakin mendekat, dan semua anak di kelas tiba-tiba berhenti tertawa. Mereka menoleh ke pintu dengan wajah pucat. Di sana, berdiri Bu Dewi, kepala sekolah, dengan wajah yang penuh ketegasan.
"Apa yang sedang terjadi di sini?" tanya Bu Dewi dengan nada dingin, tatapannya menyapu seluruh ruangan yang kini penuh dengan genangan air dan anak-anak yang basah kuyup.
Tomo, yang masih berdiri di tengah kelas dengan penggaris kayu di tangannya, menelan ludah. "Eh... Bu Dewi... ini... kecelakaan, bu."
Bu Dewi memandang Tomo dengan tajam. "Kecelakaan? Yang aku lihat, kalian malah bersenang-senang di tengah banjir ini."
Arif mencoba membantu menjelaskan. "Eh, Bu, pipa airnya meledak, jadi... ya, kami pikir... kami bisa sedikit bersenang-senang."
Sari menunduk malu, tapi tidak bisa menahan senyum kecil di wajahnya.
Bu Dewi mendesah panjang sambil menggelengkan kepala. "Kalian semua, segera keluar dari kelas ini dan biarkan petugas memperbaiki pipa air. Dan Tomo, kamu bertanggung jawab untuk menjelaskan semuanya kepada Pak Budi."
Tomo tersenyum canggung, masih memegang penggaris kayu. "Iya, Bu. Akan kami lakukan."
Hari yang Tak Terlupakan
Setelah keluar dari kelas yang tergenang air, Tomo, Arif, dan Sari berjalan menuju lapangan dengan pakaian basah kuyup dan tawa yang tak bisa mereka tahan. Meskipun mereka tahu bahwa mereka mungkin akan mendapat hukuman, hari itu tetap menjadi salah satu hari paling menyenangkan dalam hidup mereka.
"Ini hari yang gila," kata Sari sambil tersenyum lebar.
"Dan seru," tambah Arif.
Tomo yang berjalan di depan, dengan semangat yang tak pernah padam, menoleh ke mereka dan berkata, "Kita berhasil bikin lomba dayung di kelas. Siapa lagi yang bisa bilang begitu?"
Mereka semua tertawa lagi, berjalan bersama di bawah sinar matahari sore yang hangat. Meski hari itu berakhir dengan kekacauan, mereka tahu bahwa ini akan menjadi cerita yang mereka kenang selama bertahun-tahun.