NovelToon NovelToon
Melukis Cinta Bukan Mengukir Benci

Melukis Cinta Bukan Mengukir Benci

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rieyukha

Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MEMBANGKITKAN GAIRAH

Marsha membuka pintu kamar mandi, kepalanya melongok keluar mencari Alan yang ternyata sudah tidur di atas kasur membelakangi kamar mandi. Dengan mengendap-endap Marsha mengambil bajunya yang tertinggal diujung kasur dan dengan cepat berjalan masuk ke walk in closet yang posisinya berada di belakang ranjang, seberang depan dari kamar mandi yang butuh tiga empat langkah besar wanita untuk sampai disana.

Tadinya ia bermaksud untuk berpakaian didalam kamar mandi seperti biasanya kalau ada Alan dikamar, tapi karena dada bidang Alan membuat ia lupa membawa bajunya kedalam, bahkan handuk saja setelah masuk baru ingat.

'Jauh banget sih dari kamar mandi' umpat Marsha dalam hati.

Alan yang sebenarnya belum tertidur bergeming diatas kasur, ia memang membelakangi kamar mandi, tapi jauh didepannya terdapat meja rias yang memantulkan posisi kamar mandi.

'Kenapa meja rias disana sih?' ia juga mengumpat, kini dibenaknya memutar bayangan Marsha yang hanya memakai bathrobe dengan bebas menampakkan hampir sebagian bawah tubuhnya, persekian detik paha mulus dan kaki jenjang itu berhasil membuat gairah Alan bangkit. Ia meraup mukanya kasar, frustrasi menahan diri.

Kok bisa? Awalnya ia sama sekali tidak pernah tertarik dengan Marsha, tapi hanya melihat beberapa detik saja ia sudah dibuat uring-uringan seperti ini. Alan pun menenggelamkan seluruh badannya dalam selimut, mencoba menormalkan otak dan hasratnya.

Marsha kembali dari walk in closet. Ia memakai piyama tertutup, celana panjang dan lengan panjang seperti biasanya. Semenjak menikah Marsha tidak pernah memakai pakaian yang akan menggoda hasrat pria yang telah menjadi suaminya sekarang. Ia cukup tahu soal itu.

Kini Marsha duduk dipinggir kasur dengan ragu. Ini kali pertamanya mereka berbagi ranjang sebagai suami istri, dengan perlahan Marsha merebahkan tubuhnya diatas kasur, mengambil posisi teraman dipinggiran kasur, tak lupa ia letakkan dua guling sekaligus ditengah kasur sebagai pembatas dan juga pelindungnya. Marsha pun mencoba mulai tidur dengan posisi membelakangi Alan, ia benar-benar lelah hari ini seharian membantu Sania dan ART menata rumah barunya. Tidak butuh waktu lama ia pun tertidur dengan posisi tangan terkatup dibawah pipinya.

Hampir satu jam lamanya Alan memastikan Marsha benar-benar tertidur, ia berbalik dan melihat istrinya meringkuk tanpa selimut. Alan pun dengan pelan dan perlahan menyelimuti Marsha dengan selimut yang sama yang ia pakai tadi. Ia menghela napas berat, menatap Marsha dalam diam. Anak sekolah yang tidak terima di bilang anak-anak, Alan tersenyum simpul mengingat kejadian hari ini.

Alan duduk bersila di hadapan Marsha, kini wajah mereka sejajar dan dengan leluasa Alan bisa memperhatikan Marsha dengan sangat dekat. Ia teringat ucapan Sania tadi siang saat mereka menyempatkan waktu untuk berbicara berdua saja.

Flashback On

"Mami senang akhirnya kamu bisa menerima," ucapan itu tergantung dengan wajah sedikit protes pada Alan. Siapa bilang ia sudah menerima kehadiran Marsha seutuhnya, masih ada rasa terpaksa menjalani hubungannya yang baru berumur dua bulanan itu.

"Al, Mami harap kamu mau menikah bukan hanya karena warisan tapi juga untuk membangun sebuah keluarga." Sania berkata dengan sangat serius. "Soal rasa itu hanya butuh waktu Al, cepat atau lambat, tapi itu tidak akan pernah kamu sadari jika kamu tidak pernah memulainya dengan menerimanya, menjalaninya dan merasakannya."

"Maksudnya Mami gimana?" Alan sedikit bingung,

"Namanya suami istri apa aja sih dijalankan Al, belanja bersama, istri melayani suami, suami melindungi istri. Hal pada umumnya seorang suami istri. Menerima keadaan kalian sebagai suami istri, menjalaninya dan kalian akan tahu sebenarnya kalian adalah pasangan yang serasi dan saling mencintai. Kamu udah mulai cinta kan sama Marsha?"

Alan terdiam, membicarakan soal cinta sepertinya ia tidak yakin merasakan apapun, tapi kalau keinginan untuk melindunginya tentu itu ada semenjak ia menjabat tangan Harris ia bertekad akan menjadi pria sekaligus suami yang bertanggung jawab walau tiada rasa.

"Sayang? Peduli? Nggak mau dia bersedih atau menangis deh." tanya Sania lagi karena urung mendapatkan jawaban dari Alan.

Wajah Alan berubah mendengar tidak ingin Marsha bersedih, memang sejauh ini ia tidak ingin itu terjadi karena tidak mau repot saja, ia bingung sendiri harusnya ia tidak perlu bersusah payah merayu Marsha untuk tidak marah padanya kan. Seperti niatnya di awal ia hanya akan bersikap manis didepan orang-orang tertentu saja, tapi tadi mereka hanya berdua. Kenapa ia berusaha membujuk Marsha untuk tidak marah, dia peduli pada perasaannya. Mungkin.

Flashback Off

Marsha menggeliat membuat Alan tersadar dari lamunannya menatap Marsha, ia pun beranjak dari tempatnya dan pergi keluar kamar. Bayangan Marsha menggunakan bathrobe belum sepenuhnya hilang dibenaknya. Ia harus menghindari Marsha sesaat, jangan sampai ia menjadi singa buas apalagi mangsa sedang terkapar begini.

Alan berjalan kearah dapur mencari sesuatu yang bisa ia nikmati agar pikirannya tidak melayang pada Marsha terus.

"Lho, Al belum tidur udah jam sebelas." suara Sania dari ruang makan membuat langkah Alan berbelok menghampirinya. Ia menarik kursi didepannya dan duduk menghadap sang Mami yang terlihat galau.

"Belum Mam," Alan mengambil gelas dan menuangkan air didepannya lalu meneguknya hingga tandas.

"Haus? Habis ngapain?" tanya Sania dengan mata mengerling menggoda anaknya.

"Mami kenapa belum tidur?" Alan sengaja mengalihkan pembicaraan. Bisa-bisa ia kembali mengingat kaki jenjang Marsha yang menggodanya.

"Mami nggak bisa tidur, tempat baru jadi belum terbiasa."

"Selain itu?" tanya Alan lagi, Sania tertawa kecil mendengar pertanyaan Alan.

"Kamu tahu ada alasan lain yang buat Mami nggak bisa tidur?" Alan mengangguk yakin, kini matanya menatap sabar menunggu Sania memberi tahu.

Sania menarik napasnya berat, lalu dia menatap Alan serius yang awalnya ragu akhirnya ia harus mengatakannya pada Alan cepat atau lambat. "Viona udah balik, Al."

Alan bergeming. Tatapannya menerawang jauh, entah apa yang sekarang harus ia pikirkan. "Mami tahu dari mana?"

"Endah." jawab Sania menyebut nama asistennya. "Kamu tahu kan Al, gimana nekatnya dia. Mami berharap dia nggak tahu apa-apa soal pernikahan kamu dengan Marsha." harap Sania.

"Ya udah ah, balik sana, kamu nggak usah terlalu dipikirkan yaa biar jadi urusan Mami. Fokus aja sama istri dan pekerjaan barumu." Sania bangkit dari kursinya, lalu menghampiri Alan dan memaksanya beranjak kembali ke kamarnya.

Alan membuka pintu kamarnya dengan perlahan, mencoba tidak mengeluarkan suara yang dapat menganggu tidurnya Marsha. Ia melihat Marsha masih di tempat yang sama, namun kini posisinya tidak lagi membelakangi posisi Alan. Kini Alan bisa memandangi wajah Marsha dengan leluasa tanpa harus bersila seperti tadi hingga ia pun turut tertidur.

~

"Marsha," panggil Alan pelan, Marsha merasakan tangannya ditepuk-tepuk lembut. "Kamu mau sampai kapan kayak gini?" Alan memanggil lagi.

"Hm," Marsha merasa berat membuka matanya, kantuk masih menguasainya, ia justru semakin erat memeluk tubuh Alan sedari tadi yang ia kira adalah gulingnya.

Alan menegang, ia menahan napas saat tubuh Marsha semakin menempel pada tubuhnya. Dengan susah payah Alan menelan salivanya, dinginnya pagi justru membuatnya berkeringat panik menahan gairah pria dewasa ketika pagi menyapa.

"Marsha, tangan saya keram nih." dengan suara serak Alan masih mencoba membangunkan Marsha dengan lembut, lalu ia berusaha mengangkat tangannya yang entah sudah berapa lama menjadi bantal kepala Marsha, di tambah lagi Marsha melingkarkan tangannya memeluk Alan erat, untung saja kakinya tidak ikut memeluk tubuh Alan.

"Sha, bangun please, saya nggak kuat kalau kamu gini terus." mohon Alan yang mulai panik.

"Hmm...hh!" Marsha menggeliat pelan, namun ia kesal di paksa bangun dari tidurnya, dengan perlahan ia membuka matanya sedetik, dua detik, detik-detik kemudian napasnya terhenti begitu dihadapkan wajah Alan tepat didepan wajahnya, bibirnya bahkan hanya sebatas bulu remang pada pipi Alan alias sudah menempel tipisss sekali. Dengan refleks Marsha langsung memundurkan badannya lalu duduk bersandar pada headboard.

Napasnya tersengal saking kagetnya, kepalanya pusing karena nyawa belum sepenuhnya kembali. Kenapa dirinya bisa terbangun dengan posisi sedekat itu, bukan tapi bagaimana bisa ia menempel bagai cicak didinding begitu.

Alan duduk memijat tangannya yang kebas akibat himpitan kepala Marsha yang entah sejak kapan, tak lupa ia menyingkirkan buliran keringat dingin di wajahnya seraya mengontrol hasratnya sudah dua kali terpancing dalam waktu tidak sampai satu hari. Tanpa berkata apa-apa lagi Alan langsung beranjak ke kamar mandi meninggalkan Marsha yang masih terdiam karena tidak habis pikir apa yang sudah terjadi dengannya. Ia juga tidak cukup berani untuk menanyakannya.

"Tuhan...aku masih perawan kan?" lirihnya sambil mengintip kedalam bajunya.

***

1
ione
Luar biasa
Komang Martini
lanjut
Komang Martini
bagus
Kha
Terima kasih buat yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca novel saya, mohon dukungannya yaa. Happy reading 💚
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!