" Mau gimanapun kamu istriku Jea," ucap Leandra
Seorang gadis berusia 22 tahun itu hanya bisa memberengut. Ucapan yang terdengar asal dan mengandung rasa kesal itu memang sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Jeanica Anisffa Reswoyo, saat ini dirinya sudah berstatus sebagai istri. Dan suaminya adalah dosen dimana tempatnya berkuliah.
Meksipun begitu, tidak ada satu orang pun yang tahu dengan status mereka.
Jadi bagaimana Jea bisa menjadi istri rahasia dari sang dosen?
Lalu bagaimana lika-liku pernikahan rahasia yang dijalani Jea dan dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Rahasia 26
3 hari sudah Lean bekerja di luar kota. Belum ada kabar bahwa pria itu hendak pulang. Dan hal itu sedikit menggangu Jea. Tapi apa mau dikata, pekerjaan tetaplah pekerjaan. Jea juga tidak ingin merengek atau bersikap manja. Itu bukanlah kepribadiannya.
Ia pun memilih untuk berangkat ke kampus lebih pagi dari biasanya. Kelas Lean hari ini akan diisi oleh Prof. Radian yang ia tahu merupakan paman dari Lean. Nama belakang mereka yang sama membuat semua orang tahu bahwa mereka masih satu keluarga besar.
" Duuuh mana lagi nggak mood banget. Semoga aman-aman aja lah ya buat hari ini. Lagi males sebenernya mau masuk kelas. Tapi nanti di absen bolong, Abang juga pasti tahu kalau aku bolos."
Bagaimanapun juga Jea masih seorang gadis yang berusia 22 tahun. Ia juga mood yang naik turun. Apalagi hari ini adalah hari pertama dia mendapat tamu bulanan dimana dirinya begitu sangat malas untuk melakukan kegiatan.
Tap tap tap
Sruuuk
Jea menarik sebuah kursi, meletakkan tasnya diatas meja lalu menelungkupkan kepalanya. Ia juga memejamkan matanya untuk sejenak. Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak karena banyak hal yang dipikirkannya. Maka dari itu hari ini sungguh Jea ingin mendapat ketenangan.
Tapi agaknya realita tidak seindah ekspektasi. Baru saja dirinya ingin merasakan sebuah kenyamanan, gangguan itu langsung datang. Jea langsung menghela nafasnya yang terasa berat itu.
" Heh, kalau mau tidur di rumah sono jangan di sini! Ini kelas bukan kamar!"
" Ternyata kamu masih nggak ngerti juga ya. Harus pake bahasa apa buar kamu ngerti Varlie?"
Orang yang mengganggu Jea adalah Varlie. Namun kali ini sedikit lain dari biasanya karena Varlie hanya sendirian. Biasanya gadis itu akan datang secara berkelompok. Kalau tidak akan ada satu atau dua orang yang membersamainya.
" Heh, jangan sok-sokan deh. Emang lo pikir gue bakalan nurutin apa yang lo bilang."
" Ya ya ya, terserah kamu lah, yang waras ngalah."
" Apa lo bilang, lo ngatain gue gila ya!"
Jea memejamkan matanya sejenak. Sebenarnya dia enggan membuat pagi ini menjadi pagi yang ricuh. Tapi agaknya tidak dengan Varlie. Jea merasa Varlie sengaja memancing keributan. Emosi yang Jea tekan sebisa mungkin rupanya sekarang ini dia sudah tidak bisa lagi membendungnya.
" Bagus kalau kamu sadar. Orang yang waras pasti akan ngerti dengan kata-kata biasa. Sekali lagi aku bilang, akun nggak pernah punya masalah sama kamu, jadi stop buat ganggu aku. Kalau nggak ... ."
" Kalau nggak apa hah, lo mau ngadu ke bapak lo yang udah mati."
Jegleeer
Jea yang tengah berusaha keras untuk menahan emosinya kini akhirnya meluap juga. Varlie berhasil membangunkan api dalam diri Jea.
Sedari dulu Jea tidak pernah mempersoalkan jika dirinya dihina. Dia tidak bisa hanya diam saja jika kedua orangtuanya dibawa-bawa saat tengah berseteru seperti ini. Tatapan nyalang kini dilancarkan oleh Jea kepada Varlie. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat.
" Apa, lo mau marah? Emang bapak lo udah mati kan? Apa gue salah? Nah ngadu lo ke kuburan bapak lo sana! Anaknya modelan begini, pasti bapaknya juga sama. Gue yakin bapak lo juga sama kayak lo, penjilat!"
Plaak!
" Bangsat, berani-beraninya lo nampar gue hah! Gue bakalan laporin ini ke kampus biar lo di DO."
" Sana, silakan kalau kamu mau laporin, aku sama sekali nggak takut. Asal kamu tahu, aku bisa berbuat hal yang lebih dari ini kalau kamu masih terus berkata buruk tentang keluargaku."
" Ada apa ini ribut-ribut."
Jea membuang nafasnya kasar. Dia yakin peristiwa ini akan berbuntut panjang, tapi dia tidak peduli. Suara dosen pengajar yang baru saja masuk pasti cukup melihat apa yang ia dan Varlie tadi lakukan.
Profesor Radian Nareen Dwilaga, dia bukan hanya sekedar pengajar melainkan salah satu pemilik di kampus yang mana Jea belajar di sana. Dan kejadian tadi pasti akan menjadi perhatiannya. Yang Jea tahu, Prof. Radi tidak suka melihat para mahasiswanya membuat keributan.
" Bisa jelaskan ada apa ini sebenarnya?" tanya Radi dengan nada bicara yang berat dan dingin.
" Dia Prof, dia tiba-tiba nampar saya. Dia memang suka banget nyari masalah sama saya," ucap Varlie menggebu-gebu. Agaknya saat ini Varlie sedang melakukan playing victim terhadap Jea. Dan anehnya satu kelas tidak ada yang bersuara. Padahal mereka jelas tahu siapa yang memulai keributan ini.
Apakah masyarakat kita minim empati? Atau mereka takut jika ikut terlibat? Atau mereka memang tidak ingin ikut campur? Atau mereka enggan karena harus memberikan kesaksian? Ini lah yang terjadi sekarang, banyak mata yang memandang tapi seolah buta. Banyak telinga yang mendengar tapi seolah tuli, mereka memilih diam agar tidak kerepotan untuk memberitahu kebenaran yang ada.
Namun Radi tidak serta merta menerima ucapan Varlie. Bahkan sekarang pandangannya lurus mengarah ke Jea. Reputasi Jea sebagai mahasiswa yang baik dan cerdas membuatnya meragu atas pernyataan Varlie. Terlebih Radi di semester sebelumnya juga mengampu mata kuliah di kelas ini sehingga dia sedikit banyak paham tentang Jea.
" Jeanica, apa yang dikatakan Varlie itu benar?"
" Tidak Prof, semuanya tidak benar. Saya tidak pernah memancingnya, tapi dia sendiri yang membuat keributan. Jika Prof. Radi meragukan pernyataan saya, aaah saya lupa. Di kelas ini semua adalah pecundang Prof jadi tidak akan ada yang memberi kesaksian. Tapi bukankah masih ada kamera pengawas, di sana semua akan terlihat jelas siapa yang lebih dulu membuat keributan."
" Ya? Kamu!"
Varlie menggertakkan gigi-giginya. Ia lupa kalau di setiap kelas dipasang kamera pengawas. Percuma saja dia menyuap dan mengancam orang-orang di kelas untuk diam. Pada akhirnya memang nanti dia yang akan terkena masalah.
" Sialan, gue lupa kalau ada cctv," gumamnya lirih. Wajah Varlie yang tadi sangat antusias kini berubah menjadi pucat. Ketakutan mulai melanda hatinya. Entah dia sudah dibutakan kebencian terhadap Jea atau memang dirinya yang bodoh, tapi Varlie sungguh lupa perihal kamera pengawas itu.
" Jadi Varlie, apa perlu aku membuka kamera pengawas?" ucap Radi dengan nada bicara yang masih sama.
" T-tidak Prof. Saya salah, maafkan saya."
" Minta maaf yang salah sasaran. Kamu seharusnya tahu siapa yang lebih berhak memberi mu maaf bukan?"
Varlie terpojok, sedangkan Jea ia menaikkan satu sudut bibirnya. Rasanya sangat puas bisa melihat Varlie yang tidak bisa berkutik seperti ini. Tapi meskipun begitu dia tetap tidak suka, pasalnya jika nanti Varlie meminta maaf itu bukan serta merta dari hatinya melainkan karena keterpaksaan.
" Maaf Prof, saya tidak apa-apa. Saya juga tidak perlu mendapat permintaan maaf dari orang yang tidak tulus. Maaf sudah menganggu waktu kelas Profesor. Silakan dimulai saja kelasnya. Sekali lagi saya minta maaf Prof."
Wajah Varlie memerah, ia semakin kesal dengan Jea. Dan rasa marah di hatinya makin membara. Varlie, dia mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat. Seolah ingin melayangkan pukulan itu ke arah Jea saat ini juga.
" Awas lo ya, bisa-bisanya lo buat gue malu di depan Prof. Radi, gue bakalan bikin lo nyesel Jea."
TBC