"Kalau kamu tetap enggak izinin aku menikah lagi, ... aku talak kamu. Kita benar-benar cerai!"
Dwi Arum Safitri atau yang akrab dipanggil Arum, terdiam membeku. Wanita berusia tiga puluh tahun itu benar-benar sulit untuk percaya, Angga sang suami tega mengatakan kalimat tersebut padahal tiga hari lalu, Arum telah bertaruh nyawa untuk melahirkan putra pertama mereka.
Lima tahun mengabdi menjadi istri, menantu, sekaligus ipar yang pontang-panting mengurus keluarga sang suami. Arum bahkan menjadi tulang punggung keluarga besar sang suami tak ubahnya sapi perah hingga Arum mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Namun pada kenyataannya, selain tetap dianggap sebagai parasit rumah tangga hanya karena sejak menikah dengan Arum, pendapatan sekaligus perhatian Angga harus dibagi kepada Arum hingga keluarga Angga yang biasa mendapat jatah utuh menjadi murka, kini Arum juga dipaksa menerima pernikahan Angga.
Angga harus menikahi Septi, kekasih Andika-adik Angga yang memilih minggat setelah menghamili. Yang mana, ternyata Septi mau dinikahi Angga karena wanita muda itu juga mencintai Angga.
Lantas, salahkah Arum jika dirinya menolak dimadu? Dosakah wanita itu karena menjadikan perceraian sebagai akhir dari pengabdian sekaligus kisah mereka? Juga, mampukah Arum membuktikan dirinya bisa bahagia bahkan sukses bersama bayi merah tak berdosa yang telah Angga dan keluarganya buang hanya karena ia tetap memilih perceraian?
🌿🌿🌿
Follow Instagram aku di : @Rositi92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16 : Emosi Arum yang Akhirnya Meledak
Suasana pagi menuju siang yang masih sama. Suasana ramai khas pasar di salah satu kecamatan yang masih menjadi bagian dari kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Namun dari semua aktivitas, lalu lalang mereka yang lewat dan menjadikan warung makan Arum jalan hanya karena pintu depan sekaligus belakang ruko mungil tersebut terbuka lebar, menjadi gangguan tersendiri untuk Arum yang sedang sibuk mengurus segala sesuatunya sendiri. Iya jika mereka permisi bahkan sekadar untuk basa-basi, kadang hadirnya mereka yang membuat warung makin sempit juga mengganggu pembeli di warung. Tak jarang, ada saja yang tak jadi beli lantaran sempitnya warung membuat mereka harus mengantre.
Seorang wanita berjilbab hitam bertubuh segar dan baru datang, terheran-heran mengamati suasana warung Arum. Arum yang kebetulan baru balik badan meninggalkan kedua kompor yang semuanya dalam keadaan menyala dan keempat sumbunya juga dihiasi masakan berbeda, tersenyum menyambutnya. Itu ibu Inne selaku pemilik ruko yang Arum sewa.
“Lho, Mbak Arum masih jualan?” ujar ibu Inne masih terheran-heran.
Tak sedikit pun merasa curiga, Arum tetap memasang wajah ceria meski sebenarnya, wanita itu sudah merasa sangat lelah karena sepagi ini saja sudah berhasil menjual empat kilo nasi lengkap dengan aneka lauk maupun sayur, dan semua itu dikerjakan sendiri dari dini hari tadi.
“Iya, Bu Inne. Alhamdullilah ini masih jualan. Ibu Inne apa kabar? Ini mau borong apa bagaimana?” balas Arum sambil membawa satu loyang entok rica-rica. Ia melewati wanita berkulit putih yang masih tampak kebingungan mengamatinya. Selain itu, ibu Inne juga mengamati suasana warungnya yang sedang penuh pengunjung, dengan tatapan tak kalah bingung.
Arum berpikir, keadaan tersebut terjadi karena tak beda dengan yang lain, ibu Inne juga iba kepadanya yang meski baru melahirkan tapi sudah sibuk jualan. Ia menoleh dan mendapati wanita rapi itu berjalan agak cepat mendekatinya.
“Mbak Arum, ... ini saya minta maaf banget, ya. Maaf lahir batin kalau saya salah.”
“Ibu Inne kok bilang begitu? Memangnya ada apa?” balas Arum sembari menaruh satu loyang entok rica-ricanya di etalase. Jujur, firasat Arum sudah langsung buruk terlebih tanggapan ibu Inne seolah tidak enak hati kepadanya. Wanita berusia di awal kepala empat tersebut tampak sangat gelisah.
“Y-ya iya, Mbak Arum, ... saya benar-benar minta maaf. Tapi gimana, ya? Kan kemarin uangnya sudah diambil, katanya enggak jadi perpanjangan, soalnya uangnya mau buat biaya pengobatan Mbak Arum.”
Mendengar penjelasan dari ibu Inne barusan, jantung Arum sudah langsung berdetak sangat kencang. “Maaf Ibu Inne, maksud Ibu Inne bagaimana?” Namun jujur, otak sekaligus ingatan Arum sudah langsung kepikiran perihal uang Angga yang beberapa hari lalu ia pergoki dalam jumlah sangat banyak. Ketika pria itu datang menyusul Septi dan sampai makan romantis di sana.
“Ya iya, Mbak! Kata suami Mbak Arum, setelah Mbak melahirkan, Mbak pendarahan hebat. Bayi kalian katanya juga kritis! Kalian sampai dirujuk ke Banyumas dan butuh banyak biaya. Makanya suami Mbak sampai minta semua uang yang Mbak setorkan buat bayar perpanjang kontrak itu, dan saya sudah kasih semuanya. Ini saya juga sangat bingung, kok Mbak beneran masih jualan, sedangkan penyewa ruko yang baru sudah siap menempati hari ini juga!” jelas ibu Inne dan terus terngiang-ngiang dalam benak sekaligus ingatan Arum. Ucapan yang juga membuat Arum berlari kencang hingga membuat luka jahitan di jalan lahirnya terasa sangat ngilu.
Berderai air mata, Arum memasuki bank tempat Angga bekerja dan kebetulan sedang ramai-ramainya. Pedih, sesak, benar-benar sangat sakit, Arum sungguh tak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Di seberang meja pendaftaran, Arum mendapati Fajar yang awalnya tersenyum kepadanya tapi wajah pria itu langsung berubah menjadi dipenuhi keseriusan sekaligus kekhawatiran. Sementara dari ruang dalam dan dipisahkan oleh pintu kaca, Arum mendapati Angga yang melangkah keluar dengan agak buru-buru sambil membawa setumpuk berkas. ketika akhirnya mantan suaminya itu keluar, tanpa pikir panjang Arum langsung menghantamkan taflon besar yang wanita itu pegang menggunakan kedua tangan, sekuat tenaga pada wajah Angga.
Sontak, apa yang Arum lakukan dan sukses membuat Angga yang awalnya tidak menyadari keberadaan Arum, menjadi pusat perhatian. Angga sampai terpental dan berakhir terbanting ke lantai setelah sebelumnya juga sempat sempoyongan. Sementara berkas yang awalnya Angga pegang menggunakan kedua tangan, berhamburan, beterbangan dan sebagiannya sampai menghujani meja teller keberadaan Fajar.
“TEGA KAMU, MAS!” Emosional dan masih berderai air mata, suara lantang sekaligus bergetar Arum berhasil mengguncang suasana di sana.
Semuanya kompak berdiri, berkerumun dan menatap ngeri apa yang terjadi. Satpam yang awalnya berdiri di sebelah pintu masuk, buru-buru masuk sekaligus menghampiri.
“Mbak Arum ....” Satpam tersebut langsung berusaha melakukan pendekatan kepada Arum.
“JANGAN IKUT CAMPUR!” Arum menatap marah sang satpam. “Biarkan saya menuntut keadilan. Biar semua yang di sini tahu kelakuan pria ini!” Kemudian fokus Arum kembali pada Angga yang masih meringkuk sambil meringis kesakitan di lantai.
Tak ada yang berani mendekat apalagi menolong Angga, terlebih mereka juga tahu masalah pribadi Angga dan Arum yang memang telanjur tersebar. Masalah yang juga masih menjadi gosip hangat di lingkungan kerja mereka, sampai hari ini.
“Mana bosmu? Panggil bosmu, biar dia tahu kelakuan busukmu! Bisa-bisanya kamu mencuri uangku, Mas! Bisa-bisanya kamu mengambil uang pembayaran perpanjangan kontrak ruko dan menjadikan kesehatanku sekaligus kesehatan Aidan yang kamu katakan kritis sebagai alasan! Bisa-bisanya kamu merampas uang hasil keringatku! Bisa-bisanya kamu mengambil hak Aidan yang bahkan kamu buang sejak lahir karena sejak Aidan lahir, seperak pun kamu enggak kasih ke dia yang jelas-jelas darah daging kamu!” Arum mengakhiri ucapannya sambil memukuli punggung Angga di tengah air matanya yang makin tak berujung.
“Kamu boleh saja menikah lagi! Kamu boleh saja membuangku bahkan membuang Aidan darah daging kamu sendiri! Kamu bahkan boleh memfitnahku sesuka hati, ... tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya merampas uangku. Itu hakku. Itu hak Aidan. Kalau aku kehilangan ruko warungku, aku dan Aidan makan apa? Aku dan Aidan tinggal di mana?!”
“Sekarang kamu berdiri! Berdiri dan kembalikan uangku! Aku mau uangku sekarang juga!”
Angga yang masih meringkuk, susah payah bangun. Pria itu sibuk meringis karena hidung dan sebagian wajahnya saja langsung lebam cenderung gosong akibat hantaman taflon.
“Balikin uangku, cepat! Balikin dan urus buat pembayaran perpanjangan kontrak pokoknya aku enggak mau tahu!”
“Rum ....”
“JANGAN BANYAK ALASAN, MAS! POKOKNYA AKU ENGGAK MAU TAHU. KARENA KALAU KAMU SAMPAI ENGGAK BISA BALIKIN UANG ITU DAN MENGURUSNYA KE BU INNE, SEKARANG JUGA AKU ARAK KAMU KE POLSEK SEBELAH!” Kesabaran Arum sungguh habis. Tak peduli siapa laki-laki yang tengah ia hakimi. Tak peduli semua mata di sana sudah fokus memperhatikannya. Bahkan bos besar di bank sana sampai keluar dari ruang kerjanya. Yang penting uangnya kembali dalam keadaan utuh dan langsung diproses ke ibu Inne agar Arum tak kehilangan tempat tinggal sekaligus tempatnya mengais rezeki.