novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Jejak Musuh di Tanah Kawan
Di tengah hening pagi yang menyesakkan, pasukan akademi yang masih tersisa bergegas mengatur barisan. Beberapa prajurit terluka dan masih mengenakan perban seadanya, namun mereka tidak punya waktu untuk beristirahat. Aric berdiri di depan, memandangi para penyintas yang tersisa. Matanya memancarkan keteguhan yang tak tergoyahkan, meskipun rasa khawatir mengintip dari balik tatapan kerasnya. Ia tahu pertempuran ini akan menjadi ujian berat.
"Lyria, Kael, Erevan," Aric memanggil, suara tegasnya memotong udara pagi. "Kita tidak bisa membiarkan Kekaisaran Nadir menghancurkan yang tersisa dari akademi. Aku butuh kalian untuk menjaga garis depan."
Kael menggenggam pedangnya lebih erat, rahangnya mengeras. "Mereka tidak akan melewati kita, Aric. Apa pun yang terjadi, kita akan bertahan." Senyum yang hampir seperti ejekan bermain di bibirnya, meski matanya memperlihatkan kesungguhan.
Lyria merapal mantra pelindung, cahayanya yang lembut mengelilingi para prajurit terdekat. "Aku akan memastikan kita punya cukup perlindungan," katanya, meskipun keringat dingin membasahi tengkuknya. Kelelahan dari pertempuran sebelumnya masih terasa, tapi ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk mengeluh.
Erevan berdiri di samping mereka, mengumpulkan semua kekuatan yang baru saja kembali padanya. Meski hatinya masih dikepung rasa bersalah, tekadnya perlahan menguat. "Aku tidak akan mundur lagi," katanya lirih, hampir kepada dirinya sendiri, tapi Aric mendengarnya. Aric mengangguk pelan, memberi Erevan dorongan semangat yang tak terucap.
Dari kejauhan, suara dentuman langkah kaki pasukan Kekaisaran Nadir semakin mendekat. Mereka bisa melihat bendera dengan simbol ular berkepala dua berkibar dengan angkuh. Barisan musuh tampak disiplin dan tak kenal lelah, prajurit-prajurit mereka mengenakan baju zirah hitam yang memantulkan cahaya matahari. Mereka tampak seperti bayangan gelap yang siap menelan apa pun yang menghalangi.
"Aric," bisik Lyria, wajahnya pucat. "Pasukan mereka... jumlah mereka jauh lebih banyak daripada kita. Apa yang bisa kita lakukan?"
Aric tetap tenang, meskipun hatinya bergetar hebat. "Kita harus bertahan sebaik mungkin. Ini bukan hanya tentang kemenangan; ini tentang memberi waktu bagi mereka yang terluka untuk mundur dan menyelamatkan diri. Kita tidak akan membiarkan Kekaisaran Nadir menang mudah."
Sementara itu, pemimpin pasukan Kekaisaran Nadir maju ke depan, seorang pria berambut panjang berwarna abu-abu dengan mata tajam seperti elang. Baju zirahnya dihiasi lambang emas yang menandakan pangkat tinggi, dan senyum sinis terukir di wajahnya. "Serahkan diri kalian, penyintas Akademi Dravon! Kalian sudah kalah! Tidak perlu memperpanjang penderitaan kalian!"
Kael mendengus, suaranya penuh penghinaan. "Kalah? Kami belum mulai bertarung, dan kau sudah berbicara tentang kekalahan." Ia menoleh ke Aric, menunggu isyarat. Aric tahu mereka harus bertahan sekuat tenaga, meski jumlah mereka tidak sebanding.
Lyria mengulurkan tangannya, mengaktifkan mantra perlindungan yang melingkupi teman-temannya. "Bersiaplah," katanya, suaranya bergetar sedikit. Energi sihirnya nyaris habis, tapi ia tahu bahwa setiap tetes kekuatannya harus digunakan untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi.
Pasukan Nadir mulai menyerang, barisan mereka bergerak maju seperti gelombang lautan yang hendak menghancurkan segalanya. Aric mengangkat pedangnya, mengarahkan prajurit akademi untuk bertahan. "Pertahankan posisi kalian! Jangan biarkan mereka mematahkan barisan kita!"
Pertempuran pecah dengan dahsyat. Jeritan pertempuran, suara pedang beradu, dan sihir yang meledak di udara menciptakan kekacauan yang menggetarkan jiwa. Aric memimpin dengan keberanian yang tak tergoyahkan, menghadapi musuh yang mendekat dengan serangan yang cepat dan mematikan. Setiap ayunan pedangnya membawa harapan, meskipun tubuhnya terasa berat oleh kelelahan.
Kael bertarung di sisi Aric, pedangnya berputar dengan ketangkasan yang mengagumkan. "Kau pikir pasukan ini cukup untuk mengalahkan kita?" Kael berteriak sambil menebas musuh yang mendekat. "Kalian harus mengirim lebih banyak dari itu!"
Di sisi lain, Lyria terus merapal mantra pelindung, menghalau serangan musuh yang mencoba menerobos. Keringat mengalir deras di dahinya, dan napasnya memburu. "Aku... aku akan melindungi kalian semua," katanya dengan suara yang hampir putus. Ia tahu kekuatannya semakin menipis, tapi ia tidak bisa menyerah.
Erevan bertarung dengan tekad baru yang mengalir di nadinya. Dia menggunakan kekuatan sihir yang baru saja ia pulihkan untuk melumpuhkan musuh dari kejauhan. Sihirnya terasa berbeda, lebih murni, lebih terang, seperti pantulan cahaya dari tekadnya yang diperbarui. "Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang tersisa dari kita," gumamnya.
Namun, musuh terlalu banyak. Mereka terus menekan, dan para prajurit akademi mulai mundur perlahan. Aric menyadari bahwa mereka tidak akan bisa bertahan lebih lama jika tidak ada keajaiban yang menyelamatkan mereka.
Tiba-tiba, sebuah ledakan besar mengguncang medan pertempuran, menghempaskan banyak prajurit, baik dari pihak akademi maupun pasukan Nadir. Aric terhuyung ke belakang, berusaha tetap berdiri. Ia melihat ke arah sumber ledakan, dan matanya melebar.
Dari bayangan hutan di kejauhan, muncul sosok berjubah hitam dengan simbol aneh di bahu kirinya. Sosok itu mengangkat tangannya, dan semburan api hijau meluncur ke arah pasukan Nadir, membakar mereka tanpa ampun. Aric merasa ngeri dan terkejut pada saat yang sama. "Siapa itu?" bisiknya.
Sosok berjubah hitam itu melangkah maju, dan dari balik kerudungnya, sepasang mata berwarna kuning menyala memandang ke arah Aric dan teman-temannya. "Kalian telah berjuang cukup lama," katanya, suaranya serak tetapi kuat. "Biarkan aku membantu kalian... untuk saat ini."
Erevan merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Suara itu, aura itu—terasa akrab, namun mengerikan. "Siapa... siapa kau?" tanyanya, tubuhnya menegang.
Sosok itu tidak menjawab, hanya mengarahkan sihirnya ke arah pasukan Nadir, menciptakan badai energi yang meluluhlantakkan mereka. Pasukan musuh terpaksa mundur, ketakutan menghadapi kekuatan yang tidak mereka duga. Lyria menatap sosok itu dengan rasa waspada. "Apakah... dia teman atau musuh?"
Aric menggenggam pedangnya lebih erat, bersiap menghadapi apa pun. "Kita akan segera tahu."
Namun, di dalam hatinya, Aric tahu bahwa sosok ini bisa jadi kunci untuk mengubah takdir mereka. Apakah dia datang sebagai penyelamat, atau ancaman baru yang harus mereka hadapi, masih menjadi misteri yang harus segera terungkap.