Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17 ( Saat Semua Pergi)
Pukul 13.05, suasana di vila mulai ramai lagi. Teman-teman Sasa sudah bersiap dengan perlengkapan mereka masing-masing. Tas kecil di punggung, botol air di tangan, dan jaket yang tergantung di bahu. Aldrin memimpin kelompok kecil itu dengan semangat, sementara Awan memastikan semua sudah membawa apa yang diperlukan.
"Udah semua, kan?" tanya Awan memastikan, menoleh ke Radit yang terlihat masih sibuk mengikat tali sepatunya.
"Udah. Ayo, berangkat," jawab Radit santai, berdiri dan melangkah ke arah pintu.
Namun sebelum keluar, Aldrin tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berjalan mendekati Algar yang duduk santai di sofa ruang tengah, satu tangan memegang buku yang sebenarnya tak benar-benar ia baca.
"Al," panggil Aldrin, nada suaranya sedikit bercanda tapi ada juga nada serius di dalamnya. "Lo jangan macam-macam, ya. Ingat, cuma ada lo sama Sasa di sini."
Algar menurunkan buku yang dipegangnya dan menatap Aldrin dengan ekspresi bingung. Lalu, seolah-olah memahami arah pembicaraan Aldrin, ia tersenyum tipis dan berkata santai, "Macam-macam gimana? Lo mikirnya ke mana, sih?"
Aldrin terkekeh pelan, menepuk bahu Algar. "Nggak ada yang salah mikir, tapi ya gitu, jangan aneh-aneh, bro."
Algar balas tertawa kecil. "Emangnya apa yang ada di otak lo, drin? Lo kebanyakan nonton drama, ya?"
Tawa kecil mereka akhirnya membuat suasana lebih santai. Teman-teman lainnya juga ikut tertawa mendengar candaan itu. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka semua benar-benar keluar dari vila, meninggalkan Sasa dan Algar yang masih di dalam.
Sasa, yang berdiri di dekat tangga, hanya tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Ia lalu berjalan kembali ke kamarnya. Ada rasa lega saat vila menjadi sunyi, hanya tersisa dirinya dan Algar. Ia bisa kembali fokus pada hal-hal yang ingin ia selesaikan sebelum pulang besok.
Di kamar, Sasa mulai membereskan barang-barangnya. Pakaian yang selama ini berserakan di sudut lemari kini ia lipat rapi dan masukkan ke dalam koper. Beberapa barang kecil seperti buku catatan, earphone, dan kosmetik ia susun ke dalam tas kecilnya.
Sambil melipat salah satu sweater kesayangannya, pikirannya melayang ke percakapan singkat tadi. Candaan antara Aldrin dan Algar terdengar biasa, tapi ada sesuatu di baliknya yang membuat Sasa tak bisa berhenti memikirkannya. Apa yang dimaksud Aldrin? Kenapa Algar juga nggak ikut ke puncak?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di lorong. Sasa mendongak, melihat Algar berdiri di ambang pintu kamarnya, mengetuk pelan dinding sebagai tanda kehadirannya.
"Udah selesai beres-beres?" tanya Algar, suaranya terdengar santai seperti biasa.
"Belum, tapi hampir," jawab Sasa sambil melanjutkan pekerjaannya. "Lo ngapain? Bukannya santai di sofa?"
Algar mengangkat bahu. "Nggak ada kerjaan. Vila ini terlalu sepi kalau cuma ada dua orang."
Sasa tertawa kecil mendengar jawaban itu. "Bukannya kamu lebih suka suasana tenang kayak gini?"
"Kadang iya. Tapi kalau gini terus, rasanya aneh." Algar melangkah masuk, berdiri di sisi pintu. "Butuh bantuan?"
Sasa menatapnya sejenak, lalu menggeleng. "Nggak usah. Aku udah hampir selesai."
Algar hanya mengangguk, tapi tak beranjak dari tempatnya. Ia tetap berdiri di sana, memperhatikan Sasa yang sibuk dengan kopernya. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang tak Sasa sadari, tapi cukup kuat untuk membuat Algar tak ingin berpaling.
Sasa, di sisi lain, pura-pura tak menyadari tatapan itu. Ia hanya terus melipat dan merapikan barang-barangnya, meski ada perasaan hangat yang perlahan merayap di dadanya. Keheningan itu terasa nyaman, seolah-olah mereka berdua berada di dunia yang berbeda dari teman-teman mereka yang sedang berpetualang di luar sana.
Mungkin, pikir Sasa, vila ini memang menyimpan sesuatu yang tak akan pernah ia lupakan.
***
Sore mulai merayap, langit di atas vila perlahan berubah warna menjadi keemasan. Algar duduk di kursi santai dekat kolam renang, menikmati semilir angin yang membawa aroma basah dari air kolam. Kakinya menjuntai santai, tangannya memegang sebuah buku yang sebenarnya sudah ia letakkan di pangkuan sejak tadi. Matanya lebih banyak tertuju pada permukaan air kolam yang tenang, berkilauan diterpa sinar matahari yang mulai redup.
Kolam renang itu berada di sudut vila, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang menjadikan suasana terasa sejuk meski matahari masih menggantung. Teduhnya tempat itu memberikan kesan nyaman, seolah-olah kolam renang tersebut adalah tempat sempurna untuk melupakan dunia.
Algar sedang tenggelam dalam lamunannya ketika suara langkah lembut dari belakang menarik perhatiannya. Ia menoleh dan mendapati Sasa berdiri di sana, mengenakan pakaian renang berwarna lembut yang tampak sederhana namun anggun. Rambutnya yang
dibiarkan terurai, menambah kesan santai yang ia bawa.
"Lo lagi ngapain, bosan yaa?" tanya Sasa sambil melangkah mendekat, kedua tangannya memegang handuk kecil yang tersampir di bahu.
Algar mengangkat bahu. "Gak juga. Tempat ini tenang banget, nggak ada suara Aldrin dan Awan bikin ribut."
Sasa terkekeh pelan, lalu meletakkan handuknya di kursi lain. Ia berjalan mendekati pinggir kolam, menyentuhkan ujung kakinya ke air yang jernih. "Airnya nggak terlalu dingin," katanya sambil menoleh ke arah Algar. "Ayo berenang."
Algar mengerutkan kening, menatap Sasa seolah-olah ia tidak mendengar dengan benar. "Berenang?"
"Iya," jawab Sasa sambil tersenyum kecil. "Kapan lagi kita bisa nikmatin kolam kayak gini? Tenang, nggak ada yang ganggu."
Algar terdiam sebentar, menatap Sasa yang sudah bersiap-siap melompat ke air. "Gue nggak bawa pakaian renang," ujarnya sambil mengangkat kedua tangannya, memberikan alasan.
"Alasan klasik," balas Sasa dengan nada menggoda. "Nggak apa-apa, kan nggak harus formal. Yang penting kita bersenang-senang."
Tanpa menunggu jawaban, Sasa melompat ke kolam, menciptakan cipratan air yang cukup besar. Tawa riangnya menggema di sekitar kolam renang, membawa suasana baru yang jauh lebih hidup.
Algar hanya bisa menggeleng sambil tersenyum, lalu berdiri dan melepaskan sandalnya. "Kalau gue basah, ini semua salah lo," katanya sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam air.
Sasa tertawa kecil, melayang di atas permukaan air sambil menatap Algar. "Ayo, tunjukkan kalau kamu jago berenang."
Kolam renang yang redup, terlindungi oleh bayangan pepohonan, menciptakan suasana yang intim. Cahaya matahari yang tersaring daun-daun menari di atas air, memberikan efek tenang namun memukau. Airnya terasa hangat, pas untuk berenang di sore hari seperti ini.
Mereka berenang bersama, terkadang saling menyipratkan air satu sama lain seperti anak kecil. Sesekali, Sasa tertawa terbahak-bahak ketika Algar mencoba mencipratkan air ke wajahnya tetapi gagal karena ia sudah lebih dulu menyelam.
"Ini lebih menyenangkan daripada gue bayangkan," ujar Sasa sambil mengapung di permukaan air, memandang langit yang mulai berubah menjadi jingga.
Algar, yang berada tidak jauh darinya, tersenyum. "Kadang, momen sederhana kayak gini yang bikin kita ingat betapa berartinya waktu bersama."
Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana sore itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata mereka. Kolam renang yang tenang menjadi saksi sebuah kebersamaan sederhana namun bermakna, sebuah momen yang akan terus teringat dalam ingatan mereka berdua.