Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Liburan
Tanpa banyak berpikir, Lily menerima ajakan Ezra. Rasanya perhatian dari Ezra adalah satu-satunya hal yang bisa sedikit mengangkat beban di dadanya saat ini. Mereka keluar dari rumah, dan Ezra membawa Lily ke sebuah kafe es krim yang terkenal di daerah itu.
Sepanjang perjalanan, Ezra terus berusaha membuat Lily tertawa dengan lelucon-lelucon ringannya. Meskipun awalnya Lily masih tenggelam dalam kesedihan, perlahan-lahan ia mulai merasa lebih baik. Ada sesuatu tentang cara Ezra berbicara, atau mungkin cara dia selalu memperhatikan hal-hal kecil tentang Lily, yang membuatnya merasa diperhatikan.
Setibanya di kafe, mereka duduk di meja sudut yang cukup sepi. Ezra memesan es krim cokelat untuk mereka berdua, dan mereka menghabiskan waktu berbicara tentang banyak hal—dari hal-hal ringan seperti acara TV favorit mereka hingga topik yang lebih dalam tentang bagaimana Ezra menghadapi kehidupan setelah selesai kuliah.
"Aku nggak pernah nyangka kalau Melisa bisa se-emosional itu," ujar Lily sambil menyendok es krimnya. "Aku benar-benar nggak mau kehilangan dia sebagai sahabat."
Ezra menatap Lily dengan serius. "Kamu nggak akan kehilangan dia, Lil. Kalian udah terlalu dekat untuk itu. Kadang butuh waktu buat ngeredain perasaan yang terluka, tapi pada akhirnya, persahabatan yang kuat selalu bisa bertahan."
Lily mengangguk, merasa sedikit lega. Ezra selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuatnya merasa lebih baik. Perhatian dan kepeduliannya malam itu, seperti yang ia rasakan selama beberapa minggu terakhir, semakin membuat Lily merasakan kedekatan yang aneh dengan Ezra.
Sepulang dari kafe, mereka kembali ke rumah dengan suasana yang jauh lebih ringan. Ezra masih melontarkan lelucon-lelucon kecil, dan Lily merasa suasana hatinya benar-benar sudah berubah. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang semakin menguat di dalam diri Lily. Perasaan yang selama ini ia coba kubur, kini semakin sulit untuk diabaikan.
Setiap kali Ezra memberinya perhatian, entah itu dalam bentuk kata-kata penyemangat atau sekadar senyum hangat, Lily merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu bahwa Ezra mungkin hanya melihatnya sebagai adik Melisa, tetapi di dalam hatinya, perasaan itu tak lagi bisa ditahan.
Saat mereka sampai di rumah, Ezra membuka pintu dan mempersilakan Lily masuk lebih dulu. "Aku senang bisa bikin kamu sedikit lebih baik malam ini. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Lil. Semua akan baik-baik saja."
Lily mengangguk sambil tersenyum tipis. "Makasih, Kak Ezra. Aku beruntung punya kamu."
Ezra tertawa kecil dan mengacak rambut Lily dengan lembut, seperti seorang kakak memperlakukan adiknya. Namun, bagi Lily, sentuhan itu memiliki makna lebih dalam.
Di dalam kamarnya, Lily duduk di tepi tempat tidurnya dan memandangi cermin di sudut ruangan. Ia teringat kata-kata Melisa yang pernah memperingatkannya untuk tidak terlalu bawa perasaan terhadap perhatian Ezra. Namun, semakin Ezra menunjukkan perhatian, semakin sulit bagi Lily untuk memisahkan antara rasa syukur karena diperhatikan dan perasaan yang lebih dalam.
Malam itu, Lily berbaring di tempat tidurnya, memandangi langit-langit dengan pikiran yang berputar-putar. Ia tahu bahwa situasinya menjadi semakin rumit. Antara perasaan bersalah karena Melisa yang menjauh dan perasaan aneh yang tumbuh terhadap Ezra, Lily merasa terjebak di antara dua hal yang sangat penting dalam hidupnya.
"Apakah aku benar-benar mulai jatuh cinta pada Ezra?" tanyanya pelan pada dirinya sendiri.
Namun, sebelum Lily bisa menemukan jawaban, ia memutuskan untuk memejamkan matanya, berharap esok hari akan membawa kejelasan yang lebih baik.
Kerenggangan hubungan antara Melisa dan Lily mulai terasa oleh keluarga mereka. Lily yang biasanya ceria dan sering berbagi cerita dengan orang tuanya kini lebih banyak mengurung diri di kamar, tenggelam dalam kesedihannya. Sementara itu, Melisa yang dulunya selalu menghabiskan waktu bersama Lily, sekarang sering terlihat murung dan jarang berbicara tentang sahabatnya itu. Keadaan ini tidak luput dari perhatian kedua keluarga, terutama ibu-ibu mereka yang sangat dekat satu sama lain.
Suatu sore, di rumah Melisa, kedua ibu duduk sambil minum teh dan membicarakan keadaan anak-anak mereka. "Aku khawatir sama Lily," kata ibu Lily dengan nada serius. "Dia sudah lama nggak ngobrol sama Melisa. Mereka terlihat jauh sekarang."
Ibu Melisa mengangguk. "Aku juga merasakan hal yang sama tentang Melisa. Dia jarang sekali menyebut nama Lily belakangan ini, padahal biasanya mereka tidak terpisahkan."
Percakapan mereka itu rupanya terdengar oleh Ezra, yang kebetulan sedang melewati ruang tamu. Mendengar kekhawatiran kedua ibu, Ezra berhenti dan menatap mereka dengan alis berkerut. "Melisa dan Lily ada masalah ya, Bu?" tanyanya.
Kedua ibu itu saling berpandangan sejenak sebelum mengangguk. "Sepertinya begitu, Ezra," kata ibunya. "Mereka mulai menjauh sejak masalah Aldo. Melisa merasa sakit hati, dan Lily sepertinya merasa bersalah."
Ezra menghela napas panjang. Ia sudah menduga ada sesuatu yang salah, apalagi setelah melihat Lily menangis beberapa kali. Dia memikirkan bagaimana hubungan Melisa dan Lily begitu erat sejak kecil, dan melihat mereka seperti ini membuatnya prihatin.
“Kalau gitu, kita harus melakukan sesuatu,” ujar Ezra. “Aku nggak mau hubungan mereka rusak begitu saja. Mereka sudah terlalu dekat untuk saling menjauh hanya karena kesalahpahaman.”
Ibu Lily dan ibu Melisa saling bertukar pandang dengan penuh harapan. “Tapi, apa yang bisa kita lakukan?” tanya ibu Lily. “Aku nggak tahu bagaimana cara menyatukan mereka kembali. Kalau kami coba bicara, mungkin mereka akan merasa tertekan.”
Ezra berpikir sejenak, lalu tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. “Bagaimana kalau kita ajak mereka liburan? Mungkin dengan suasana baru, mereka bisa lebih rileks dan mulai membuka diri. Aku rasa liburan keluarga ke Bali bisa jadi kesempatan yang baik.”
Ibu Melisa langsung tersenyum lebar. “Itu ide yang bagus! Liburan ke Bali bisa jadi momen untuk menyatukan mereka kembali.”
Ibu Lily juga mengangguk antusias. "Benar, liburan keluarga seperti itu bisa membuat mereka lupa sejenak tentang masalah dan kembali bersenang-senang seperti dulu."
Tanpa ragu, kedua ibu setuju untuk segera merencanakan liburan tersebut. Mereka berharap suasana yang santai di Bali bisa membantu memperbaiki hubungan persahabatan yang sudah lama terjalin antara Lily dan Melisa.
Beberapa hari kemudian, rencana liburan ke Bali pun disampaikan kepada seluruh anggota keluarga. Awalnya, baik Melisa maupun Lily terlihat tidak begitu antusias dengan ide tersebut. Keduanya masih terjebak dalam perasaan masing-masing—Melisa yang merasa terluka, dan Lily yang merasa bersalah.
Namun, ketika Ezra menyampaikan kabar ini kepada mereka berdua, dia melakukannya dengan gaya santai. "Ayo, kalian berdua butuh liburan," ujarnya sambil tersenyum pada Lily dan Melisa. "Nggak ada alasan buat nggak ikut. Bali itu indah, kalian bisa bersenang-senang dan rileks. Siapa tahu ini bisa jadi waktu yang tepat buat kalian ngobrol dan menyelesaikan semuanya."
Lily menunduk, merasa Ezra benar, namun tetap ragu. “Tapi, Kak, aku nggak yakin Melisa masih mau bicara sama aku…”
Melisa, yang juga ada di ruangan itu, sekilas melirik Lily sebelum mengalihkan pandangannya. Meskipun hatinya masih terluka, mendengar Ezra berbicara membuatnya berpikir bahwa mungkin mereka memang perlu waktu untuk bersama-sama di luar dari lingkungan kampus dan masalah mereka.
Dengan nada dingin, Melisa berkata, "Kita lihat saja nanti."
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Keluarga Lily dan Melisa berangkat bersama menuju Bali. Mereka menginap di sebuah vila yang terletak di dekat pantai, tempat yang tenang dan indah, dikelilingi oleh pemandangan alam yang menenangkan. Suasana di sana terasa damai, jauh dari hiruk-pikuk kota Jakarta, memberi kesempatan bagi semua orang untuk bersantai.
Pada hari pertama, mereka semua menikmati waktu bersama di pantai, berjalan-jalan dan berenang. Namun, meskipun berada di tempat yang sama, Lily dan Melisa masih menjaga jarak. Keduanya tampak tidak nyaman untuk memulai pembicaraan. Ezra yang memperhatikan hal ini merasa sedikit cemas.
Saat makan malam, Ezra memutuskan untuk memulai percakapan. "Lil, Mel, Bali ini cantik, ya. Rasanya kayak nggak ada masalah di dunia ini pas kita di sini," katanya sambil tersenyum.
Melisa mengangguk pelan, sedangkan Lily hanya tersenyum kecil. Suasana sedikit kaku, tetapi Ezra tidak menyerah. "Kalian berdua pasti punya banyak cerita selama ini. Ayo, dong, ngobrol lagi kayak dulu."
Melisa menghela napas panjang. "Ezra, nggak segampang itu."
Lily yang duduk di sebelahnya, merasa terpukul. Ia akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku minta maaf, Melisa. Aku nggak pernah bermaksud bikin kamu sakit hati. Aku tahu ini salahku, tapi aku nggak pernah punya perasaan ke Aldo."
Melisa diam sejenak, menatap piringnya sebelum perlahan menatap Lily. "Aku cuma merasa dikhianati, Lil. Kita selalu cerita tentang semua hal, tapi soal Aldo, kamu nggak jujur. Aku tahu kamu nggak salah, tapi rasanya aneh aja."
Ezra merasa senang mendengar Melisa mulai terbuka. "Mungkin sekarang waktu yang tepat buat kalian ngobrol baik-baik," sarannya.
Meskipun suasana makan malam itu tidak sepenuhnya mencair, setidaknya ada langkah kecil menuju penyelesaian masalah. Ezra merasa optimis bahwa liburan ini bisa menjadi awal dari rekonsiliasi hubungan mereka.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪