NovelToon NovelToon
CINTA WINARSIH

CINTA WINARSIH

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat
Popularitas:16.2M
Nilai: 4.9
Nama Author: juskelapa

Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.

Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.

Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.


Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?

Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?

***

"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"

Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.

update SETIAP HARI
IG @juskelapa_

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Peluk Aku

Dari Penulis :

Backsound : NAFF - Tak Seindah Cinta Yang Semestinya.

Listen, read and Enjoy.

Don't forget to likes, comments or votes for Dean.

***********

Winarsih masih berbaring di kamarnya menunggu pukul 11 malam. Sebenarnya malam ini dia tidak mau lagi memakan mie instan. Tapi tukang sate yang biasa mangkal di simpang jalan hari ini tutup. Jam 8 malam tadi Winarsih kembali ke rumah dengan perasaan kecewa setelah menempuh jarak 200 meter bolak-balik.

Sekarang jam segini perutnya sudah kembali lapar. Menyadari bahwa sering memakan mi instan itu tak sehat, Winarsih berniat mengubah menunya. Malam ini dia berencana akan memasak capcay telur saja.

Di sudut hatinya paling dalam, terselip harapan Dean akan pulang dan ke dapur saat dia sedang memasak. Dia akan dengan senang hati jika Dean mau memakan masakannya. Karena pria itu jarang sekali hadir untuk makan malam di rumah.

Winarsih beberapa kali mencoba melintasi dapur utama yang pintunya terbuka. Tapi melihat Tina dan Pak Lutfi yang terlihat asyik mengobrol membuatnya urung memakai dapur itu.

Dia kembali ke kamar dengan wajah hampa dan membaringkan tubuhnya di ranjang.

Sekarang nafasnya sesak sekali, everyday lingerie yang dibelikan Dean terasa lebih sesak. Apa itu cuma perasaannya saja?

Kamar Winarsih memiliki lebar 3 meter dan panjang 4 meter. Sebuah lemari hitam 3 pintu terletak memanjang di sudut kanan dengan jarak pintu lemari yang tak lebih dari 60 Senti ke tepi ranjang.

Karena hal itu, Winarsih tak pernah bisa membuka pintu lemari itu dengan sempurna.

Di sisi kiri kamar terdapat sebuah meja rias kayu model klasik dengan warna yang sama dengan lemari. Bangku kayu berwarna senada dengan bantalan krem teronggok di bawahnya. Sebuah jam dinding tergantung tepat di atas pintu.

Di atas meja rias ada sebuah lampu tidur berwarna kuning. Tiga buah sendok makan yang terletak di atas dua buah piring yang ditumpuk, serta sebuah botol air minum besar dengan sebuah cangkir plastik.

Sedangkan produk kecantikan dan perawatan tubuhnya, semua dimasukkan ke dalam laci. Berikut dengan sebuah dompet dan agenda yang sering ditulisinya.

Sudah hampir tengah malam, mata Winarsih mengantuk tapi lapar di perutnya semakin menjadi-jadi. Meski sudah mematikan lampu ruangan dan menyalakan lampu tidur, dirinya tak kunjung bisa terlelap.

Sebelum berbaring dan menarik selimutnya hingga ke batas pinggang, Winarsih telah melepaskan bra kedua pemberian Dean yang dipakainya sore itu. Kini dia telah siap tidur dengan seragam favoritnya. Sebuah daster.

Matanya terpejam, tapi pikirannya melayang-layang membayangkan singkong rebus dengan gula merah, tiwul, gatot dan getuk warna-warni yang biasa dibelinya di pasar.

"Ayam goreng buatan ibu juga enak ini," gumam Winarsih dengan mata terpejam.

"Bu, Winar kangen. Ibu dan Yanto lagi apa?" lirih Winarsih seraya memeluk guling ya.

"Bu.... Winar takut. Seandainya ini benar, Winar harus bagaimana?" suara Winarsih tercekat. Setetes kecil air matanya mengalir jatuh ke guling kemudian menghilang dengan cepat di sana. Dan perutnya kini kembali mual.

Merasa khawatir dirinya bakal terus menangis jika mengingat keluarganya, Winarsih bangkit menuju jendela dan menyibakkan sedikit tirai untuk mengintip ke luar.

Gelap. Satpam sudah mematikan semua lampu yang terang dan seperti biasa menyisakan beberapa lampu kuning yang memancar hangat.

Winarsih memutuskan keluar sebentar untuk menghirup udara malam dari depan pintu kamarnya. Tapi ketika baru sesaat memakai sandalnya, perut Winarsih kembali bergolak.

Ulu hatinya kembali terasa perih seperti ditusuk. Sesaat rasanya dia hendak mengeluarkan semua yang dimakannya tadi. Tapi ketika dia menunduk mengikuti dorongan dari perutnya, Winarsih kembali hanya meludah. Tak ada apapun yang keluar.

Matanya sudah memerah karena beberapa kali dia seperti tercekik-cekik. Ia menegakkan tubuh dan menghirup nafas dalam berkali-kali.

"Kamu belum tidur?" suara Dean yang selalu muncul lewat tengah malam kembali terdengar di belakangnya.

Winarsih menoleh tanpa membalikkan tubuhnya ke arah pria itu. Dia menyadari bahwa dia telah melepaskan bra-nya sesaat yang lalu.

"Belum Pak," jawabnya masih belum menghadap ke arah Dean.

Jelas Dean akan berprasangka macam-macam jika dia tiba-tiba lari ke dalam. Dan mengingat cahaya lampu di sana sangat minim, Winarsih masih bisa merasa lega. Dean tak akan begitu memperhatikannya.

"Kamu masih sakit?" tanya Dean lagi.

"Nggak Pak, saya nggak sakit kok" jawab Winarsih canggung.

"Win, ayo!" Dean menarik lengan Winarsih kemudian membuka pintu kamarnya dan menyeretnya ke dalam.

"Kamu laper kan? Saya ada bawain ini buat kamu." Dengan cekatan Dean meletakkan bungkusannya di atas meja rias Winarsih yang letaknya memanjang hingga satu sisinya menempel dengan bagian bawah ranjang.

"Kamu duduk di situ aja." Dean menunjuk tepi ranjang yang letaknya paling dekat dengan meja rias.

Kemudian dengan cekatan pria itu menarik bangku kecil di bawah meja dan duduk sambil mengeluarkan semua isi bungkusan yang dibawanya.

"Bapak dari mana?" tanya Winarsih.

Dean yang sepertinya terkejut dengan pertanyaannya, menghentikan gerakannya. Pria itu terpaku sesaat memandangnya.

"Aku baru ketemu temen-temen deket aku dari jaman SMA. Kita semua emang rutin ketemu sebulan sekali untuk sekedar hang out-- nongkrong," jawab Dean dengan senyuman kemudian tangannya mengambil piring sebuah sendok yang tak jauh darinya.

"Kamu makan dulu," perintah Dean. "Ini enak, kamu pasti suka" sambung pria itu lagi sambil menyodorkan sekotak makanan dan sebuah sendok ke arah Winarsih.

Winarsih yang memang sangat lapar, mengambil sendok itu dari tangan Dean dan mulai memotong makanan dengan ujung sendoknya.

Melihat kesulitannya menggunakan sendok, Dean mengambil sendok lain dan membantunya memotong-motong ayam hingga ke bentuk kecil-kecil.

"Ini, cobain." Dean menyendokkan satu suapan ke arah Winarsih.

Tak perlu diminta untuk kedua kalinya, ia membuka mulut untuk menerima suapan Dean. Matanya memanas. Hatinya tiba-tiba digelayuti kesedihan karena perhatian luar biasa pria di hadapannya.

Winarsih menunduk mengunyah makanannya sambil menyibukkan sendok di tangannya dengan membolak-balik potongan ayam.

Air matanya sudah berdesakan. Anak majikannya ini, yang bisa jadi telah menanamkan satu benih di rahimnya, adalah seorang tunangan perempuan lain.

Dadanya sesak. Dia merasa tak berhak merusak kebahagiaan Dean dengan menyela di tengah-tengah seperti seorang wanita yang memanfaatkan keadaan.

Jika memang benar, dia harus pergi tanpa ribut-ribut. Dia tak mau Dean malu karena dirinya.

Winarsih cepat-cepat memasukkan suapan lain ke mulutnya hingga penuh agar dia tak punya waktu untuk menangis. Air matanya yang sedari tadi sudah mengembang kini jatuh menetes.

"Kamu nangis? Kamu sakit Win?" tanya Dean sembari mengusap lengan kirinya dengan lembut.

"Nggak Pak, saya cuma seneng. Makanan yang Bapak bawa ini enak. Saya nggak pernah makan yang seenak ini," jawab Winarsih terisak sambil mengusap air matanya.

"Aku minta maaf, Win .... Aku minta maaf," bisik Dean.

Winarsih hanya diam. Melahap semua makanan yang disodorkan padanya dengan rakus. Jantungnya sakit seperti ditusuk.

*******

Apalagi yang harus dilakukannya? Rasanya kata maaf saja tidak akan pernah cukup. Bahkan Winarsih tak menyahuti perkataannya. Dean terpekur serba salah.

Winarsih pasti menyimpan sesuatu yang tak bisa diceritakannya kepada orang lain. Meski cahaya lampu kamar wanita itu redup, tapi Dean bisa melihat mata wanita itu yang berkilat karena air mata yang menggenang.

"Kamu yakin nggak ada mau ngomong sesuatu ke aku?" tanya Dean lembut sambil mengusap lengan kiri Winarsih yang terlipat di atas meja.

Winarsih menggeleng tanpa menatapnya. Tangan Dean kemudian naik ke wajah wanita itu dan mengusap air mata yang terlihat berkilauan di bawah cahaya lampu.

"Kalau kamu yakin nggak ada yang mau kamu sampein ke aku, aku cuma bisa ngejanjiin mulai malam ini aku nggak akan biarin kamu makan sendirian tengah malem," ucap Dean.

"Kamu denger 'kan?" tanya Dean memastikan Winarsih mengerti.

Wanita di depannya mengangguk pelan beberapa kali masih dengan mulut penuh dan air mata yang masih terus mengalir.

"Aku akan usaha terus temenin kamu, sampai aku nggak bisa lagi," sambung Dean sendu.

Setelah Winarsih selesai makan dan meneguk air putih segelas penuh. Dean memasukkan semua sisa kemasan makanan ke dalam plastiknya semula dan menaruhnya di dekat pintu.

Dean menggenggam tangan Winarsih untuk mengajaknya bangkit. Dan saat wanita itu berdiri di depannya menghadap cahaya lampu, Dean menatap sesuatu yang berbeda di balik tubuh yang terbungkus daster itu.

Dean menarik Winarsih hingga wanita itu menempel di tubuhnya. Dan dia merasakan sesuatu yang dipikirkannya barusan.

"Win...."

Winarsih mendongak menatapnya.

"Aku cuma ingin memastikan sesuatu," ucap Dean yang mulai merasakan dadanya bergemuruh.

"Apa itu?" tanya Winarsih membulatkan mata yang membuat Dean semakin gemas.

"Kamu boleh menutup muka atau bahkan muntah kalo kamu jijik ke aku."

"Eh? Maksudnya Pak?" pertanyaan Winarsih itu tak sempat dijawab lagi oleh Dean.

Dean meletakkan kedua tangan Winarsih melingkari pinggangnya.

"Peluk aku Win," bisik Dean sebelum menyapukan bibirnya ke bawah telinga kiri Winarsih.

To Be Continued.....

1
Anonymous
Terkadang sikap orang tua lebih memelihara egonya daripd menyalurkan kasih pd anaknya.tindakan win yg sabar itu sudah betul.
Anonymous
Masa sih sekelas kelga mentri cari info rasanya lelet banget gak gercep gitu,anak buah nya pd kmana aja wkwkwk
Rima Wardhani
keren ceritanya... terimakasih
Anonymous
Seorang ibu jika anak nya bahagia ibunya duluan yg merasa bahagia.dan jika anaknya ber aib maka orang tua yg kena lebih dulu😭😭😭
Dyana
ga lepas itu jahitan nunduk2 ngemut s otong/Silent//Silent//Silent//Facepalm/
Anonymous
Sumpah aku mewek gak tega miris banget sih winarsih😭😭😭😭😭
Linda Antikasari
Luar biasa
Anggraeni Leea
luarrrr biasaaa👍👍👍👍👍👍👍
Anna
semua wanita selalu ingat akan sejarah terutama yang g enak 😂
Sastri Dalila
👍👍👍👍👍👍👍👍👍
Tuty Ismail
Luar biasa
Riski Candra
mulutnya mau di tabok
Tami Andriani
ampun dah dean🙈
Magdalena Ambatoding
baru tau rasa dean , didiemin istrinya emang enak /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Yoe Anita
lakik gue beud
azima pml
waduh 🤣🤣🤣semoga bu amelia juga menerima
Zachary
Luar biasa
Rin Riyanti
cerita bagus banget
Bundy Syifa Achmad
keren abis ini novel...kok kamu pintar si thor , buat alur ceritanya, sini gwa jitak thor wkwkwk
Bundy Syifa Achmad
haduh thor karyamu luarrr biasa, macam orang gila... ngikik sendiri
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!