Lusiana harus mengorbankan dirinya sendiri, gadis 19 tahun itu harus menjadi penebus hutang bagi kakaknya yang terlilit investasi bodong. Virgo Domanik, seorang CEO yang terobsesi dengan wajah Lusiana yang mirip dengan almarhum istrinya.
Obsesi yang berlebihan, membuat Virgo menciptakan neraka bagi gadis bernama Lusiana. Apa itu benar-benar cinta atau hanya sekedar obsesi gila sang CEO?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peduli Tapi Gengsi
Lusi berjalan sambil menunduk, menyembunyikan mukanya. Karena dia tahu, pasti Virgo menatapnya.
"Kenapa kau yang mengantarnya?"
Virgo melihat laptopnya begitu melihat siapa yang datang. Untuk apa pekerja cleaning service itu yang mengantar makanan ke ruangannya?
"Saya letaknya di mana, Pak?" Lusi bertanya dengan dagu sedikit ia angkat agar bisa melihat lawan bicaranya. Tak sopan rasanya bicara pada atasan dengan sikapnya yang terus menunduk terus.
'Pucat sekali anak ini! Apa dia sakit?' batin Virgo begitu melihat lebih jelas wajah Lusi yang kurus kering tersebut.
"Taruh meja!" perintah Virgo.
Lusi pun meletakkan makanan dan minuman itu di atas meja, kemudian dia hendak pergi karena urusannya sudah selesai.
"Permisi, Pak!"
"Siapa yang menyuruhmu pergi? Duduk!" titah Virgo.
Lusi pun dibuat ragu, takut juga berdua saja di ruang kerja lelaki tersebut.
"Kau sakit?"
Lusi mendongak kaget, karena pria di depannya itu bertanya seperti seolah peduli padanya.
"Tidak, Pak. Saya sehat!" jawab Lusi menggeleng.
'Untuk apa aku peduli padanya!' gerutu Virgo dalam hati.
"Oke! Kau boleh keluar!"
Lusi pun mengangguk, dia beranjak keluar dari ruang Virgo, belum juga membuka pintu, sudah ada wanita yang nyelonong masuk. Aromanya wangi, khas parfum mahal yang harganya puluhan juta.
"Honey!"
Wanita tidak memperhatikan Lusi, baginya tidak penting. Cuma cleaning service yang badannya dekil dan bau. Reva bahkan menjaga jarak saat Lusi akan keluar. Takut kalau kulit mereka bersentuhan. Reva belum sadar, kalau wanita yang berpapasan dengannya barusan ada kesamaan dengannya. Meskipun lebih cantik Reva ke mana-mana.
Apalagi Lusi sudah pakai maskernya lagi, orang pun tak begitu bisa mengenalinya dengan jelas.
"Honey, kenapa kartu aku gak bisa dipakai? Aku perlu sekarang!" ujar Reva. Pintu ruangan masih terbuka, dan Lusi juga masih di ambang pintu, jelas dia bisa mendengarkan apa yang diucapkan wanita cantik itu.
Namun, satu hal yang baru Lusi sadari. Tadi sempat melirik, seperti famili dengan wajah tersebut. Lusi baru sadar kalau ada kemiripan di antara mereka.
"Aku mirip dengannya? Atau dia mirip denganku?" Lusi kemudian tersenyum getir. Malu rasanya menyamakan dirinya yang kini buruk rupa dengan wanita cantik bak model barusan di ruang Virgo.
"Tapi siapa wanita tadi? Kelihatan begitu akrab dengan pak Virgo," gumam Lusi lalu menoleh.
"Kenapa aku penasaran? Aku tidak seharunya ikut campur dalam kehidupan pak Virgo. Aku harus tahu diri," ucap Lusi pada dirinya sendiri, seolah sadar kalau dia dan pak Virgo, bagai pungguk yang merindukan rembulan.
Sementara di ruang Virgo, wajahnya langsung dingin begitu Reva datang ke kantor.
"Kenapa kamu ke sini? Ini kantor!"
"Ya, aku tahu ini kantor. Tapi akhir-akhir ini kamu sepertinya menghindar dari aku! Kenapa sih? Kamu berubah, Honey! Kamu banyak berubah," ucap Reva dengan mengerakkan kedua tangannya saat berbicara.
"Kamu yang berubah ... Bukan aku!" balas Virgo dengan tatapan tegas.
Reva kelihatan tidak terima dengan statement yang Virgo ucap barusan, dia langsung duduk dengan kasar dan minum minuman di atas meja agar pikirannya dingin. Ingin shoping, belanja foya-foya, kartunya malah dibekukan oleh sang suami. Jelas Reva marah.
Namun, bukan tanpa alasan kartu Reva dibatasi. Ini karena Reva sudah keterlaluan. Membeli tas sudah seperti membeli kacang goreng, tidak cukup satu. Padahal harganya lumayan mahal.
"Jadi mau mu apa sekarang? Aku sedang sibuk!" kata Virgo, seolah mengusir secara halus.
"Ish!" Reva merasa tersinggung, dia langsung berdiri dan berjalan gusar meninggalkan ruangan Virgo.
Sambil jalan, bibirnya mengomel. "Pasti ada yang gak beres selama aku pergi. Virgo laki-laki normal, jelas dia butuh pelampiasan , tapi sekarang dia malah sering menolak saat aku ajak berhubungan. Jangan-jangan dia punya perempuan lain di luar sana. oke! Aku akan tanya Roy!"
...
Roy kelihatan gugup saat duduk satu meja dengan Reva.
"Kamu pasti tahu sesuatu tentang Virgo."
"Maaf, saya tidak mengerti." Roy pura-pura bdoh.
Reva langsung mengeluarkan ponselnya, "Berapa nomor rekeningmu. Aku transfer, tapi laporkan semua kegiatan Virgo ... Semuanya!"
Roy menelan ludah, habis sudah sampai ketahuan pak Virgo. Namun, dia juga tak enak menolak permintaan Reva. Akhirnya, Roy memberikan nomor rekeningnya.
"Baik, nanti akan saya laporkan."
"Semuanya! Jangan lupa!" sela Reva.
"Baik, semuanya." Roy mencebik dalam hati. Mampushhh.
***
Jam pulang kerja.
Lusi sudah siap-siap untuk pulang, sudah tak pucat lagi. Karena perutnya sudah penuh dan kenyang. Apalagi sempat dibawakan martabak karena sudah menggantikan temannya beberapa saat.
Lusi berdiri sendiri di halte, menunggu bis atau angkutan yang ada. Mau naik taksi tapi ingin hemat. Karena pulangnya telat, angkutannya mulai jarang.
Sambil bengong menunggu bus atau angkot, Lusi menatap mobil yang lalu lalang.
"Tirta ... Jika kamu ikut ayah kamu, kamu pasti dapat merasakan kenyamanan dalam berkendara. Kamu tidak akan lelah menunggu dan berpanas-panasan."
Lusi menghitung sudah berapa banyak Pajero yang lewat di depannya.
CHITTT!
Lusi menoleh, sebuah mobil hitam berhenti tepat di halte. Kaca mobilnya terbuka separuh.
"Masuk!" perintah orang di dalam mobil.
Lusi menoleh kanan kiri, lalu menggeleng.
"MASUK!"
Lusi langsung berdiri, ia angkat tas bekal miliknya lalu mendekat pada mobil tersebut, kini, Lusi sudah duduk di sebelah pria yang teriak padanya barusan.
"Saya bisa naik bus atau angkot saja," ucap Lusi.
"Agak geser! Aku tak suka aromamu!"
Lusi benar-benar bergeser sampai dekat pintu, lalu mengendus baunya sendiri. Gak bau kok, lelaki ini memang suka sekali merendahkan nya.
"Saya turun saja," pinta Lusi tak nyaman.
"Duduk dan diam saja!"
Lusi diam menurut, ia kemudian melirik spion depan, terlihat pengemudi mengulas senyum. Roy yang menyetir sedang menertawakan Lusi. Kalau di depan Virgo, Lusi sudah mirip tisu kena air, Lusi tak berdaya dan mleyot dengan ancaman Virgo. Laki-laki itu seperti punya kekuatan untuk tak bisa dibantah. Ucapannya adalah perintah.
***
Sampai rumah Lusi juga, lebih tepatnya rumah pak Hadi. Lusi langsung turun, dan mobil itu langsung jalan lagi. Cuma begitu saja, tanpa ada basa-basi.
"Langsung jalan!" kata Virgo.
"Baik, Pak."
Lusi belum mengucapkan terima kasih, tapi mobil langsung pergi.
***
Rumah sakit
Susah beberapa hari berlalu, Virgo harap-harap cemas dengan hasilnya. Hasil tes DNA belum keluar, tapi dia terus-menerus meneror pihak rumah sakit untuk mengeluarkan hasilnya lebih cepat.
Sampai akhirnya, suatu siang pas jam istirahat. Ada telepon langsung ke nomor Virgo dari pihak rumah sakit.
"Jadi hasilnya bagaimana?" tanya Virgo penasaran. Padahal disuruh datang ke rumah sakit untuk melihat sendiri.
"Hasilnya sebaiknya Bapak sendiri yang membukanya."
"Dokter pasti sudah tahu, tolong buka untuk saya!" omel Virgo seenaknya sendiri.
"Tapi ..."
"Saya butuh hasilnya!" ujar Virgo.
"99 pesen, DNA cocok. Artinya anak tersebut memang anak pak Virgo."
Virgo mengusap wajahnya dengan kasar.
"Hallo ... Pak ... Pak Virgo masih bisa mendengar suara saya?"
"Ya, saya dengar," suara Virgo tak sekeras sebelumnya. Lelaki itu kemudian mencari kunci mobil, kebetulan diletakkan Roy di lacinya. Tanpa pikir panjang, Virgo langsung mengambil kunci itu dan langsung bergegas ke lantai dasar. Padahal, sejam lagi ada agenda meeting.
"Pak!! Pak Virgo!" panggil Roy yang berpapasan di lift.
"Aku ada urusan!"
"Tapi, Pak. Sebentar lagi ..."
Ucapan Roy langsung dipotong. "Kau atur saja sendiri!"Virgo lari dan bersambung.
terimakasih juga kak sept 😇