NovelToon NovelToon
Battle Scars

Battle Scars

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?

Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.

vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gelang Murahan, Tapi Gue Suka

Hari perlombaan sudah tiba. Hampir setengah dari santri ikut serta. Mereka juga sudah bersiap-siap akan pergi menggunakan mobil pick up.

Tentunya termasuk Balqis. Meskipun tidak ikutan, tapi dia begitu kekeh ingin ikut untuk melihat tempat perlombaan yang di mana acaranya akan dihadiri 10 pesantren.

Setelah semua santri berada di mobil yang berjajar ada empat, deru mesin pun terdengar. Detik kemudian, melaju pergi meninggalkan sebagian santri yang menyemangati.

Di sepanjang jalan, semua santri tidak diam. Mereka shalawatan bersama untuk menghilangkan rasa nervous. Apalagi bila menjadi juara mereka akan menjadi perwakilan ke tingkat selanjutnya.

Sesampainya di tempat tujuan yang diadakan di salah satu pesantren yang terbilang besar. Karena dari segi bangunannya pun berbeda dengan pesantren Arsalan.

Semua santri turun bersamaan dengan santri dari pesantren lain. Mereka juga terlihat antusias.

"Ingat, jangan berpencar dari rombongan. Bila kalian hilang nanti Aby pusing mencarinya."

Semua santri mengangguk. Mereka juga tidak mungkin berpisah dari yang lain. Apalagi harus mencari satu orang dari ratusan santri dan orang-orang yang hadir bukanlah hal yang gampang.

"Umi, boleh nggak kalo saya yang dorong kursi Om Gus?" Balqis tersenyum cengengesan.

"Boleh. Dorongnya hati-hati jangan sampai nabrak orang." Fatimah memberikan alih kursi roda Alditra yang mukanya sudah memucat.

Alditra tidak berharap Balqis mendorong kursinya. Apalagi dia sendiri bisa menjalankannya.

Bukan hanya santri yang antusias hadir, terlihat pedagang juga ikut serta menjajakkan makanannya. Dari yang biasa sampai menggiurkan.

Setelah semua kumpul di aula, setiap santri yang ikut lomba berpisah ke ruangan masing-masing! Tentunya mereka juga ditemani para Ustadz dan Ustadzah.

"Eh, Gue ikut ke mana nih?" tanya Balqis kebingungan.

Semua teman-temannya pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Dia sendirian celingukan bersama Alditra.

"Mentang-mentang gue nggak ikutan ya.. Mereka nggak mengajak gue sama sekali."

Alditra yang melihatnya menggelengkan kepala. Karena bukan hanya dirinya yang ditinggal, dia pun malah sama. Dia tidak bisa berbaur seperti yang lain, apalagi keadaannya tidak bisa bicara.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam"

"Apa Ustadz dan Ustadzah ini sedang mencari santrinya? Atau akan pergi ke ruang perlombaan?"

"Oh, iya. Kita itu lagi tersesat. Dan santri kita nggak tau di mana?"

Alditra yang mendengar jawaban Balqis segera mengambil buku. Dia menulis di sana untuk menjelaskan. Agar pria sebagai panitia itu tidak salah paham.

"Nama pesantrennya apa, Ustadzah? Biar saja bantu carikan?"

Sebelum Balqis menjawab. Alditra lebih dulu memperlihatkan tulisannya.

(Semua santri kita sudah masuk ke tempat lomba. Kita di sini hanya menunggu mereka sampai selesai.)

Setelah membaca tulisan. Panitia itu mengangguk paham. "Oh... Kalau begitu Ustadz bisa menunggu di sana bersama istrinya. Kita juga sudah menyediakan berbagai jamuan,"

Alditra mengangguk. Kemudian panitia itu pun berlalu pergi.

"Istri!? Waw, kayaknya kita cocok Om Gus... Gimana kalo kita wujudin? Hihihihi" Balqis melihat Alditra yang sedang menatapnya dengan tajam.

"Ya Allah... Ga bisa diajak becanda nih Om Gus... Ya udah ah, yuk... Kita ke sana."

Balqis mendorong kursi roda Alditra. Namun ditahannya dengan kuat, dia bingung bila harus berbaur dengan orang-orang. Apalagi dia tidak bisa menjawab pertanyaan mereka.

"Kenapa?"

(Kita ke tempat yang lain saja. Lihat-lihat gedung seperti apa?)

"Ok... Ide bagus!"

Balqis mendorong kursi Alditra ke tempat lain. Dia sendiri tidak menyesal karena harus ikut, karena itung-itung bisa mengasuhnya.

Di setiap langkah yang dilakukan Balqis, dia juga menjadi pusat sorotan orang-orang. Mereka bukan melihat dirinya, melainkan melihat keadaan Alditra. Terlihat sekali di mata mereka iba terhadap Alditra.

"Wow... Om Gus liat deh ini? Banyak banget!"

Alditra ikut menoleh. Dia melihat puluhan piala yang sengaja di pajang di lemari kaca besar. Bukan hanya piala, piagam juga ikut ada.

"Selama 19 taun hidup, gue belom pernah dapetin piala sendiri."

Balqis memperhatikan salah satu piala paling besar di sana.

"Cih... Jangankan piala, jadi juara satu di kelas aja nggak pernah."

Alditra yang melihat Balqis tertawa segera menariknya lalu melanjutkan jalan-jalannya. Langkah Balqis kembali terdengar akibat sepatu yang dipakainya. Mereka pun lagi-lagi terhenti saat berada di depan ruangan lomba kaligrafi.

Balqis berjinjit karena ingin melihat ke dalam. "Di mana Siti? Kok gue nggak liat dia sih?"

"Eh! Om Gus... Tungguin!"

Balqis segera berlari. Alditra pergi meninggalkan dirinya.

"Ck... maen pergi-pergi aja nih!"

Mereka berdua terus saja memutari lingkungan pesantren yang luas itu. Kemudian kembali berhenti saat melihat Mesjid yang begitu besar dan megah.

"Masya Allah. Bagus banget!"

Mata Balqis berbinar. Dia juga maju beberapa langkah ingin melihat lebih dekat. Andaikan saja dia memegang ponsel, mungkin dia sudah mengabadikannya. Kemudian diposting di berbagai sosial media.

"Assalamu'alaikum, Ustadz,"

Alditra menoleh. Dia melihat panitia tadi memberikan dua bingkisan. Setelah memberikannya, panitia itu kembali pergi.

Sedangkan mereka berdua mencari tempat yang nyaman untuk istirahat, karena berkeliling sejak tadi membuatnya kelelahan.

"Di sini aja ya, Om Gus."

Balqis mendudukkan dirinya di kursi. Tempat itu juga ramai oleh santri dan warga sekitar.

"serius gue capek banget! Nggak nyangka tempatnya segede ini..." Balqis membuka air dalam kemasan. Dia meneguknya sampai setengah. Kemudian membuka bingkisan yang isinya nasi dan kue.

Alditra hanya diam saja. Matanya begitu anteng memperhatikan air mancur di depannya. Ingin sekali dia membangun pesantren sebesar ini suatu saat nanti.

Tidak hanya pesantren, namun yayasan pendidikan juga ada di dalamnya. Agar semua santri tidak hanya mengaji, mereka juga bisa sambil sekolah.

Namun keadaannya sekarang membuat dia mengubur keinginannya sejak dulu. Kini dia tidak bisa berjalan dan bicara, membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa.

Iya, insiden beberapa tahun lalu merubah dirinya dalam sekejap. Padahal dulu dia sangat aktif dalam kegiatan apa pun, bahkan menjadi panitia perlombaan pun sudah sering dilakukannya saat jadwal di rumah sakitnya sedang libur atau bahkan dia sengaja mengambil jatah cutinya hanya untuk mengukuti acara seperti ini.

Namun sekarang semua berubah. Dia harus duduk di kursi roda dan tidak bisa mengeluarkan suaranya.

"Hmmm. Rasanya enak sih! Tapi kurang banyak."

Alditra menoleh. Kemudian memalingkan wajahnya. Mata orang-orang memperhatikannya. Mungkin mereka kenal siapa dirinya?

Tuk!

Alditra mendekatkan bingkisan miliknya pada Balqis agar dia memakannya. Apalagi terlihat dia belum kenyang.

"Gue nggak mau, Om. Ini juga udah cukup kok."

Balqis beranjak. Dia memasukkan semua sampahnya ke dalam tong sampah yang disediakan oleh panitia. Dia tidak ingin rakus memakan semuanya, nanti Allah membencinya.

Setelah beberapa menit dan beberapa jam. Mereka berdua masih berada di tempat itu. Menunggu orang-orang yang belum kunjung selesai.

Bahkan Balqis kini tertidur setelah melaksanakan shalat dzuhur. Dia masih ditemani Alditra yang membaca buku.

"Hoam!"

Balqis menggeliat. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia sudah bosan berada di tempat itu dan tidak melakukan apa pun.

"Om Gus, jajan yuk? Gue bawa duit kok."

Alditra menutup bukunya. Dia mengangguk menyetujui keinginan Balqis. Apalagi wajahnya terlihat badmood karena bosan.

Setelah menghabiskan waktu untuk berputar-putar agar sampai di luar. Balqis menatap pedagang itu satu persatu. "Om Gus, kalo makan itu nggak bikin sakit perut kan?" bisiknya.

Alditra menggelengkan kepalanya. Dia tahu Balqis tidak pernah makan jajanan kaki lima seperti itu. Dia pun memutar roda kursinya menghampiri salah satu pedagang.

Balqis hanya mengikuti saja. Dia juga menerima sosis bakar yang diberikan Alditra. Dengan seribu keraguan, dia mencicipinya.

"Wih, enak juga rasanya!"

Karena sudah tahu makanan kaki lima rasanya enak, Balqis membeli beberapa jajanan itu. Dia juga membaginya dengan Alditra yang anteng menunggu.

"Ini kapan kita pulang?"

Balqis merasa menyesal karena sudah ikut. Mungkin bila dia tidak ikut dirinya bisa rebahan sekenyang mungkin. Apalagi mengaji harus libur.

"Bukannya itu?"

Balqis yang sejak tadi melihat orang-orang dibuat memicing. Detik kemudian, matanya membulat saat melihat perempuan yang tengah diperhatikan dengan jelas.

Dia pun memalingkan wajahnya. Dia takut perempuan itu menghampirinya. Apalagi dia tahu betul siapa dia?

"Hallo, Balqis!"

Degh!

Shhhiit!!

Niat hati pura-pura tidak kenal, malah berujung dihampiri duluan. Balqis pun menoleh, dia memasang wajah sombongnya seperti biasa.

"Qis, sejak kapan kamu dikerudung?"

"Kenapa emangnya? Nggak boleh ya, gue pake kain kayak gini?"

"Ya... Boleh saja kok. Malahan kamu terlihat cantik loh!"

Balqis mengangguk pelan. Kemudian melihat perempuan itu yang menunjukkan ponselnya.

"Dua minggu lagi akan ada acara reunian angkatan kelas kita. Kamu harus datang."

"Mmhh.... gitu ya...." jawab Balqus masa bodoh.

"Iya. Kamu susah dihubungi. Tapi untung saja kita bertemu di sini."

"Hhmmm!" Balqis hanya tersenyum kecut ke arah perempuan itu.

"Di acara reunian nanti, kita semua akan menceritakan kehidupan kita yang sekarang. Misalnya Ririn. Dia kan sekarang membuka bisnis sendiri. Dia juga akan membawakan oleh-oleh untuk kita,"

"Bisnis?"

"Iya. Sudah ada beberapa teman kita yang menjalankan bisnis sendiri. Mereka jadi mandiri, dan bahkan Amelda sekarang jadi pemimpin perusahaan ayahnya."

Balqis hanya terdiam.

"Kalau aku? Aku sekarang jadi santri. Dan alhamdulillah aku juga diangkat jadi wakil rois. Trus dipercaya juga jadi guru ngaji anak-anak. Kamu sekarang ngapain, Qis?"

Balqis semakin diam. Di saat semua teman-temannya sudah menentukan arah kehidupan, dia masih sama.

"Balqis, pokoknya kamu harus datang. Tempatnya di cafe starts. Tgl 2 nanti."

Balqis pun hanya mengangguk. Dia juga menatap Perempuan yang bernama Azzahra berjalan menjauhinya.

"Haah!"

Raut wajah Balqis seketika berubah. Dia kebingungan harus menceritakan apa pada teman-temannya nanti, sedangkan dia belum jadi apa-apa.

Padahal dulu dia paling angkuh dan ditakuti. Bahkan merendahkan orang dengan kata-kata tidak punya masa depan sering diucapkannya.

Namun sekarang, mereka sudah memiliki masa depan yang bagus. Sedangkan dirinya? Tidak tahu seperti apa? Karena hidupnya masih tetap sama. Malah jauh dari mereka yang sering direndahkan olehnya.

"Hah.. Kayaknya gue nggak bakalan ikut di acara itu."

Alditra yang melihat Balqis tiba-tiba berbeda merasa keheranan. Dia pun memberikan pisang ijo agar rasa sedihnya teralihkan.

(Ini untuk penghilang badmood.)

*****

"Ck!"

"Kapan sih mereka keluar?"

Balqis yang sejak tadi menunggu sudah dibuat kesal. Apalagi sekarang jam menunjukkan pukul 7 malam. Berarti itu tandanya dia sudah seharian menunggu seperti boneka.

"Huh!'

Dia pun melirik ke sana sini, tidak ada satu orang pun yang dikenalnya. Bahkan Alditra pun hilang entah ke mana. Laki-laki itu melengos pergi meninggalkannya.

"Ck... Kemana lagi tu Om Om!?"

Balqis pun beranjak sambil berkacak pinggang. Entah sudah berapa kali dia mondar-mandir untuk menghilangkan kejenuhannya.

"Nah, itu dia?"

Melihat Alditra datang. Balqis langsung saja melontarkan beberapa pertanyaan sampai dia menutup telinga.

(Stop)

Alditra memberikan isyarat melalui tangannya. Telinganya sudah sakit mendengar perkataan Balqis. Apalagi bukan hanya dirinya yang kini menunggu mereka, dia pun sama.

Kata bosan tentu saja sudah menghantuinya sejak tadi. Tapi mau bagaimana lagi? Acara belum kunjung selesai karena harus diseleksi dulu.

"Om! Gue mau pulang!"

Bagaikan seorang anak kecil, Balqis merengek ingin segera pulang. Kakinya sudah kesemutan menunggu mereka.

"Hah... Apaan nih?"

Rengekan Balqis terhenti saat Alditra menunjukkan sesuatu padanya. Dia pun mengambilnya dan melihat dengan teliti.

"Ini gelang buat gue?"

Sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal, Alditra mengangguk pelan. Dia juga melihat Balqis langsung memakai gelang itu di tangan kirinya.

"Hmm.. Gelang murahan sih, bukan emas sih, tapi lucu, unik juga bentuknya... Not bad... ok fix. Gue suka." ucap Balqis apa adanya.

Alditra ikut senang melihatnya. Karena inilah yang dia sukai, memberi sesuatu pilihannya sendiri, bukan disuruh memilih.

Dia memberi Balqis Gelang tidak mempunyai maksud apa-apa. Melainkan Gelang itu dibelinya karena tidak ada kembalian saat dia membeli sapu tangan.

"Kenapa nggak ngasih dua?"

"Ya ampun. Dia malah nawar pula." batin Alditra.

Balqis masih terus memperhatikan Gelang itu sambil senyum-senyum sendiri. Dia terlihat senang mendapatkan hadiah. Tapi detik kemudian, senyumannya hilang seketika. Dia mengingat gelang peninggalan alm. Mommynya belum ditemukannya juga.

Alditra yang melihat Balqis seketika berubah merasa keheranan. Dia pun melambaikan tangannya agar dia sadar.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai."

Balqis dan Alditra menoleh bersamaan. Mereka melihat semua orang yang ditunggunya sejak tadi keluar bersamaan.

"Alhamdulillah, kalian berdua baik-baik saja. Tadi Aby mencari kalian," ujar Arsalan.

"Dari tadi kita di sini kok. Malah sampe akaran pula," ketus Balqis.

"Maaf, Balqis! Kita masuk ke babak seleksi tadi. Jadi langsung mengikuti lombanya lagi," sela Melodi.

Balqis hanya mengangguk saja. Dia sudah lelah bila kembali bicara. Apalagi sekarang sudah malam dan badannya ingin segera istirahat.

Setelah semua orang berkumpul, mereka pun naik ke mobil. Detik kemudian, melaju pelan meninggalkan tempat perlombaan.

"Al, apa sejak tadi kamu bersama Balqis?" tanya Azizah.

Alditra mengangguk. Dia juga menjawab dengan isyarat.

(Kalian meninggalkanku sendirian.)

"Maaf Al. Kita terlalu antusias masuk ke ruang lomba sampai melupakan kamu," ucap Azizah.

(Tidak apa-apa. Lagian tidak jadi masalah buat saya.)

Azizah tersenyum. Kemudian kembali fokus ke depan.

"Al, apa Balqis tidak mencoba kabur?" tanya Arsalan.

Alditra menggelengkan kepalanya.

"Syukurlah. Saat Aby sudah masuk ke ruang juri. Aby kembali keluar mencari kalian. Aby baru ingat Balqis ikut," jelas Arsalan. "Jujur saja, Aby sangat takut dia kabur. Meskipun bersama kamu, tapi itu tidak memungkinkan dia mengurungkan niatnya."

Alditra terdiam. Dia ingat bila Balqis sudah memutuskan untuk tinggal dan tidak akan kabur lagi. Bila dia masih berniat untuk melakukan itu, sudah dipastikan dia sudah hilang.

Sesampainya di pesantren.

Mereka semua turun dengan badan yang lemas. Antara ngantuk dan lelah menjadi satu.

Namun tidak dengan Balqis, dia malah terlihat bahagia. Apalagi dia menyempatkan diri menatap Alditra sebelum pergi.

"Eh!"

Balqis segera berlari sambil membawa setumpukan jajanan. Dia tidak ingin ketahuan Alditra tengah memperhatikannya.

Sesampainya di kamar. Balqis langsung menghempaskan dirinya ke kasur. Meskipun tidak seempuk kasur di rumahnya, tapi ini sudah cukup membuatnya nyaman ketika tidur.

"Qis, kamu jajan seabregan?"

Mata Raras membulat melihat beberapa plastik. Dia pun membukanya untuk melihat.

"Kalian tau nggak? Gue tuh bosen banget nunggu kalian sampe kita jajanin semua pedagang sama Om Gus," ucap Balqis.

Melodi beserta yang lain langsung menatap ke arahnya.

"Ka-kamu bersama Gus Alditra?" tanya Siska terbata-bata.

"Iya. Gue udah keliling pesantren, diem di taman nya sampai akaran pula, Malah entah udah berapa banyak duit yang gue keluarin buat beli makanan makanan ini," jawab Balqis.

Mereka masih terdiam tidak percaya. Ini untuk pertama kalinya mereka mendengar ada yang berani dekat dengan Alditra, apalagi dia terdengar galak sampai semua orang tidak berani mendekati.

"Qis, bukannya aku sudah bilang jangan terlalu dekat dengan Gus Al? Aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Melodi.

"Iya, benar tuh. Kamu harus jauhi dia. Nanti dia marah," timpal Siska.

"Kalo gue jauhi dia, gue pastiin sekarang kalian lagi nyari gue di antara ratusan orang. Gue ngikutin Gus Al itu supaya nggak ilang. Apalagi disana banyak banget orang yang bikin kepala gue sakit," jelas Balqis.

"Bener juga, ya?" sahut Siti. "Balqis kan orangnya teledor, bisa saja dia pulang bersama rombongan santri lain,"

"Nah kan... gitu! Gue aja sampe bingung kalo ketinggalan Om Gus. Untung aja dia pakai kursi roda, jadi nggak terlalu pusing nyarinya," balas Balqis.

"Terus bagaimana reaksi Gus Al saat kamu ngikutin dia? Apa dia pemarah seperti yang dikatakan orang-orang?" tanya Amel.

"Nggak kok. Kalo dia pemarah, mungkin dia udah marahin gue yang terus-terusan ngikutin dia. Tapi kan buktinya dia baik tuh, dia juga traktir gue jajan. Terus makanan yang dikasih panitia juga dimakan sama gue," jawab Balqis.

Mereka yang mendengarnya terkejut. Perkataan Balqis sangat bertolak belakang dengan cerita orang-orang.

"Udahlah gue capek. Kalian abisin aja makanan gue."

Baru saja Balqis bicara seperti itu, dia sudah terlelap tidur. Bahkan dengkuran halus kini sudah terdengar.

Sementara itu di kamar Alditra...

Alditra sedang terdiam masih duduk di kursi rodanya sambil menatap sebuah gelang yang hampir sama denga yang dia berikan pada Balqis.

Flashback On

"Maaf Gus... Tapi kami tidak punya kembalian... Bagaimana kalau kembaliannya digantikan dengan gelang ini... "

Alditra masih terdiam menatap dua buah gelang yang disodorkan oleh pedagang itu.

"Meskipun betuk gelang ini murah dan biasa saja, tapi arti dari gelang ini sangat penting dan berarti... Gus tau arti gelang ini dalah 'Fall In Love'... Ini hanya mitos tapi katanya, Insya Allah orang yang diberikan gelang ini pasti tidak akan lepas dari pasangannya... Ya.. Meskipun rezeki dan jodoh itu ada di tangan Allah SWT, tapi ya.. siapa tau nanti calon istri Gus suka dengan gelangnya..."

Flashback Off

Gus Alditra tersenyum kecut.

Apa yang saya lakukan?!

***

Di satu sisi.

Di salah satu rumah besar bagaikan istana. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam tengah duduk di kursi kekuasaannya.

Sebelah tangannya tengah memegang gelas berisi bir, sedangkan yang satunya tengah memegang selembar photo menunjukkan seorang perempuan manis tengah tersenyum bahagia.

"Ke mana pun kamu pergi, kamu tetap milikku."

Laki-laki itu beranjak. Dia menatap hamparan kota di tengah malam ini. Sangatlah indah karena setiap lampu memancarkan cahayanya.

Senyumannya menyungging. Dia sudah tidak sabar menatap wajah perempuan yang selalu dirindukannya. Dia pun kembali menatap selembar photo itu.

"Kamu masih tetap sama seperti dulu. Selalu membuatku jatuh cinta."

Tap!

Tap!

Tap!

"Tuan!"

Laki-laki itu menoleh. Dia melihat bawahannya memegang amplop coklat. "Ini berisi photo yang berhasil kita kumpulkan."

Setelah amplop coklat itu berada di tangannya. Dia memberikan isyarat agar bawahannya pergi.

Dibukanya amplop itu. Seketika senyuman yang barusan menyungging kini hilang. Dia terkejut melihat perempuan yang selalu dirindukannya terlihat tengah bicara dengan seorang laki-laki yang duduk di kursi roda.

"Dia adalah milikku dan tetap akan menjadi milikku."

Bur!

Tangan kekarnya menghampaskan semua photo itu sampai berhamburan. Terlihat emosinya meluap.

"Aku akan membawamu kembali padaku."

Bugh!

Bantingan guci terdengar nyaring sampai beberapa bodyguard bergegas masuk.

"Tu-tuan!"

"Bawa kembali dia padaku!"

Tanpa perintahan kedua kalinya, semua bodyguard keluar. Mereka langsung ke tempat yang dituju.

"Dia milikku."

"Balqis.."

1
sukronbersyar'i
mantap seru, gan , jgn lupa mampir juga ya
Tara
wah...dasar preman Yach😅😂
Tara
hope happy ending
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!