Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 - Terlambat
Harus tanggung jawab. Ya, Mikhail bahkan tidak bisa tidur ketika kembali ke kamarnya. Syakil benar, dia bukan hanya mencintai kekasih orang, tapi merusak dan menghancurkan hubungan keduanya.
Jam kerja sudah selesai, kantor sudah sepi dan menyisakan beberapa orang saja. Bryan bahkan sudah pulang lebih dulu lantaran perutnya luar biasa sakit akibat salah makan.
Sabar sekali Mikhail menunggu, bahkan dia hampir putus asa karena sudah tiga kali dia salah orang hanya karena pakaian yang serupa.
"Ck, dia balik marah padaku atau bagaimana?"
Mikhail mengusap kasar wajahnya, pria itu gusar luar biasa. Seharian memang jadwalnya super padat dan tidak mungkin memanggil Zia, akan tetapi kenapa hingga sesore ini Zia belum kelihatan juga.
Hingga beberapa saat kemudian baru dia seakan menemukan titik terang, Mikhail sontak tersenyum kala melihat rombongan anak magang keluar dari kantor.
Mereka memang biasanya pulang paling terakhir, mata Mikhail menatap wajah-wajah yang ada di sana. Sayangnya, tidak dia temukan Zia di sana, senyum yang tadinya sudah terukir hilang begitu saja.
Tanpa peduli pendapat mereka, Mikhail menghampiri teman-teman Zia dengan wajah paniknya. Jika biasanya dia sangat menjaga agar tidak tercium kedekatannya, kali ini Mikhail seakan sengaja bunuh diri.
"Sore, Bapak." Erika menampilkan senyum manisnya, padahal keempat temannya yang lain bahkan memilih menunduk dan tidak berani menyapa pria itu.
"Hm, sore ... teman kalian yang satunya mana?" tanya Mikhail tanpa basa basi, yang dia cari memang Zia dan seharusnya Erika paham maksud Mikhail.
"Ehm temen kita yang mana nih, Pak? Ada dua yang nggak masuk."
"Zia."
Mereka saling memberikan kode satu sama lain, Erika yang sudah yakin keduanya memiliki kedekatan mulai menemukan titik terang saat ini.
"Ehm si Zia ... kalau Zia udah dua hari nggak masuk, Pak."
"Dua hari?"
Mikhail mengerutkan dahi, Zia bukan wanita pemalas yang suka membuang waktu. Bahkan saat dirinya membuat Zia lelah di pagi hari, tetap saja nekat pergi.
"Iya, Pak."
Sesaat dia terdiam, ada sedikit penyesalan mengapa dia menjaga jarak beberapa hari lalu. Bukan hanya sengaja tidak mengusiknya di kantor, akan tetapi Mikhail juga tidak menelponnya meski hanya memastikan wanita itu sudah makan atau belum.
"Apa dia sakit?"
"Kurang tau, Pak."
Erika menjawab hati-hati, takut jika jawabannya membuat Mikhail tak suka. Akan tetapi hendak mengarang cerita dia lebih takut lagi, Zia memang tidak lagi bercerita banyak hal setelah pindah ke tempat baru.
"Baiklah, terima kasih sebelumnya."
Tanpa menunggu jawaban, pria itu berlalu dan menuju mobilnya. Jika tau begini sudah sejak tadi dia pergi ke tempat tinggal Zia, pria itu melaju dan menyisakan banyak tanya di benak teman-teman Zia.
"Pak Mikhail kenal Zia?"
"Mungkin, tapi memang Zia sering dipanggil ke ruangannya sih ... apa mungkin mereka pacaran ya?" tebak salah satu temannya, memang tak begitu dekat dan baru mengenal saat mereka ditempatkan di kantor itu.
"Hahah aneh-aneh aja, Zidan mau dikemanain? Lagian mana mau pak Mikhail sama Zia, bukan kelas dia." Erika tak ingin Zia terlihat buruk hingga terpaksa mengatakan hal ini meski kecurigaannya sudah berlangsung sejak tragedi dia terkunci di kamar mandi.
"Ya mana kita tau, kan bisa jadi pak Mikhail kepincut ... Zia cantik dan juga pintar, siapa yang nggak suka sama dia." Andria tetap yakin seratus persen tebakannya benar.
"Kalah body, kamu ingat cewek yang dulu suka nyariin pak Mikhail pagi-pagi pas kita awal magang?" Erika mengajak teman-temannya terbang ke masa lalu.
"Iya, kenapa memangnya? Udah lama nggak lihat mba-mba seksoy itu."
"Nah tu kuncinya ... pak Mikhail itu suka sama bentukan gitar spanyol, mana suka dia sama Zia." Demi membuat nama Zia tak tercemar sekalipun itu benar, Erika benar-benar terkesan mengejek sahabatnya.
"Ah udahlah, daripada pusing mending pulang ... udah buruan, hujan tau rasa kalian." Hanya karena Zia mereka jadi terhambat dan lanjut mengobrol, memang benar wanita itu pantang dipancing sedikit permasalahan saja.
-
.
.
.
Mendung, sepertinya sore ini akan hujan. Mikhail melangkah panjang setelah sebelumnya berperang dengan padatnya lalu lintas. Pintu kamar kost Zia tertutup, dan dia masih terdiam sesaat sebelum mengetuk pintunya.
"Zia, kamu di dalam?"
Mikhail bertanya sedikit keras lantaran ketukan pertama tidak mendapat respon apa-apa. Pria itu menghitung jumlah sepatu dan sandal yang ada di rak sepatu.
"Berkurang, dia pergi kemana sore-sore begini?"
Khawatir? Tentu saja, jika nanti hujan bagaimana. Sementara anak itu takut sekali basah karena tetesan air dari langit. Mikhail berdegub tak karuan, pria itu melihat sekelilingnya dan memang suasananya terasa lenih sepi dari biasanya.
"Zia!! Buka pintunya, aku mau masuk!!"
Hening, tidak ada sama sekali jawaban. Biasanya, jika dia datang Mikhail tak perlu berteriak ataupun mengetuk pintu itu dengan tenaga karena Zia akan muncul dengan sendirinya.
"Benar-benar di luar sepertinya," ungkap Mikhail kini merogoh ponselnya.
The number your calling ....
"Ays!! Kamu dimana?"
Jika tadi malam dia sempat menolak panggilan dari Zia lima kali berturut-turut, kini perasaan Mikhail semakin dipenuhi sesal tanpa akhir. Pria itu mengacak rambutnya asal kemudian mengecek akun sosial media milik Zia.
Postingan terakhir sekitar 7 hari lalu, sementara dia ketahui wanita itu cukup aktif di sosial media sebelumnya. "Mungkin memang di lelah, hentikan pikiran burukmu, Mikhail."
"Zia ... aku tau kamu di dalam, tolong buka pintunya! Kamu tidak merindukan aku, hah?"
Pertanyaannya mulai asal, siapa yang merindukan siapa. Tetap tidak ada jawaban dari Zia, dan kesabaran Mikhail yang sebesar kacang atom itu tak bisa bertahan lama pada akhirnya.
"Baiklah kamu yang membuat aku jadi begini, aku tidak sesabar itu, Valenzia."
BRAK
Tenaganya yang memang tak perlu diragukan, mampu menghancurkan pintu itu dengan mudah. Mikhail masuk dengan langkah panjang, langkah yang kemudian gontai kala dia menyadari keadaan kamar Zia tak lagi sama seperti terakhir kali.
Kosong, buku-buku dan perlengkapan Zia tidak ada di sana. Mikhail menuju lemari pakaian wanita itu, membukanya pelan-pelan dan lagi-lagi dia dibuat membisu.
Tidak ada yang tersisa di sana, semua benar-benar menghilang. Hanya menyisakan aroma parfum yang kerap Zia pakai.
"Pergi? Tanpa izinku?"
Mikhail memegang dadanya, perasaan ini pernah dia rasakan beberapa tahun lalu. Tangannya mengepal sembari menatap tajam tempat tidur yang menjadi tempat mereka bertukar perasaan dan energi.
"Kamu benar-benar memilih dia, Zia?" Mikhail memejamkan mata sesaat, berusaha menahan diri agar jiwanya tidak menghancurkan tempat ini.
"Sialaan!! Kamu benar-benar membuatku marah!!"
Sreeeet
"Hah?" Mikhail menoleh cepat kala menyadari pintu yang sudah rusak itu seperti di dorong pelan-pelan.
"Kamu gila? Kenapa harus merusak pintunya?!!"
Tbc