"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI BAWAH BAYANG BAYANG CINTA
Zilfi duduk di sudut ruang tamu, memandangi ayahnya, Pak Falah, yang sedang tertawa bersama ibu tirinya, Santi. Mereka duduk berdua di sofa, berbagi cerita dan canda, sementara Zilfi, yang baru berusia belasan tahun, hanya bisa mengamati dari kejauhan.
Sejak pernikahan ayahnya dengan Santi beberapa tahun yang lalu, segalanya terasa berbeda. Zilfi merasakan bahwa cinta ayahnya telah berpindah. Ayahnya yang dulunya penuh perhatian dan selalu menghabiskan waktu bersamanya kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan Santi.
"Ibu tiri Zilfi itu cantik, ya?" kata Zulfi pada dirinya sendiri, suara hatinya bergetar. Ia tahu bahwa Santi adalah sosok yang baik. Namun, ada sesuatu dalam hatinya yang merasa terancam. Zilfi selalu menjadi anak kesayangan ayahnya sebelum kehadiran Santi.
"Zilfi, ayo sini!" panggil Santi dengan senyuman manisnya. "Bantu Ibu menyiapkan makan malam."
Zilfi menatap mereka sejenak, merasakan gelombang kemarahan yang tak tertahan. Kenapa harus ada orang ketiga dalam hidupnya? Kenapa ayahnya lebih memilih Santi daripada dirinya?
Hari-hari berlalu, dan Zilfi semakin merasa terasing. Ia melihat Santi dan ayahnya saling menggenggam tangan saat mereka berjalan, berkomunikasi dengan tatapan penuh cinta. Zilfi berusaha untuk bersikap baik, tetapi cemburu menyelip di setiap sudut hatinya.
Suatu malam, saat makan malam, Zilfi melihat Santi menciptakan hidangan favorit ayahnya. Dengan penuh semangat, Santi bertanya, "Apa kamu suka, Pak Falah?"
Zilfi mengamati ayahnya tersenyum lebar, matanya bersinar saat menjawab, "Tentu saja, ini luar biasa! Kamu selalu membuat makanan yang enak."
Zilfi merasa hatinya teriris. Ia teringat saat ia memasak untuk ayahnya, berharap mendapatkan pujian yang sama. Kenapa semua usaha dan perhatiannya tak berarti lagi?
Sejak saat itu, Zilfi mulai berusaha untuk mendapatkan perhatian ayahnya kembali. Ia mencoba untuk selalu ada di sekitar, tetapi setiap upaya yang dilakukannya tampak sia-sia. Ayahnya lebih terfokus pada Santi, dan Zilfi merasakan kebencian tumbuh di dalam dirinya.
Hari-hari berlalu, dan setiap harinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Zilfi mulai mengisolasi diri. Ia tidak lagi pergi keluar, tidak lagi bergaul dengan teman-temannya. Rasa cemas dan kesedihan menyelimuti setiap langkahnya. Dia merasakan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.
Suatu malam, ketika semua orang tidur, Zilfi mengambil sebuah Pisau kecil dan menggoreskan ujungnya pada kulit pergelangan tangannya. "Ini satu-satunya cara untuk merasakan sesuatu," bisiknya pada diri sendiri. Dalam pikirannya, rasa sakit fisik bisa mengalihkan perhatian dari rasa sakit emosional yang terus menerus menggerogoti hatinya.
Tetapi setelah melakukannya, Zilfi merasa semakin bersalah. "Seharusnya aku tidak melakukan ini," pikirnya sambil menangis. Dia menyembunyikan luka itu dengan hati-hati, berusaha tidak membiarkan ayah dan Ibu tirinya melihatnya.
Zilfi mencoba untuk tetap terlihat baik di hadapan ayah dan ibu tirinya. Ia senantiasa tersenyum, meski senyum itu tidak pernah mencapai matanya. Setiap kali Pak Falah bertanya, "Kamu baik-baik saja, Nak?" Zilfi selalu menjawab dengan anggukan, meski dalam hatinya ia berteriak meminta bantuan.
Di sekolah, Zilfi juga berpura-pura baik-baik saja. Ia berteman dengan beberapa orang, tetapi tidak ada yang tahu betapa hancurnya dirinya di dalam. Rasa terasing dan kesepian terus membayangi langkahnya, dan dia mulai merasa bahwa hidupnya tidak berarti.
Suatu sore, saat berada di taman, Zilfi melihat sekelompok teman sebaya tertawa dan bermain. Ia merasakan lonjakan rasa sakit di dadanya. "Kenapa mereka bisa bahagia?" pikirnya. Ia merasa tidak berhak untuk merasakan kebahagiaan. Rasa putus asa melanda, dan dia kembali beralih ke cara menyakiti dirinya sebagai pelarian.
Suatu malam, Zilfi tidak bisa tidur. Pikiran negatif terus menerus berputar dalam benaknya. "Aku tidak berguna. Semua orang lebih bahagia tanpaku." Dengan air mata yang mengalir, ia mengambil pisau kecil lagi dan merasakan dorongan yang tidak bisa ia hindari. Ia menggoreskan pisau itu lagi ke kulitnya, berharap bisa mengeluarkan semua rasa sakit yang terpendam. Tanpa sadar ketika Zilfi bangun dari tidur nya darah berceceran memenuhi sprey kasur nya,,ia langsung menyembunyikan sprey darah tersebut karena takut ayah dan ibu tirinya mengetahuinya.