Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beristirahat di Gua
Kaivorn merasakan tubuhnya perlahan mulai bisa digerakkan.
Dia menggenggam udara dingin malam itu, menenangkan dirinya setelah ketegangan yang hampir merenggut nyawanya.
Di depannya, Calista yang tak sadarkan diri tergeletak di tanah yang dingin.
Raut wajahnya tampak lelah dan kusut, rambut coklatnya kembali menutupi wajah yang semula menunjukkan kekuatan tak terkalahkan.
"Jadi benar," Kaivorn membatin sambil menatap langit berbintang. "Dua kepribadian... dua sosok dalam satu tubuh."
Dia berjongkok di samping tubuh Calista, merasakan denyut nadinya yang lemah namun stabil.
Di balik sikap dinginnya tadi, ada sesuatu yang rapuh.
Kaivorn menarik napas panjang, mendekatkan telinganya ke bibir Calista yang tertutup rapat, memastikan dia masih bernapas.
Dia tak tahu apakah kepribadian kedua itu benar-benar menghilang atau hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul.
Dengan lembut, Kaivorn mengangkat tubuh Calista ke pelukannya.
Tangan Calista yang sebelumnya kuat, sekarang terasa ringan dan lemah.
Meskipun Kaivorn baru saja menyaksikan sisi mengerikan dari kepribadian keduanya.
Hatinya tetap dipenuhi simpati pada sosok gadis kecil dengan masa lalu yang menyedihkan.
Saat Kaivorn mulai bergerak pergi, suara pelan terdengar, lebih mirip desahan dalam tidur.
"Kaivorn..." Calista bergumam, suaranya nyaris tak terdengar.
Kaivorn menghentikan langkahnya, menundukkan kepalanya lebih dekat untuk mendengar lebih jelas.
"Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" bisik Calista, dengan nada yang lemah dan terselip ketakutan.
Hatinya tersentak.
Kaivorn menatap wajah gadis itu, bingung antara apakah ini ucapan dari Calista yang asli, atau hanya gema dari kepribadian lainnya.
"Jangan bodoh," Kaivorn bergumam pelan, meski bibirnya mengulas senyum kecil. "Aku di sini... dan aku akan tetap di sini."
Tak ada jawaban dari Calista, hanya napas teratur dari tidurnya yang dalam.
Kaivorn menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya yang masih terasa tegang setelah semua yang terjadi.
Langkah kakinya mulai menyusuri hutan, mencari tempat yang aman untuk berlindung sampai Calista sadar.
...****************...
Di sebuah tempat tersembunyi di dalam hutan, Kaivorn akhirnya berhenti di depan gua kecil yang terlindung oleh pepohonan lebat.
Ia merebahkan Calista dengan hati-hati di atas lapisan daun-daun kering, kemudian bersandar di dinding batu gua tersebut.
Matanya tak pernah lepas dari Calista, berjaga-jaga kalau-kalau kepribadian itu muncul kembali.
Namun, semakin lama ia memperhatikannya, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang berubah.
Mata Calista, saat masih tertutup rapat, tampak lebih tenang, tidak lagi dihantui oleh ketegangan yang sempat mendominasi sebelumnya.
Perlahan, Kaivorn mulai merasa lega, meskipun hatinya masih menyimpan rasa waspada.
"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Calista?" bisik Kaivorn lirih, seolah-olah pertanyaan itu akan menemukan jawabannya hanya dengan dilontarkan di udara.
Sebelum Kaivorn sempat terlalu dalam tenggelam dalam pikirannya, Calista tiba-tiba bergerak kecil, mengerang pelan.
Matanya terbuka sedikit, menatap Kaivorn yang berada di sampingnya.
Pandangannya buram sejenak sebelum akhirnya kembali fokus.
"Kaivorn... apa yang terjadi?" tanya Calista dengan suara serak.
Mata hijau lembutnya menatap pria itu dengan kebingungan, seolah tak sadar akan apa yang baru saja ia lakukan.
Kaivorn tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa was-wasnya.
"Kau pingsan setelah... mereka menyerang," jawabnya, memilih untuk tidak menyebutkan apa yang sebenarnya terjadi. "Kau bisa tenang sekarang, kita sudah aman."
Calista menatap Kaivorn dengan rasa terima kasih yang samar, tapi di balik tatapan itu, tampak jelas bahwa ada sesuatu yang masih mengganggunya.
"Maaf... aku tidak ingat apa-apa," ucapnya lirih. "Rasanya seperti... aku hilang kendali."
Kaivorn menelan kata-katanya sendiri, tak ingin menambah beban pada Calista dengan penjelasan tentang kepribadian keduanya.
Namun, sebelum ia bisa menyusun kata-kata yang tepat, Calista tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanyanya lagi, kali ini dengan tatapan penuh keraguan.
Kaivorn terdiam, matanya menatap tajam ke dalam mata Calista, mencoba mencari petunjuk apakah ini benar-benar pertanyaan dari Calista yang asli, ataukah kepribadian lainnya sedang bermain dengan perasaannya.
Setelah hening sejenak, Kaivorn menghela napas panjang dan menggenggam tangan Calista dengan erat.
"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu," jawabnya dengan nada tegas, lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri daripada meyakinkan Calista. "Tapi kau juga harus bertahan, Calista. Jangan biarkan siapa pun—bahkan dirimu sendiri—mengambil kendali atas hidupmu."
Kata-katanya menggantung di udara, menyisakan keheningan di antara mereka berdua.
Setelah beberapa saat, Kaivorn dan Calista duduk dalam keheningan yang canggung, hanya ditemani suara aliran air kecil di luar gua dan embusan angin yang menyusup melalui celah-celah batu.
Mata Calista tampak mulai berat, kelelahan kembali merayap ke dalam dirinya setelah segala yang terjadi.
Sementara itu, Kaivorn tetap berjaga, matanya menatap tajam ke arah mulut gua, memperhatikan setiap gerakan di luar sana.
Namun, tiba-tiba, sebuah firasat buruk menggetarkan benak Kaivorn.
Ia merasakan kehadiran sesuatu yang berbeda, sebuah aura yang samar namun tak bisa diabaikan.
Kaivorn segera memegang gagang pedangnya, menajamkan fokusnya ke arah kegelapan yang menyelimuti hutan di luar gua.
Di antara bayang-bayang pepohonan yang terhampar, sesosok siluet samar tampak bergerak mendekat, berjalan dengan langkah yang sangat tenang namun penuh kepastian.
Sosok itu tidak tampak terburu-buru, seolah-olah tahu persis di mana ia akan berakhir.
Setiap gerakannya seperti tak ingin memecah keheningan malam, tetapi di mata Kaivorn, kehadirannya membawa tekanan yang nyata.
Kaivorn mengerutkan keningnya, jari-jarinya mengerat pada gagang pedang, mempersiapkan diri jika kehadiran itu ternyata mengancam.
Dia melirik sekilas ke arah Calista yang tertidur lelap, memastikan bahwa gadis itu tidak dalam bahaya langsung.
Lalu, pandangannya kembali kepada siluet yang mendekat, perlahan-lahan tetapi pasti, semakin dekat ke mulut gua.
Kegelapan membuat sulit untuk melihat detail dari sosok itu—apakah itu seorang pria atau wanita, apakah sosok itu memiliki wajah yang ramah atau menakutkan.
Yang jelas, aura yang dipancarkan oleh kehadiran ini membuat bulu kuduk Kaivorn berdiri.
Ketika siluet itu berhenti tepat di tepi bayangan yang memisahkan kegelapan hutan dengan cahaya redup dalam gua, Kaivorn menahan napas.
Hanya beberapa langkah lagi, dan sosok itu akan muncul dalam pandangannya.
Namun, entah kenapa, siluet itu memilih untuk tidak melangkah lebih jauh.
Ia berdiri di sana, diam dalam kegelapan, seolah mengamati Kaivorn dengan tatapan yang tak dapat dilihat.
Kaivorn mencoba memancing reaksi. "Siapa kau?" tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan.
Berharap mendapatkan jawaban atau setidaknya tanda-tanda yang bisa membantunya memahami niat dari sosok ini.
Namun, tidak ada respons yang datang dari balik bayangan.
Keheningan semakin menebal, hampir terasa menyesakkan.
Kaivorn bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh sosok ini—mungkin sebuah niat tersembunyi, atau mungkin hanya pengamatan yang penuh rasa ingin tahu.
Tapi apapun itu, ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa kehadiran sosok ini membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti waktu yang panjang, sosok itu berkata dengan nada seolah tak percaya.
"Tuan Muda Kaivorn?"