NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelarian

Apartemen Rani terasa sunyi di tengah malam, hanya suara AC yang berdengung pelan dan lampu-lampu kota dari jendela yang memberikan sedikit cahaya. Rani baru saja berbaring di tempat tidur dengan buku di tangannya, bersiap untuk tidur setelah malam reuni yang menyenangkan.

Ponselnya bergetar di meja nakas. Rani meraihnya dengan malas, mengira mungkin notifikasi media sosial atau email spam. Tapi begitu ia melihat layar, tubuhnya langsung tegak.

Pesan dari Indira.

"Ran, darurat. Rangga mengunciku di kamar. Aku tidak bisa keluar. Call me ASAP."

"WHAT THE..." Rani langsung melompat dari tempat tidur, menekan tombol panggil dengan jari gemetar.

Nada sambung berbunyi dua kali sebelum Indira mengangkat.

"Dira!" Rani langsung berbicara dengan cepat. "Apa yang terjadi? Rangga menguncimu? Serius?"

"Serius," suara Indira terdengar tenang, terlalu tenang untuk situasi darurat. "Aku bilang mau cerai dan mau pindah ke apartemen. Dia panik dan mengunciku dari luar. Sekarang aku terkunci di kamar tamu."

"Itu gila! Itu... penyekapan! Itu kriminal!" Rani sudah berjalan bolak-balik di kamarnya dengan panik. "Dira, apa kamu oke? Dia tidak menyakitimu kan?"

"Aku baik-baik saja," Indira menjawab dengan nada yang masih terkontrol. "Secara fisik aku aman. Cuma terkunci. Tapi Ran, aku butuh bantuanmu. Aku harus keluar dari sini. Sekarang."

"Oke, oke," Rani menarik napas dalam, mencoba berpikir jernih. "Tunggu. Biarkan aku pikir. Kamu di kamar tamu kan? Yang di ujung koridor?"

"Ya."

"Ada jendela?"

"Ada. Menghadap samping rumah."

"Berapa lantai?"

"Lantai dua," jawab Indira. "Tapi ada kanopi di bawahnya. Dan pohon mangga yang cukup dekat."

Rani terdiam sejenak... otaknya bekerja cepat. "Oke. Ini gila. Tapi mungkin bisa. Dira, kamu bisa turun lewat jendela?"

"Aku bisa coba," Indira menjawab. "Tapi aku butuh kamu di bawah untuk jaga-jaga kalau aku jatuh atau butuh bantuan."

"Aku akan ke sana sekarang," Rani sudah berlari ke lemari, mengambil hoodie dan celana jeans dengan tergesa. "Tunggu aku. Dua puluh menit. Aku akan parkir mobil agak jauh dari rumahmu biar Rangga tidak dengar. Lalu aku akan ke samping rumah. Kamu buka jendela dan tunggu aku di sana."

"Oke," Indira terdengar lega. "Terima kasih, Ran."

"Kita sahabat," Rani menjawab sambil mengambil kunci mobil dan dompet. "Sahabat tidak membiarkan sahabatnya terkunci oleh suami gila. Aku datang sekarang. Tetap di line."

Rani berlari keluar apartemen, masuk lift dengan napas terengah, lalu sprint ke parkiran basement. Mobilnya sudah menunggu. Ia melompat masuk, menyalakan mesin, dan melaju dengan cepat keluar dari apartemen.

Jalanan Jakarta tengah malam cukup lengang, Rani bisa mengebut sedikit tanpa terlalu khawatir. Ponselnya di dashboard dengan speaker aktif, masih terhubung dengan Indira.

"Dira, kamu masih di sana?" tanya Rani sambil fokus menyetir.

"Masih," suara Indira terdengar dari speaker. "Aku sudah buka kunci jendela. Untung Rangga tidak kunci jendela juga. Dia hanya kunci pintu."

"Syukurlah dia tidak sepintar itu," gumam Rani sambil belok kanan dengan cukup tajam. "Oke, aku sudah masuk tol. Sepuluh menit lagi sampai."

"Hati-hati, Ran. Jangan ngebut-ngebut. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa."

"Aku baik-baik saja," Rani menenangkan. "Fokus aja sama persiapanmu. Pastikan kamu bawa semua barang penting, ponsel, dompet, dokumen penting."

"Sudah," Indira menjawab. "Semuanya sudah di tas kecil. Koperku aku tinggal. Nanti bisa ambil lagi kalau perlu."

"Bagus. Dan Dira?"

"Ya?"

"Kamu yakin mau lakukan ini? Maksudku, ini cukup... ekstrem. Turun dari jendela lantai dua?"

Indira tertawa ringan tapi ada sedikit ketegangan di sana. "Ran, aku baru saja dikunci oleh suamiku sendiri di rumahku sendiri. Aku sudah melewati batas 'ekstrem' sejak tadi. Turun dari jendela adalah pilihan paling waras yang aku punya sekarang."

Rani tidak bisa membantah logika itu.

Lima belas menit kemudian, Rani sampai di kawasan Pondok Indah. Ia sengaja parkir mobilnya dua rumah dari rumah Rangga dan Indira, cukup jauh untuk tidak terlihat, tapi cukup dekat untuk cepat akses. Ia mematikan mesin, turun dengan pelan, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak berisik.

Malam sangat sepi. Hanya suara jangkrik dan angin yang bertiup pelan. Lampu jalan menerangi dengan cahaya kuning yang redup. Rani berjalan cepat dengan hoodie menutupi kepalanya seperti maling, pikirnya dengan ironi.

Ia sampai di depan pagar rumah Indira. Pagar besi setinggi dua meter dengan gerbang otomatis yang tertutup rapat. Tapi Rani tidak perlu masuk lewat gerbang, ia menuju samping rumah, tempat yang lebih sepi dan tidak terlihat dari jalan raya.

"Dira," bisik Rani sambil mengetik pesan cepat, "aku sudah di samping rumah. Di mana jendelamu?"

Beberapa detik kemudian, sebuah jendela di lantai dua terbuka perlahan. Kepala Indira muncul, rambutnya sudah diikat ponytail, wajahnya pucat tapi tenang.

"Ran," bisik Indira dari atas. "Kamu sudah di bawah?"

"Iya," Rani berbisik balik sambil melambaikan tangan. "Oke, sekarang gimana? Kamu bisa turun?"

Indira melirik ke bawah, kanopi tepat di bawah jendelanya, sekitar satu meter. Lalu ada pohon mangga yang cukup dekat, cabangnya bisa dijangkau kalau ia berhasil turun ke kanopi.

"Aku akan coba," Indira berbisik. "Tunggu di bawah. Kalau aku jatuh, tolong tangkap."

"Dira, aku bukan superhero..."

Tapi Indira sudah mulai bergerak. Ia melempar tas kecilnya dulu, jatuh dengan bunyi pelan di rumput bawah. Lalu ia perlahan memanjat keluar jendela dengan dress yang sudah ia ganti dengan celana jeans dan kaos, untungnya lebih mudah bergerak.

Kakinya menapak di bingkai jendela dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat pinggiran jendela.

"Pelan-pelan," bisik Rani dari bawah dengan tangan terentang, meskipun ia tahu ia tidak akan bisa menangkap Indira kalau benar-benar jatuh.

Indira menurunkan tubuhnya perlahan, kaki menggantung di udara, mencari pijakan. Lalu ia melepaskan genggamannya dan...

Tubuhnya mendarat di kanopi dengan bunyi yang cukup keras. Kanopi bergetar tapi tidak patah. Indira meringis, pantatnya sakit tapi tidak ada yang patah.

"Dira! Kamu oke?" Rani berbisik panik.

"Oke," Indira menjawab sambil bangkit dengan hati-hati di atas kanopi yang licin. "Sekarang aku harus ke pohon."

Ia merangkak perlahan di atas kanopi, sangat hati-hati karena permukaan logamnya licin. Tangannya meraih cabang pohon mangga yang cukup tebal menggenggamnya dengan erat.

Lalu dengan gerakan yang cukup berani atau bodoh, tergantung perspektif, ia melompat dari kanopi ke cabang pohon.

Cabang berderak keras tapi tidak patah. Indira menggenggam dengan erat, kakinya melingkar di cabang.

"SHHH!" Rani memperingatkan. "Pelan-pelan! Rangga bisa bangun!"

Indira tidak menjawab, terlalu fokus untuk tidak jatuh. Ia perlahan turun dari cabang ke cabang seperti monyet, pikirnya dengan geli meski situasinya tidak lucu sama sekali.

Akhirnya kakinya menapak di tanah. Aman. Selamat.

Rani langsung memeluknya erat, yang penuh lega. "Astaga, Dira. Aku hampir serangan jantung tadi."

"Aku juga," Indira membalas pelukan dengan gemetar. "Terima kasih, Ran. Terima kasih sudah datang."

"Ayo cepat sebelum Rangga sadar," Rani meraih tas Indira, menarik tangan sahabatnya. "Mobil ku di sana."

Mereka berlari pelan tapi cepat menuju mobil Rani yang terparkir dua rumah dari sana. Masuk dengan tergesa, pintu ditutup pelan, mesin dinyalakan dengan volume rendah.

Rani menjalankan mobilnya perlahan, sangat perlahan keluar dari kawasan. Baru setelah mereka cukup jauh, ia mempercepat laju mobilnya.

"Kita selamat," gumam Rani dengan lega. "Kita benar-benar selamat."

Indira bersandar di kursi dengan napas yang akhirnya bisa ia hembuskan lega. "Aku tidak percaya aku baru saja kabur dari rumahku sendiri seperti pelarian."

"Aku juga tidak percaya aku baru saja jadi partner in crime untuk pelarian tengah malam," Rani tertawa yang masih gemetar karena adrenalin. "Tapi setidaknya kamu aman sekarang."

"Ya," Indira menutup matanya. "Aman."

Mereka berkendara dalam diam beberapa menit, membiarkan adrenalin perlahan mereda. Lalu Rani bertanya.

"Sekarang kemana? Apartemenmu?"

"Ya," jawab Indira. "Aku akan tinggal di sana sampai... semuanya selesai."

"Semuanya selesai maksudnya perceraian?"

"Ya."

Rani melirik sahabatnya dari sudut mata. "Jadi kamu serius mau cerai?"

"Sangat serius," Indira membuka matanya, menatap jalanan di depan dengan tatapan yang tegas. "Aku sudah bilang ke Rangga tadi. Aku akan ajukan gugatan cerai minggu depan. Dan setelah dia mengunciku tadi, itu jadi bukti tambahan untuk pengajuan. Penyekapan. Pengurungan. Apapun istilahnya, itu kriminal."

"Kamu butuh pengacara yang bagus," Rani berkomentar.

"Aku sudah punya," Indira tersenyum tipis. "Andrea Kusuma. Pengacara perceraian terbaik di Jakarta. Aku sudah jadwalkan konsultasi dengannya minggu lalu. Sekarang tinggal eksekusi."

Rani mengangguk dengan bangga. "Kamu sudah merencanakan semuanya, ya?"

"Tentu saja," Indira menjawab. "Aku tidak akan cerai tanpa persiapan matang. Aku akan pastikan aku dapat apa yang menjadi hakku,"

"Dan Rangga akan dapat apa yang dia layak dapat, kehancuran," tambah Rani dengan senyum puas.

"Exactly," Indira mengangguk.

1
rian Away
awokawok Rangga
Ariany Sudjana
itu hukum tabur tuai Rangga, terima saja konsekuensinya. Indira kamu sia-siakan demi batu kerikil
yuni ati
Menarik/Good/
Ma Em
Alhamdulillah Indira sdh bisa keluar dari rumahnya, Rani emang sahabat terbaik , pasti Rangga kaget pas buka kamar Indira sdh pergi .
Wulan Sari
ceritanya semakin kesini semakin menarik lho bacanya, seorang istri yg di selingkuhi suami,bacanya bikin greget banget semoga yg di aelingkuhi lepas dan cerita akhirnya happy end semangat 💪 Thor salam sukses selalu ya ❤️👍🙂🙏
Wulan Sari
suka deh salut mb Indira semangat 💪
Ma Em
Makanya Rangga jgn sok mau poligami yg akhirnya akan membawamu pada penyesalan , kamu berbuat sesuka hati membawa istri keduamu tinggal bersama Indira istri pertamamu dan mengusirnya dari kamarnya dan malah tinggal dikamar tamu kan kamu gila Rangga , emang Indira wanita hebat dimadu sama suami tdk menangis tdk mengeluh berani melawan berani bertindak 👍👍💪💪
Nany Susilowati
ini novel tahun berapakah kok masih pake SMS
Ariany Sudjana
Rangga bodoh, apa dengan mengunci Indira di kamar tamu, maka Indira akan berubah pikiran? justru akan membuat Indira semakin membenci Rangga
Ma Em
Semoga Indira berjodoh dgn Adrian setelah cerai dgn Rangga .
Ariany Sudjana
Indira harus bercerai dari Rangga, ngapain juga punya suami mokondo, dan juga kan Rangga sudah punya Ayunda. lebih baik Indira kejar kebahagiaan kamu sendiri, apalagi kamu perempuan yang mandiri. masih ada Adrian, yang lebih pantas jadi suami kamu, dan yang pasti lebih berkelas dan bertanggung jawab
Dew666
🥰🥰🥰
Mundri Astuti
mending kamu pisah dulu Dira sama si kutil, biar ga jadi masalah ntar klo sidang cerai
Wulan Sari: iya cerai saja buat apa RT yang sudah ada perselingkuhan sudah tidak kondusif di teruskan juga ga baik mana ada seorang wanita di selingkuhi mau bersama heee lanjut Thor semangat 💪
total 1 replies
Ariany Sudjana
Rani benar Indira, jangan terus terpuruk dengan masalah rumah tangga kamu. kamu perlu keluar dari rumah toxic itu, perlu waktu untuk menyenangkan diri kamu sendiri. kamu tunjukkan kamu perempuan yang tegar, kuat dan mandiri
Ma Em
Rangga lelaki yg banyak tingkah punya usaha baru melek saja sdh poligami , Indira saja sang istri pertama tdk pernah dikasih nafkah eh malah mendatangkan madu yg banyak maunya yg ingin menguasai segalanya , Ayunda kira nikah dgn Rangga bakal terjamin hidupnya ga taunya malah zonk
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas sama itu pelakor. urusan rumah tangga dan cari pembantu bukan urusan kamu lagi, tapi urusan Ayunda, yang katanya ingin diakui jadi nyonya rumah 🤭🤣
Ma Em
Indira hebat kamu sdh benar kamu hrs berani melawan ketidak Adilan dan mundur itu lbh baik serta cari kebahagiaanmu sendiri Indira daripada hidupmu tersiksa 💪💪💪
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas dan tetap berdiri tegak, di tengah keluarga yang mengagungkan nama baik, tapi tingkah laku keluarga itu yang menghancurkan nama baik itu sendiri. sudah Indira, tinggalkan saja Rangga, masih banyak pria mapan yang lebih bertanggung jawab di luar sana dan tidak sekedar menghakimi kamu
Ariany Sudjana
itulah hukum tabur tuai, Rangga sudah memilih Ayunda jadi istrinya, ya terima semua kelebihan dan kekurangannya, jangan mengeluh dan jangan berharap Indira akan berubah pendirian
Dew666
😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!