NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:48.2k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelarian

Apartemen Rani terasa sunyi di tengah malam, hanya suara AC yang berdengung pelan dan lampu-lampu kota dari jendela yang memberikan sedikit cahaya. Rani baru saja berbaring di tempat tidur dengan buku di tangannya, bersiap untuk tidur setelah malam reuni yang menyenangkan.

Ponselnya bergetar di meja nakas. Rani meraihnya dengan malas, mengira mungkin notifikasi media sosial atau email spam. Tapi begitu ia melihat layar, tubuhnya langsung tegak.

Pesan dari Indira.

"Ran, darurat. Rangga mengunciku di kamar. Aku tidak bisa keluar. Call me ASAP."

"WHAT THE..." Rani langsung melompat dari tempat tidur, menekan tombol panggil dengan jari gemetar.

Nada sambung berbunyi dua kali sebelum Indira mengangkat.

"Dira!" Rani langsung berbicara dengan cepat. "Apa yang terjadi? Rangga menguncimu? Serius?"

"Serius," suara Indira terdengar tenang, terlalu tenang untuk situasi darurat. "Aku bilang mau cerai dan mau pindah ke apartemen. Dia panik dan mengunciku dari luar. Sekarang aku terkunci di kamar tamu."

"Itu gila! Itu... penyekapan! Itu kriminal!" Rani sudah berjalan bolak-balik di kamarnya dengan panik. "Dira, apa kamu oke? Dia tidak menyakitimu kan?"

"Aku baik-baik saja," Indira menjawab dengan nada yang masih terkontrol. "Secara fisik aku aman. Cuma terkunci. Tapi Ran, aku butuh bantuanmu. Aku harus keluar dari sini. Sekarang."

"Oke, oke," Rani menarik napas dalam, mencoba berpikir jernih. "Tunggu. Biarkan aku pikir. Kamu di kamar tamu kan? Yang di ujung koridor?"

"Ya."

"Ada jendela?"

"Ada. Menghadap samping rumah."

"Berapa lantai?"

"Lantai dua," jawab Indira. "Tapi ada kanopi di bawahnya. Dan pohon mangga yang cukup dekat."

Rani terdiam sejenak... otaknya bekerja cepat. "Oke. Ini gila. Tapi mungkin bisa. Dira, kamu bisa turun lewat jendela?"

"Aku bisa coba," Indira menjawab. "Tapi aku butuh kamu di bawah untuk jaga-jaga kalau aku jatuh atau butuh bantuan."

"Aku akan ke sana sekarang," Rani sudah berlari ke lemari, mengambil hoodie dan celana jeans dengan tergesa. "Tunggu aku. Dua puluh menit. Aku akan parkir mobil agak jauh dari rumahmu biar Rangga tidak dengar. Lalu aku akan ke samping rumah. Kamu buka jendela dan tunggu aku di sana."

"Oke," Indira terdengar lega. "Terima kasih, Ran."

"Kita sahabat," Rani menjawab sambil mengambil kunci mobil dan dompet. "Sahabat tidak membiarkan sahabatnya terkunci oleh suami gila. Aku datang sekarang. Tetap di line."

Rani berlari keluar apartemen, masuk lift dengan napas terengah, lalu sprint ke parkiran basement. Mobilnya sudah menunggu. Ia melompat masuk, menyalakan mesin, dan melaju dengan cepat keluar dari apartemen.

Jalanan Jakarta tengah malam cukup lengang, Rani bisa mengebut sedikit tanpa terlalu khawatir. Ponselnya di dashboard dengan speaker aktif, masih terhubung dengan Indira.

"Dira, kamu masih di sana?" tanya Rani sambil fokus menyetir.

"Masih," suara Indira terdengar dari speaker. "Aku sudah buka kunci jendela. Untung Rangga tidak kunci jendela juga. Dia hanya kunci pintu."

"Syukurlah dia tidak sepintar itu," gumam Rani sambil belok kanan dengan cukup tajam. "Oke, aku sudah masuk tol. Sepuluh menit lagi sampai."

"Hati-hati, Ran. Jangan ngebut-ngebut. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa."

"Aku baik-baik saja," Rani menenangkan. "Fokus aja sama persiapanmu. Pastikan kamu bawa semua barang penting, ponsel, dompet, dokumen penting."

"Sudah," Indira menjawab. "Semuanya sudah di tas kecil. Koperku aku tinggal. Nanti bisa ambil lagi kalau perlu."

"Bagus. Dan Dira?"

"Ya?"

"Kamu yakin mau lakukan ini? Maksudku, ini cukup... ekstrem. Turun dari jendela lantai dua?"

Indira tertawa ringan tapi ada sedikit ketegangan di sana. "Ran, aku baru saja dikunci oleh suamiku sendiri di rumahku sendiri. Aku sudah melewati batas 'ekstrem' sejak tadi. Turun dari jendela adalah pilihan paling waras yang aku punya sekarang."

Rani tidak bisa membantah logika itu.

Lima belas menit kemudian, Rani sampai di kawasan Pondok Indah. Ia sengaja parkir mobilnya dua rumah dari rumah Rangga dan Indira, cukup jauh untuk tidak terlihat, tapi cukup dekat untuk cepat akses. Ia mematikan mesin, turun dengan pelan, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak berisik.

Malam sangat sepi. Hanya suara jangkrik dan angin yang bertiup pelan. Lampu jalan menerangi dengan cahaya kuning yang redup. Rani berjalan cepat dengan hoodie menutupi kepalanya seperti maling, pikirnya dengan ironi.

Ia sampai di depan pagar rumah Indira. Pagar besi setinggi dua meter dengan gerbang otomatis yang tertutup rapat. Tapi Rani tidak perlu masuk lewat gerbang, ia menuju samping rumah, tempat yang lebih sepi dan tidak terlihat dari jalan raya.

"Dira," bisik Rani sambil mengetik pesan cepat, "aku sudah di samping rumah. Di mana jendelamu?"

Beberapa detik kemudian, sebuah jendela di lantai dua terbuka perlahan. Kepala Indira muncul, rambutnya sudah diikat ponytail, wajahnya pucat tapi tenang.

"Ran," bisik Indira dari atas. "Kamu sudah di bawah?"

"Iya," Rani berbisik balik sambil melambaikan tangan. "Oke, sekarang gimana? Kamu bisa turun?"

Indira melirik ke bawah, kanopi tepat di bawah jendelanya, sekitar satu meter. Lalu ada pohon mangga yang cukup dekat, cabangnya bisa dijangkau kalau ia berhasil turun ke kanopi.

"Aku akan coba," Indira berbisik. "Tunggu di bawah. Kalau aku jatuh, tolong tangkap."

"Dira, aku bukan superhero..."

Tapi Indira sudah mulai bergerak. Ia melempar tas kecilnya dulu, jatuh dengan bunyi pelan di rumput bawah. Lalu ia perlahan memanjat keluar jendela dengan dress yang sudah ia ganti dengan celana jeans dan kaos, untungnya lebih mudah bergerak.

Kakinya menapak di bingkai jendela dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat pinggiran jendela.

"Pelan-pelan," bisik Rani dari bawah dengan tangan terentang, meskipun ia tahu ia tidak akan bisa menangkap Indira kalau benar-benar jatuh.

Indira menurunkan tubuhnya perlahan, kaki menggantung di udara, mencari pijakan. Lalu ia melepaskan genggamannya dan...

Tubuhnya mendarat di kanopi dengan bunyi yang cukup keras. Kanopi bergetar tapi tidak patah. Indira meringis, pantatnya sakit tapi tidak ada yang patah.

"Dira! Kamu oke?" Rani berbisik panik.

"Oke," Indira menjawab sambil bangkit dengan hati-hati di atas kanopi yang licin. "Sekarang aku harus ke pohon."

Ia merangkak perlahan di atas kanopi, sangat hati-hati karena permukaan logamnya licin. Tangannya meraih cabang pohon mangga yang cukup tebal menggenggamnya dengan erat.

Lalu dengan gerakan yang cukup berani atau bodoh, tergantung perspektif, ia melompat dari kanopi ke cabang pohon.

Cabang berderak keras tapi tidak patah. Indira menggenggam dengan erat, kakinya melingkar di cabang.

"SHHH!" Rani memperingatkan. "Pelan-pelan! Rangga bisa bangun!"

Indira tidak menjawab, terlalu fokus untuk tidak jatuh. Ia perlahan turun dari cabang ke cabang seperti monyet, pikirnya dengan geli meski situasinya tidak lucu sama sekali.

Akhirnya kakinya menapak di tanah. Aman. Selamat.

Rani langsung memeluknya erat, yang penuh lega. "Astaga, Dira. Aku hampir serangan jantung tadi."

"Aku juga," Indira membalas pelukan dengan gemetar. "Terima kasih, Ran. Terima kasih sudah datang."

"Ayo cepat sebelum Rangga sadar," Rani meraih tas Indira, menarik tangan sahabatnya. "Mobil ku di sana."

Mereka berlari pelan tapi cepat menuju mobil Rani yang terparkir dua rumah dari sana. Masuk dengan tergesa, pintu ditutup pelan, mesin dinyalakan dengan volume rendah.

Rani menjalankan mobilnya perlahan, sangat perlahan keluar dari kawasan. Baru setelah mereka cukup jauh, ia mempercepat laju mobilnya.

"Kita selamat," gumam Rani dengan lega. "Kita benar-benar selamat."

Indira bersandar di kursi dengan napas yang akhirnya bisa ia hembuskan lega. "Aku tidak percaya aku baru saja kabur dari rumahku sendiri seperti pelarian."

"Aku juga tidak percaya aku baru saja jadi partner in crime untuk pelarian tengah malam," Rani tertawa yang masih gemetar karena adrenalin. "Tapi setidaknya kamu aman sekarang."

"Ya," Indira menutup matanya. "Aman."

Mereka berkendara dalam diam beberapa menit, membiarkan adrenalin perlahan mereda. Lalu Rani bertanya.

"Sekarang kemana? Apartemenmu?"

"Ya," jawab Indira. "Aku akan tinggal di sana sampai... semuanya selesai."

"Semuanya selesai maksudnya perceraian?"

"Ya."

Rani melirik sahabatnya dari sudut mata. "Jadi kamu serius mau cerai?"

"Sangat serius," Indira membuka matanya, menatap jalanan di depan dengan tatapan yang tegas. "Aku sudah bilang ke Rangga tadi. Aku akan ajukan gugatan cerai minggu depan. Dan setelah dia mengunciku tadi, itu jadi bukti tambahan untuk pengajuan. Penyekapan. Pengurungan. Apapun istilahnya, itu kriminal."

"Kamu butuh pengacara yang bagus," Rani berkomentar.

"Aku sudah punya," Indira tersenyum tipis. "Andrea Kusuma. Pengacara perceraian terbaik di Jakarta. Aku sudah jadwalkan konsultasi dengannya minggu lalu. Sekarang tinggal eksekusi."

Rani mengangguk dengan bangga. "Kamu sudah merencanakan semuanya, ya?"

"Tentu saja," Indira menjawab. "Aku tidak akan cerai tanpa persiapan matang. Aku akan pastikan aku dapat apa yang menjadi hakku,"

"Dan Rangga akan dapat apa yang dia layak dapat, kehancuran," tambah Rani dengan senyum puas.

"Exactly," Indira mengangguk.

1
Ma Em
Tidak mungkin Indira akan kambali padamu Rangga karena Indira sdh dapat penggantinya lelaki yg jauh lbh baik darimu Rangga , nikmati saja penyesalanmu seumur hidupmu .
Mundri Astuti
ntar lagi Adrian ..klo dah halal...girang beud dah, pecah telor y penantian panjangmu Adrian 😂
Aether
kesempatan apa goblok
Mundri Astuti
iya aja Dira....ntar kabur lagi jodohnya....
Rizka Susanto
skrng udh sadar kan bang.... sdh terjawab penyebab kehancuranmu slma ini itu apa😁
Rizka Susanto
kutunggu jandamu ya bang.. 😄😆
gaby
Janganlah sampai Ayunda hamil anak Rangga. Ntar ujungnya2 mreka balikan. Jgn kasih pendamping hidup lg buat pria tkg clapclup. Kasih karma karena dah bikin Amara hamil & bunuh diri. Ksh karma karena telah mengkhianati Indira. Jgn lupa karma buat Ayunda jg, apapun alasannya merusak rmh tangga wanita lain tdk di benarkan. Ksian Indira ga berdosa jd korbannya.
gaby
Knp Lina nyalahin Rangga?? Bukankah dia yg membantu pesta pernikahan Rangga. Coba kalo dia mencegah Rangga slingkuh. Pasti skrg Lina bisa bangga pny kaka ipar pemilik Zamora. Mana tuh kakeknya Rangga yg menghina Indira mandul?? Apakah jantung tuanya msh aman pas tau bahwa mantan cucu menantunya ternyata konglongmerat??
gaby
Aq heran sm Ayunda, ko bisa jatuh cinta sama pria yg dah menghamili adiknya lalu mencampakannya dgn menikahi Indira. Ayunda dah tdr sama Rangga aja haruanya jijik. Jijik karena dia menikmati Senjata yg sama dgn yg mbuat adiknya hamil lalu bunuh diri. Masa adik kaka bisa sama2 di pake oleh pria yg sama, mana sampe jth cinta lg. Ayunda tolol
gaby
Thor tolong hilangkan panggilan Mas utk rangga. Mas itu panggilan hormat yb di tujukan utk pria. Biat apa menghormati pria pengkhianat. Panggil Rangga aja atau ga usah sebut namanya sama sekali sbg wujud kemarahan seorg istri yg di khianati
gaby
Kalo alasan Rangga menikahi Ayunda karena keturunan, knp ga nunggu Ayunda hamil dulu br nikahin. Rugi dong kalo ternyata Ayunda ga bs hamil jg. Bilang aja karena napsu & cinta, bukan karena keturunan. Karena di jaman modern bny cara agar bisa hamil.
Sunaryati
Sadar dari kesalahan taubat dan bangkit jika masih ingin meneruskan hidup dengan baik dan menebus kesalahan, memang kau pria kejam, dan Ayunda aku menanti karnamu mungkin hamil anak Rangga
Aether
awokawok mampus
Lee Mbaa Young
wes hancur jd gembel tinggal ayunda pelakor blm dpt karma nya.
Lee Mbaa Young
Semoga perusahaan rangga itu bangkrut jd ya ayunda dan rangga sama sama gigit jari gk Ada yg dpt.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.
Afrina Wati
oke
Rati Nafi
😍😍😍😍😍
Sunaryati
Segitu kejamnya kamu pada wanita muda, Tangga.
Aether: Tangga Saha?
total 1 replies
Aether
wow ternyata sebajingan itu ya, sampai ada korban jiwa
Ma Em
Rangga siapkan saja mental kamu yg kuat jgn sampai kena serangan jantung karena sock perusahaannya sdh diambil alih oleh Arya saudaranya Ayunda atau selingkuhannya .
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!