Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu kembali dengan mantan Ayah mertua
Inara memasukkan cek ke dalam tasnya, air mata haru bercampur lega masih menggenang di pelupuk matanya. Dua ratus juta rupiah. Ini adalah bekal hidup Daffa, napas harapan bagi putranya. Ia menarik napas panjang, menenangkan gejolak emosi di dada, lalu berbalik, melangkah menuju pintu keluar restoran dengan langkah yang mulai mantap.
Tepat ketika Inara melewati pilar besar, sebuah tangan yang kuat tiba-tiba mencengkeram lengan kanannya dengan kasar. Cengkeraman itu begitu erat hingga jemari Pak Santoso seolah menancap di kulitnya.
"Aduh!" Inara meringis kesakitan, terkejut, dan spontan menoleh.
Dunia seolah berhenti berputar. Di hadapannya, dengan sorot mata tajam dan rahang mengeras, berdiri tegak mantan ayah mertuanya, Pak Santoso. Wajah Inara seketika memucat. Ia tak menyangka akan bertemu pria yang telah lama tak ia lihat ini, apalagi dalam situasi yang begitu mendesak.
"Lepaskan saya, Pak Santoso!" Suara Inara tercekat, rasa sakit di lengan bercampur ketakutan.
Pak Santoso tidak mengindahkan, malah semakin memperkuat cengkeramannya. "Jangan coba-coba lari, Inara. Sekarang jelaskan padaku, ada hubungan apa antara kau dengan Rayyan Witjaksono si angkuh itu? Dokumen apa yang baru saja kau tanda tangani? Dan yang paling penting," ia mendekatkan wajahnya, suaranya berbisik penuh ancaman, "cek dua ratus juta itu, apa yang kau tukarkan dengannya?"
Inara berusaha menarik lengannya, namun Pak Santoso terlalu kuat. "Itu bukan urusan Anda! Urusan saya dan Tuan Rayyan hanya sebatas bisnis."
"Bisnis?" Pak Santoso mendengus sinis. "Kau pikir aku bodoh? Rayyan itu musuh bebuyutan bisnisku! Tidak mungkin dia berbaik hati memberikan uang sebesar itu pada mantan menantuku tanpa imbalan apapun!" Ia menunjuk tas Inara dengan dagunya. "Serahkan cek itu padaku. Sekarang."
Inara terdiam, menatap mantan mertuanya tidak percaya. "Untuk apa? Ini adalah uang pengobatan Daffa!"
Mata Pak Santoso berkilat kejam. "Pengobatan? Cih. Aku tahu kau mendapat uang itu dengan menjual sesuatu, entah apa itu. Tapi kau berhutang padaku dan keluarga Santoso, Inara! Kau harus membayar kembali biaya persalinanmu empat hari di rumah sakit saat kau melahirkan Daffa! Kami mengeluarkan uang banyak untuk itu!"
Inara benar-benar tidak habis pikir. Masalah biaya persalinan, yang notabene adalah tanggung jawab suami dan keluarganya saat ia masih berstatus istri Hamdan, kini diungkit sebagai hutang. Darahnya mendidih.
"Anda gila, Pak Santoso? Biaya persalinan itu terjadi saat saya masih menjadi istri sah putra Anda! Itu adalah kewajiban Anda sebagai kakek dan mereka sebagai orang tua! Dan Anda sekarang berani meminta uang itu kembali, bahkan mematok harganya seratus juta rupiah?!" Inara tertawa getir, tawa yang menusuk hati.
Ia menarik napas, sorot matanya yang bergetar berubah menjadi kobaran api keberanian. Cukup sudah. Ia bukan lagi Inara yang dulu.
"Dengarkan saya, Pak Santoso. Saya tahu Anda tidak suka saya, tapi saya tidak peduli lagi. Saya bukan Inara yang dulu, yang bisa Anda tindas dan suruh-suruh sesuka hati! Harusnya anda dan Mas Hamdan lah yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup Daffa! Saat ini Daffa, cucu dari keluarga Santoso, sedang membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya. Tapi kenapa anda malah berkata seperti itu?" Inara meninggikan suaranya, menarik perhatian beberapa pelayan.
"Kalian," lanjutnya dengan suara menusuk, "benar-benar manusia yang tidak punya hati! Daffa adalah darah daging putra Anda!"
Namun, apa yang dikatakan Inara percuma saja. Ekspresi Pak Santoso tetap dingin dan penuh perhitungan.
"Jangan pernah sebut anak cacat itu cucuku!" Pak Santoso berujar dengan nada menghina yang menampar hati Inara. "Dia tidak layak menjadi bagian dari keluarga Santoso. Sekarang, kembalikan uang seratus juta itu, atau berikan cek itu, dan kita impas."
Emosi Inara benar-benar sudah lepas kendali. Ia tidak akan membiarkan harapan Daffa direnggut oleh pria yang tidak tahu malu ini.
"Tidak akan!" bentak Inara, air mata mengalir deras karena marah, bukan lagi karena haru. "Saya tidak akan pernah memberikan uang sepeser pun kepada Anda! Pergi! Urus saja bisnis Anda dan jangan pernah ganggu saya lagi!"
Pak Santoso terkejut dengan ledakan amarah Inara. Ia tidak menyangka Inara akan melawannya dengan begitu berani. Cengkeramannya sedikit mengendur karena terkejut.
"Baik, Inara. Kau memilih jalan ini," desis Pak Santoso, matanya menyipit penuh ancaman. "Aku bersumpah akan membuat hidupmu dan anakmu menderita. Kalian akan menyesal telah berbuat seperti ini padaku."
Ancaman itu tidak lagi menakutkan bagi Inara. Ia hanya memiliki satu fokus yakni Daffa. Dalam momen kelengahan Santoso, Inara mengerahkan seluruh tenaganya, menyentak lengannya dengan keras hingga terlepas dari cengkeraman baja itu. Ia tidak peduli jika pergelangan tangannya memerah.
Tanpa menoleh sedikit pun, Inara memeluk tasnya erat-erat, berbalik, dan setengah berlari meninggalkan restoran, menuju pintu keluar yang tampak seperti gerbang kebebasan dan tanggung jawabnya yang baru. Pak Santoso hanya bisa melihat punggungnya yang menjauh, kemarahan dan dendam membara di dalam dada.
Selanjutnya Inara bergegas pergi menuju tempat yang menjual perlengkapan menjahit dan juga aksesoris, hampir saja ia lupa membelinya.
Inara sendiri menjadi merasa tidak aman, apalagi saat ini di dalam tas miliknya terdapat cek dengan jumlah yang banyak.
.
.
Sementara itu di dalam ruangannya, Rayyan segera memanggil James, yakni kepala bagian pengembangan produk.
Langkah James sedikit kaku menuju Ruang Tuan Rayyan, ia masih trauma pasca dirinya terkena omelan Bos besarnya itu, tak tanggung-tanggung Tuan Rayyan melayangkan ancaman berupa pemecatan dirinya secara tidak hormat dan juga denda karena telah merugikan perusahaan akibat pekerjaannya yang lalai.
Saat James berada di ambang pintu, ia menghela napasnya pelan, dan segera menghampiri Tuannya yang saat ini sedang duduk di kursi kebesarannya.
Lalu Rayyan memutar kursi tersebut dan menghadap ke arah James.
"selamat sore Tuan Rayyan, apakah ada sesuatu yang sangat penting sehingga Tuan Memanggil saya kesini?" tanyanya dengan hati yang berdebar-debar.
Tuan Rayyan menyandarkan punggungnya di kursi, mengamati James yang berdiri dengan postur tegang. Ada senyum tipis yang tak bisa diartikan di wajah Rayyan, sebuah ekspresi yang sedikit melegakan namun juga menimbulkan kecurigaan bagi James.
"Duduklah, James," perintah Rayyan, nadanya jauh lebih tenang dari pertemuan terakhir mereka, namun otoritasnya tetap terasa.
James menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih riuh. Ia segera duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Rayyan.
Rayyan meraih sebuah map berwarna biru tua dari atas mejanya, lalu mendorongnya perlahan ke arah James. Map itu tampak tebal dan penting.
"Aku memanggilmu bukan untuk mengomel atau mengancam, kali ini," ujar Rayyan, matanya fokus menatap James. "Aku memanggilmu karena ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada semua kerugian yang sudah kita alami."
James menelan ludah. Ia ragu-ragu sejenak, lalu meraih map itu. Jemarinya gemetar saat membuka sampulnya. Begitu matanya menangkap isi lembaran pertama, semua ketegangan di wajahnya perlahan berubah menjadi keterkejutan yang murni.
Di dalamnya, terdapat desain-desain pakaian yang luar biasa. Sketsa-sketsa itu bukan sekadar gambar, melainkan representasi visi yang jelas, detail yang memukau, dan kombinasi warna serta gaya yang sangat modern dan elegan.
"Ini... ini luar biasa, Tuan Rayyan," desah James, tanpa sadar ia membalik-balik lembaran desain itu dengan antusias.
"Gaya ini, Tuan... ini adalah gaya yang kita butuhkan. Sangat sesuai dengan tren pasar saat ini, namun memiliki sentuhan orisinalitas yang kuat."
Ia mengangkat tatapannya, matanya memancarkan kekaguman yang tulus.
"Jujur, Tuan, dalam sekian lama saya berkecimpung di bagian pengembangan produk, baru kali ini saya melihat desain yang begitu sempurna dan sangat siap untuk diproduksi. Pemiliknya pasti seseorang yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi, Tuan. Maukah Anda memberi tahu saya siapa... siapa yang telah membuat sketsa-sketsa gambar seindah ini?" James bertanya, nadanya penuh harap dan rasa ingin tahu yang membara.
Rayyan hanya tersenyum samar, senyum yang melindungi sebuah rahasia.
"Itu tidak penting untuk saat ini, James," jawab Rayyan dengan nada tegas namun tenang. "Yang penting adalah hasilnya. Aku ingin ini segera diproses. Semua material, estimasi biaya, dan jadwal produksi harus segera kamu siapkan. Aku ingin koleksi ini menjadi prioritas utama perusahaan."
Melihat desakan dan sikap tertutup Rayyan, James mengangguk, namun jauh di dalam benaknya, rasa penasaran itu kian membesar. Ia tahu Rayyan sengaja merahasiakannya.
Lalu Rayyan berbicara dalam hati sambil menatap sejenak James yang sedang melihat desain milik Inara.
'Inara, kau memang luar biasa. Hasil desain milikmu akan segera diproduksi oleh perusahaan Witjaksono dan sebentar lagi Brand "Lewwis" tak akan pernah mengalami keterpurukan soal persaingan pasar dan minat konsumen.'
James menutup map itu, memegangnya erat. Ia kembali menatap Rayyan.
"Baik, Tuan Rayyan. Saya akan segera memprosesnya. Besok pagi saya akan memberikan laporan awal mengenai rencana anggaran dan produksi," ucap James, kembali profesional.
Dan James sempat berbicara di dalam hati
'Aku sangat penasaran siapa pemilik desain sebagus ini. Dia adalah penyelamat 'Lewwis'. Aku berjanji akan mencari tahu sendiri, tanpa perlu bertanya kembali kepada Tuan Rayyan yang sepertinya telah merahasiakan dariku.'
"Bagus. Sekarang, pergilah dan lakukan tugasmu, James. Aku ingin hasil yang memuaskan kali ini," tutup Rayyan, kembali memutar kursinya menghadap jendela, mengakhiri pertemuan.
James berdiri, memberi hormat singkat, dan segera melangkah keluar dari ruangan Rayyan dengan perasaan campur aduk antara lega karena tidak jadi dipecat, serta antusiasme melihat desain luar biasa itu, dan rasa penasaran yang tak tertahankan.
Bersambung...