Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26 : Pasukan Keluarga Morgans
Sagara telah berlatih pedang selama kurang lebih satu jam. Gerakannya sederhana, tetapi tajam—ia mengulang-ulang pelajaran yang pernah diajarkan Max dan Hendrikus. Gerakan menusukkan pedang ke depan, melambai dan menyayat dengan teknik yang telah ia kenal, semuanya dilakukan dengan tekun. Setiap ayunan pedang membuat keringat mengalir deras di tubuhnya, membasahi pakaian latihan yang melekat di kulitnya.
“Haaah….” desahnya pelan, seraya menjatuhkan diri ke tanah, duduk dengan terengah-engah. Napasnya terputus-putus, namun ia merasa puas. Tubuhnya lelah, tetapi ada perasaan bangga pada dirinya sendiri.
Sesaat Sagara duduk terdiam, menikmati waktu istirahatnya. Pandangannya menyapu sekeliling, dan barulah ia menyadari bahwa tempat latihan itu kini telah ramai oleh para prajurit. Mereka berlatih dengan giat, masing-masing menampilkan ketangguhan dan kekuatan yang mengagumkan. Otot-otot mereka terlihat terlatih, tubuh-tubuh yang tampak kokoh dan dapat diandalkan. Pemandangan ini menimbulkan rasa bangga di hati Sagara. Keluarga Morgans, yang sebelumnya hampir runtuh, perlahan pulih kembali. Para prajurit ini adalah bukti bahwa kejayaan keluarga itu mulai bangkit.
Saat Sagara sedang asyik mengamati para prajurit, ia mendapati bahwa Max dan Hendrikus telah berdiri di hadapannya, mengalihkan perhatiannya dari pemandangan tadi. Mereka mendekat dengan penuh hormat, kemudian memberi salam kepada Sagara.
“Selamat pagi, Tuan Muda,” sapa Max sambil menundukkan kepala. Hendrikus ikut memberi salam, senyumnya tak kalah ramah.
Sagara tersenyum kecil, bangkit dari duduknya sambil mengusap keringat di dahinya. “Pagi, Max, Hendrikus. Dari mana saja kalian? Mengapa baru sekarang muncul?"
“Kami selalu memantau latihan Anda, Tuan Muda,” jawab Hendrikus sopan. “Kami sangat senang melihat perkembangan Anda. Teknik-teknik dasar yang Anda pelajari sudah mulai Anda kuasai dengan baik.”
Max menimpali, “Betul, Tuan Muda. Mungkin sudah waktunya Anda mempelajari teknik yang lebih baik. Kami masing-masing memiliki teknik keluarga yang bisa kami ajarkan, meskipun itu bukan teknik yang sangat hebat. Namun, itu masih lebih baik daripada hanya menguasai dasar-dasarnya saja.”
Sagara memandang keduanya dengan antusias, meski napasnya masih belum sepenuhnya teratur. “Aku tentu saja tertarik. Teknik apapun yang bisa membantu meningkatkan kemampuanku, pasti akan sangat berguna. Kapan kalian bisa mulai mengajarkannya?”
“Kapan pun Tuan Muda siap,” jawab Hendrikus dengan semangat. “Mungkin pada latihan selanjutnya, kita bisa memulainya.”
Sagara mengangguk, merasa semakin termotivasi. Lalu, setelah sejenak menghela napas, ia berkata, “Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan pasukan kita? Aku lihat semakin banyak prajurit di sini.”
Max dan Hendrikus saling berpandangan, kemudian Max berbicara lebih dulu, “Saat ini, kami memiliki dua puluh prajurit, Tuan Muda. Dua belas di antaranya adalah prajurit baru, sementara sisanya adalah prajurit lama yang telah bersumpah setia kepada keluarga Morgans, termasuk kami berdua.”
Sagara mengangguk-angguk, senang mendengar kabar itu. Namun rasa penasaran mulai merayapi pikirannya. “Apakah kalian membutuhkan sesuatu? Bagaimana dengan perlengkapan yang mereka gunakan?”
Raut wajah Max dan Hendrikus berubah serius. Max menjawab dengan nada pelan, “Sebenarnya, Tuan Muda, perlengkapan prajurit kami sudah sangat usang. Banyak yang sudah tidak layak pakai. Kebanyakan dari mereka adalah sisa-sisa dari peninggalan lima tahun yang lalu, sebelum masa sulit keluarga Morgans.”
“Ya,” timpal Hendrikus, “beberapa pedang dan pelindung sudah sangat tua, bahkan ada yang berkarat. Kami butuh perlengkapan baru jika ingin menjaga kualitas prajurit.”
Sagara menghela napas panjang, menyadari tanggung jawab yang semakin bertambah di pundaknya. "Baiklah, aku akan segera mengusahakan itu. Selain perlengkapan, apalagi yang kita butuhkan?"
Max berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kami juga membutuhkan rencana, Tuan Muda. Kegiatan atau misi yang bisa dilakukan para prajurit, sehingga mereka bisa terus terlatih dan siap kapan pun Anda membutuhkannya.”
Sagara termenung. Ia tak terlalu paham tentang urusan militer atau bagaimana mengelola pasukan. Maka, dengan nada rendah, ia bertanya, “Apa yang kalian sarankan?”
Hendrikus tersenyum lembut dan memberikan saran, “Mungkin sebagai langkah awal, Tuan Muda bisa memilih satu sampai dua prajurit sebagai pengawal pribadi Anda. Mereka akan selalu berada di sisi Anda, melayani dan menemani ke mana pun Anda pergi.”
Sagara memandang keduanya. “Bagaimana kalau kalian berdua saja yang menjadi pengawalku? Aku merasa sudah terbiasa dengan kalian, dan tidak canggung lagi saat berbicara dengan kalian.”
Max dan Hendrikus tertawa kecil, lalu Max menjawab, “Tuan Muda, kami sangat tersanjung dengan tawaran itu. Namun, kami berdua memiliki tanggung jawab lain. Kami ibarat kepala dan tubuh pasukan ini. Jika salah satu dari kami menghilang, itu akan mengganggu keseimbangan dan mengacaukan para prajurit.”
Sagara terdiam sejenak, merenung dalam diam. Ia tidak tahu harus memilih siapa. Namun, kemudian sebuah ide terlintas di pikirannya. “Kalau begitu, bagaimana kalau besok kita kumpulkan semua prajurit? Aku akan mengamati mereka secara langsung dan memilih prajurit yang akan menjadi pengawal pribadiku.”
Max dan Hendrikus saling pandang, lalu mengangguk setuju. “Itu ide yang baik, Tuan Muda,” kata Hendrikus. “Kami akan mempersiapkannya.”
Sagara menghela napas lega. Semua tampak berjalan lancar. Ia menyerahkan pedang kayu yang dipakainya berlatih kepada Max. “Baik, maka sudah diputuskan. Kalau begitu, aku akan menyudahi latihan pagi ini dan kembali ke kamar untuk membersihkan diri.”
Max menerima pedang itu sambil tersenyum, “Baik, Tuan Muda.”
Sagara pun berjalan perlahan meninggalkan tempat latihan, menuju mansion keluarga. Tubuhnya terasa sangat lelah, akan tetapi semangatnya tetap membara bagaikan api yang tak pernah padam.