Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Delisa berdiri di pinggir lapangan basket sekolah, matanya terpaku pada Azka yang tengah bercanda dengan beberapa temannya. Meski dia berusaha tetap tenang, hatinya tidak bisa berbohong. Setiap kali ia mendengar bisikan-bisikan yang menyebut dirinya sebagai 'pelakor', dadanya terasa sesak. Mereka, teman-teman sekolahnya yang dulu dekat, kini menjauh, seolah Delisa adalah penyakit yang harus dihindari.
Hari-hari yang biasanya diisi dengan tawa bersama Azka dan Caca berubah menjadi beban berat. Delisa merasa dikhianati, bukan hanya oleh Azka tetapi juga oleh dirinya sendiri, karena tidak mampu mempertahankan kepercayaan pada hubungan mereka. Di antara kelelahan fisik dan mental yang terus menumpuk, akhirnya ia sampai pada sebuah keputusan.
Hari itu, setelah bel pulang berbunyi, Delisa menunggu Azka di dekat gerbang sekolah. Ia merasa harus menyampaikan keputusannya sendiri, bukan melalui pesan atau panggilan telepon. Tak lama, Azka datang menghampirinya, wajahnya tampak lelah namun tetap tersenyum ketika melihat Delisa menunggunya.
“Del, kamu nunggu aku? Ada apa?” tanya Azka, matanya berbinar penuh harapan. Namun, Delisa hanya menatapnya dengan sorot mata yang datar.
“Azka, aku butuh bicara serius sama kamu,” ujar Delisa dengan suara pelan namun tegas.
Azka melihat sorot mata Delisa yang berbeda dari biasanya. Senyuman di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh rasa cemas. “Ada apa, Delisa? Kenapa nadamu seperti ini?”
Delisa menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya yang bercampur aduk. “Aku nggak bisa terus-terusan begini, Azka. Setiap hari, aku harus mendengar semua orang membicarakan aku, menyebut aku pelakor, seolah-olah aku yang merusak hubunganmu dengan Putri.”
Azka menggenggam tangan Delisa erat, tatapan matanya dipenuhi rasa sakit dan ketulusan. “Delisa, kamu tahu itu nggak benar. Aku hanya sayang kamu. Hubungan dengan Putri sudah lama berakhir. Aku sudah berulang kali bilang ke dia, tapi dia tetap nggak mau terima.”
Delisa menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi itu tidak mengubah kenyataan, Azka. Semua orang tetap berpikir aku merebut kamu dari dia. Aku... aku nggak kuat lagi harus menghadapi tatapan mereka setiap hari.”
Azka semakin cemas, mencoba menahan Delisa agar tetap berada di sisinya. “Del, aku janji, aku akan berusaha lebih keras untuk menjauh dari Putri. Aku akan jelaskan pada semua orang kalau ini hanya salah paham. Jangan putuskan aku, Del. Kita bisa lewati ini bersama.”
Namun, Delisa tetap kukuh. “Azka, bukan soal kamu berusaha atau tidak. Masalahnya adalah aku yang sudah tidak bisa bertahan. Setiap kali aku mencoba mempercayai kata-katamu, selalu ada hal yang membuat kepercayaan itu goyah. Mungkin... mungkin kita memang lebih baik berpisah.”
Azka tampak hancur mendengar kata-kata itu. Dengan suara penuh harap, ia berusaha memohon, “Delisa, jangan begini. Aku tahu kamu terluka, tapi kita masih bisa memperbaiki ini. Aku akan buktikan padamu kalau aku hanya ingin bersamamu.”
Delisa mengusap air mata yang tak kunjung berhenti. “Aku juga ingin percaya padamu, Azka. Tapi kenyataannya, aku sudah terlalu terluka. Setiap hari aku merasa dihantui oleh bayangan Putri dan cerita yang dia sebarkan tentang kita. Aku hanya ingin kembali merasakan kedamaian, dan sepertinya itu tidak akan mungkin kalau kita masih bersama.”
Azka terdiam, tatapannya kosong. Baginya, Delisa adalah satu-satunya yang mampu memberikan makna pada hidupnya. Namun, melihat Delisa yang begitu tersakiti, ia akhirnya menyadari bahwa keegoisannya hanya akan menyakiti gadis yang ia cintai lebih dalam lagi.
“Kalau itu yang terbaik buat kamu, Delisa, aku akan terima,” ujar Azka dengan suara bergetar. “Tapi tolong ingat satu hal, aku akan selalu mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah.”
Delisa hanya mengangguk pelan. Tanpa sepatah kata lagi, ia berbalik dan berjalan menjauh dari Azka, meninggalkan kenangan manis mereka yang kini terasa hampa. Azka hanya bisa menatap punggung Delisa yang semakin menjauh, hatinya hancur berkeping-keping, namun ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang terbaik untuk mereka berdua.
...****************...
Setelah perpisahan itu, Delisa berusaha menjalani hari-harinya tanpa Azka. Ia mencoba kembali fokus pada pelajaran dan bersosialisasi dengan teman-teman yang masih mendukungnya. Caca, sahabatnya, selalu ada di sisinya untuk memberikan dukungan. Namun, meski ia berusaha terlihat kuat, hatinya tidak bisa berbohong. Setiap kali ia melihat Azka di koridor atau di lapangan, perasaannya campur aduk antara rindu dan luka.
Azka, di sisi lain, juga merasa kehilangan yang dalam. Ia menjalani harinya dengan kesepian, merindukan kehadiran Delisa di setiap momen yang biasanya mereka habiskan bersama. Meskipun Putri terus mencoba mendekatinya, Azka tidak pernah memberikan perhatian lebih padanya. Baginya, Delisa tetap yang terbaik, dan meski mereka tidak lagi bersama, cintanya pada Delisa tetap tulus.
Putri, yang melihat Delisa dan Azka sudah tidak bersama, merasa senang karena akhirnya rencananya berhasil. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa meski ia telah berhasil memisahkan mereka, ia tidak mendapatkan hati Azka seperti yang ia harapkan. Azka tetap menjaga jarak darinya dan bahkan tampak semakin dingin. Putri mulai merasa bahwa usahanya tidak sepadan dengan hasil yang ia dapatkan.
Di suatu siang, Putri mencoba mendekati Azka di kantin, berharap dapat berbicara lebih dekat dengannya. “Azka, sekarang kita bisa kembali bersama seperti dulu, kan? Bukankah ini yang kamu inginkan?”
Azka menatap Putri dengan tatapan yang penuh ketegasan. “Putri, aku pikir kamu sudah salah paham sejak awal. Aku tidak pernah berencana untuk kembali padamu. Hatiku sudah milik Delisa, dan meskipun kami sudah berpisah, perasaanku tidak akan berubah.”
Putri terkejut mendengar jawaban itu, tidak menyangka bahwa meskipun ia telah memisahkan Azka dan Delisa, perasaan Azka tetap pada Delisa. “Azka, kamu tidak bisa terus-terusan begini. Delisa sudah meninggalkan kamu, kenapa kamu tidak bisa melupakan dia?”
Azka menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua permainan yang Putri coba mainkan. “Putri, tolong pahami. Aku tidak pernah berusaha untuk kembali padamu. Aku hanya ingin hidup dengan tenang, dan jika kamu terus membuat situasi semakin rumit, aku harap kamu bisa segera mengakhirinya.”
Putri akhirnya tersadar bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Azka tidak akan pernah mencintainya lagi, dan setiap usaha untuk mendekati Azka hanya membuat jarak di antara mereka semakin jauh. Dengan perasaan kecewa dan marah, Putri akhirnya memilih untuk menjauh dari Azka, menyadari bahwa usahanya hanya berujung sia-sia.
...****************...
Waktu berlalu, dan meskipun Delisa dan Azka tidak lagi bersama, kehidupan mereka perlahan kembali ke jalurnya masing-masing. Delisa menemukan kedamaian dalam rutinitasnya dan mendalami hobi-hobinya. Ia mulai mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, yang membantunya mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang masa lalu.
Azka, di sisi lain, juga berusaha bangkit dari kesedihannya. Meski Delisa selalu ada di pikirannya, ia mulai menyibukkan diri dengan kegiatan olahraga dan akademik. Azka menyadari bahwa mungkin ini adalah kesempatan untuk menemukan jati dirinya tanpa tergantung pada perasaan atau hubungan.
Namun, meskipun mereka mencoba melanjutkan hidup masing-masing, baik Delisa maupun Azka tahu bahwa perasaan mereka masih tersisa. Mereka merindukan momen-momen kebersamaan, namun pada saat yang sama, mereka takut jika pertemuan akan membuka luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Suatu hari, Delisa dan Caca sedang berjalan pulang bersama saat mereka melihat Azka di depan gerbang sekolah, sedang berbicara dengan beberapa teman laki-lakinya. Caca melirik Delisa, yang tampak gugup dan tidak nyaman.
“Mau sapa Azka dulu?” bisik Caca pelan.
Delisa hanya tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Aku sudah cukup kuat sekarang, Ca. Aku yakin dia juga sudah bisa melanjutkan hidupnya. Biarlah semuanya tetap seperti ini.”
Caca mengangguk, menghargai keputusan Delisa. Mereka pun melanjutkan perjalanan tanpa melihat ke arah Azka lagi. Tanpa Delisa sadari, Azka memperhatikannya dari kejauhan, perasaan rindu terpancar dari tatapannya.