HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Ini sudah tidak sehat, apa yang Ibra lakukan sedikit memaksa meski sangat lembut. Membawa Kanaya ke sofa dan menghempas tubuhnya pelan, Ibra kini menguncinya dan menguasai Kanaya dalam kungkungan.
Ini cinta? Entahlah, yang jelas sejak malam itu Ibra tak melupakan Kanaya begitu saja. Hari-harinya berlalu dengan pikiran yang selalu tertuju pada Kanaya. Dan Kanaya tak mengetahui betapa gilanya Ibra ketika tidak memiliki akses untuk menghubunginya.
Kanaya, wanita yang masuk dalam kehidupannya tiba-tiba. Menawarkan hal gila dan justru menjerat dirinya untuk waktu lama. Dan kemarin, adalah hari yang Ibra anggap sebagai hadiah terindah dari Tuhan, hari dimana Kanaya kembali menghubunginya setelah lama penantian pria itu.
Cup
Pandangan keduanya terkunci, posisi ini sebenarnya mengancam namun Kanaya tak takut sama sekali. Kalaupun dia mau berontak, rasanya tidak beguna sama sekali.
Tubuhnya seakan terhipnotis, hal ini memang menimbulkan tanya dalam benaknya. Betapa dirinya menolak sentuhan Gibran mau selembut apapun dan selama apapun hubungan mereka.
Tapi, entah kenapa Kanaya benar-benar tak bisa menolak jika Ibra yang melakukannya. Siapa pria yang kini berada di atasnya, Kanaya belum nengenalnya dengan pasti. Sejak tadi malam yang muncul hanya pertanyaan tentang siapa pria bayarannya.
"Kanaya," panggil Ibra lembut sekali, selembut tatapan mata yang begitu teduh jika Kanaya pandangi.
Pria itu merapikan anak rambut Kanaya yang kemana-mana, kemudian mengusap bibir wanita itu yang kini membasah.
"Iy-iyaa?" Gugup, lagi-lagi Kanaya belum bisa membuat jantungnya stabil di hadapan Ibra.
"Aaku ... Nay," ungkap Ibra tertahan, pria itu sejenak memejamkan mata sebelum mengucapkan apa maunya.
"Kenapa? Kamu mau bilang apa?" tanya Kanaya penasaran, karena kini Ibra semakin memperlihatkan keanehan dalam dirinya.
"Aku ... aku tidak bisa menahannya, Nay."
Butuh izin, walau Ibra bisa memaksa tapi dia tidak akan melakukannya. Terlebih jika kini Kanaya sadar seratur persen, akan lebih baik jika Kanaya yang memang menginginkannya, buka karena egoisnya Ibra.
"Boleh ya?" Pria itu memasang wajah melas, seakan dunianya begitu malang luar biasa.
-
.
.
BRAK
"KANAYA!!!!!"
Teriakan Siska menggema, bahkan mungkin bisa saja meretakan meja kaca di sana. Apa yang ia lihat kini, Kanaya dengan posisi yang tidak patut disaksikan matanya dan tunggu ... pria itu berada di sana dengan santainya tetap memeluk Kanaya meski dia menoleh pada Siska.
"Siska, ka-kamu udah pulang?"
Kanaya panik tentu saja, segera dia mendorong Ibra agar segera bangun dan tidak selalu berada di atas tubuhnya. Kanaya merapikan pakaian dan rambutnya, sementara Siska yang datang sendirian menatap penuh tanya kedua insan itu.
"Apa yang kalian lakukan?!!" bentak Siska murka luar biasa, bukan karena perbuatan mereka tidak sopan saja, akan tetapi dia marah karena yang berbuat sinting ini adalah seorang Kanaya.
"Siska, ini nggak seperti yang kamu lihat kok, Ibra baru dateng dan kesini cuma mastiin aku sendirian atau enggak."
Kanaya tetap berusaha menyembunyikan semua yang terjadi walau Siska sudah bisa menyimpulkan sendiri. Sementara Ibra yang kini masih duduk di sofa, menatap Siska dengan begitu kesalnya. Dia mengeraskan rahang sembari mengepalkan tangannya, sungguh ingin sekali rasanya dia menghajar wanita berisik itu.
"Terus yang seperti apa hm? Kanaya aku sudah cukup dewasa untuk menahami keadaan ya, kamu pikir aku bodoh?!!" ketus Siska benar-benar marah kali ini.
Jika biasanya Kanaya yang kerap kali menggila jika mengetahui sahabatnya silahturahmi bibir dengan sang kekasih, kini justru dirinya yang tertangkap basah dan hal ini lebih gila dari yang kerap ia lihat.
"Siapa dia sebenarnya? Kamu nggak mau cerita sedikitpun sama aku, Nay!!"
Tunggu, bukan berarti Kanaya tidak mau. Tapi, ini semua terlalu berat untuk dia katakan pada Siska. Dia tidak punya muka untuk mengatakan hal semacam ini, karena mau bagaimanapun rasanya ini tetap saja akan hina di mata siapapun itu.
"Berhenti berteriak padanya, ini salahku dan kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, bukan pada Kanaya."
Ibra tak terima, mau sedekat apapun mereka, melihat ada seseorang berani membentak Kanaya dia marah. Andai saja Siska pria, mungkin Ibra takkan berpikir dua kali untuk menghajarnya.
"Cih, kau diam!! Setelah membuat Kanaya berubah, kau berani berulah?" tantang Siska merasa dirinya tidak salah, perlahan dia mulai mengerti kenapa Kanaya diusir keluarga besarnya.
"Jadi karena ini mas Abygail kecewa padamu, Nay? Karena laki-laki itu? Iya?!!"
Memang setelah kedatangan Kanaya, Siska sempat bertanya pada Abygail. Meski jawaban Abygail tak menjelaskan dengan pasti, karena dia hanya mengatakan kecewa pada Kanaya, itu saja.
"Bukan salah Ibra, Siska ... kamu jangan marah-marah juga," rengek Kanaya seperti biasa, manja terhadap Siska adalah sifat Kanaya yang tidak bisa diubah, dan alangkah sedihnya dia jika Siska turut memperlakukannya seperti yang lainnya.
"Lalu karena apa?" desak Siska tak terima alasan, mungkin ini adalah kebetulan, pikir Siska mencari kesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Aa-aku ...." Kanaya menggantung ucapannya, dia menatap ke arah Ibra sejenak, dan pria itu seperti mengungkapkan untuk jujur kepada Siska.
"Kenapa, Kanaya, tolong katakan dengan jelas."
"Aku hamil, Siska." Akhirnya, ucapan itu lolos dan berhasil membuat Siska kesulitan bernapas.
"W-what? Ka-nayaa, kamu ...."
Bak petir di siang bolong rasanya, Siska terpukul dengan berita ini dan pingsan setelah beberapa detik mendengar pengakuan Kanaya.
BRUGH
"Siska!!! Ya Tuhan, kenapa jadi begini!!" teriak Kanaya panik, bahkan apel yang berada di kantong belanjaannya bubar seketika, dia panik dan merasa bersalah tentu saja.
"Maafin aku, Siska."
Ibra segera bertindak, meski dia kesal luar biasa pada wanita yang telah mengacaukan keinginannya. Ibra tetap memperlakukan Siska dengan baik, menggendong wanita itu ke tempat tidur dan membantu Kanaya untuk menyadarkannya.
"Jangan nangis, Nay ... dia cuma pingsan," tutur Ibra justru merasa iba dengan Kanaya yang kini berurai air mata sembari berusaha menyadarkan Siska.
"Kepalanya kepentok meja, Ibra!! Itu pasti sakit," ucap Naya sembari berusaha menghapus air matanya.
"Pppfft kualat," celetuk Ibra sembari berusaha menahan tawa, melihat Kanaya yang begini dia merasa terhibur dan ini teramat menggemaskan di matanya.
"Jangan diledekin, bantuin."
"Iya-iya, kau mau aku melakukan apa? Napas buatan?" tanya Ibra asal-asalan, dan hal itu sontak membuat Kanaya mendelik.
"Jangan macam-macam!!" ancamya dengan wajah cemberut berpadu panik memikirkan nasib Siska.
TBC