Suami Penutup Aib

Nadya sudah duduk di kursi kerjanya lagi. Dia baru saja kembali dari toilet. Bukan untuk keperluan yang berhubungan dengan tempat itu, tetapi hanya untuk masuk ke biliknya dan menangis dengan menahan suaranya. Cukup lama dia di sana sampai bisa kembali mengendalikan perasaannya.

Beberapa waktu yang lalu ketika dia baru tiba di restoran, dia melihat seorang rekannya sedang berbicara dengan seorang wanita. Penampilan menawan dan wajah yang sangat cantik membuat wanita itu terlihat seperti seorang puteri. Dari busana dan aksesoris yang dipakai bisa dipastikan kalau dia dari keluarga berada.

Setelah wanita itu berlalu menuju ke arah dapur restoran, Nadya menghampiri rekannya yang terlihat masih kaget entah karena apa.

"Kau kenapa? Siapa wanita tadi?", tanya Nadya penasaran.

"Ah Nadya, kau pasti tidak percaya apa yang akan kukatakan", jawab rekannya.

Bukankah seharusnya dia langsung menjawab saja. Masalah Nadya percaya atau tidak, itu urusan nanti. Manusia memang terkadang aneh...

Nadya masih menunggu jawaban rekannya.

"Wanita itu menanyakan Pak Ardha. Dia bilang kalau dia itu isterinya", jawab rekannya yang kini telah menularkan rasa kagetnya ke Nadya.

Kemudian rekannya itu tergesa masuk ke ruang administrasi untuk mengulang perkataannya tadi pada yang lain. Dan tanpa belas kasihan mengabaikan Nadya yang kini tengah berdiri kaku dengan kaki gemetar dan mata yang memanas. Tak ingin yang lain melihat keadaannya, bilik toilet sekarang menjadi tujuannya.

Kini setelah merasa sedikit lebih baik, Nadya segera kembali ke mejanya. Di sana rekan kerjanya masih betah membicarakan tentang isteri Ardha. Tentang betapa cantiknya dia, betapa serasinya mereka berdua. Bahkan kini pembicaraan itu sudah berkembang pada resepsi pernikahan yang akan diadakan di restoran ini minggu depan.

Ya Allah.. rasanya Nadya ingin menangis lagi. Tak sanggup rasanya bila seharian harus mendengarkan hal yang begitu menyakitkan baginya. Akhirnya dia menuju ruangan manajer administrasi dan meminta ijin pulang lebih dulu dengan alasan tidak enak badan.

Andai rekannya tidak mempunyai prasangka apapun tentang dirinya dengan Aris, mereka pasti beranggapan kalau sakit Nadya dikarenakan ia memiliki perasaan kepada Ardha. Sehingga merasa kecewa akan kenyataan bahwa Ardha sudah menikah.

Setelah berpamitan dengan rekannya yang lain, Nadya bergegas ke parkiran menuju mobilnya. Langkahnya tertahan, karena di sana sudah berdiri seorang laki-laki yang menunggunya. Mereka berpandangan sebentar, kemudian Nadya menuju ke pintu mobilnya untuk masuk. Namun pergerakannya terhalang karena laki-laki itu merebut kunci mobil lalu mengisyaratkan agar Nadya duduk sisi lain.

Kini mereka berdua sudah duduk di dalam mobil dengan laki-laki tersebut di belakang kemudi. Mereka hanya diam, hanya terdengar suara lirih Nadya menahan tangisnya.

"Jangan ditahan, nanti tambah sakit. Luapkan saja, aku tidak akan menghakimimu", ucap Aris memecah kesunyian.

Akhirnya lepas juga tangis yang sedari tadi Nadya tahan sekuat tenaga. Aris merasa iba, tapi dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Khawatir tangis itu terdengar yang lain, Aris melajukan mobil Nadya entah akan membawanya kemana.

*********

Ardha kini sudah kembali dari urusannya. Didapatinya Mawar tengah khusyuk memandangi foto-foto di dinding ruangan itu. Ardha berdehem untuk memberitahu keberadaannya. Mawar pun sontak berpaling.

"Kau sudah kembali?", tanya Mawar sekedar basa-basi tak berarti.

"Iya, sudah", jawaban yang juga basa-basi tak berarti dari Ardha.

"Aku tadi sudah menghubungi dokter kandungannya. Maaf, sepertinya kita harus menjadwal ulang rencana pemeriksaan hari ini", terang Ardha.

"Oh, baiklah. Tidak masalah", Mawar menyahut santai.

"Apakah masalah buatmu?", tanyanya lagi.

"Apa? Tidak, tentu saja tidak. Aku akan memberitahumu nanti kapan jadwal selanjutnya", jawab Ardha.

Kemudian Ardha diam, bingung harus berkata apalagi. Sementara Mawar duduk kembali di sofa.

"Apa menu andalan restoran ini?", tanya Mawar membuat Ardha tersentak.

"Apa kau ingin makan?", tanya Ardha yang baru menyadari kalau ini sudah jam makan siang.

"Ya.. kalau boleh.. Siapa tahu cocok dengan seleraku dan mungkin saja nanti bisa jadi restoran favoritku", jawab Mawar yang sebenarnya tak terlalu peduli dengan apa yang akan dia makan, perutnya sudah lapar.

Ardha meminta Mawar untuk duduk di ruang makan restoran, tapi ia menolak. Dia lebih memilih duduk di meja makan karyawan dekat dapur sambil menunggu makan siangnya disiapkan sendiri oleh Ardha.

Para pekerja lain yang melihat adegan pasangan suami isteri itu pun tersenyum. Begitu romantisnya seorang suami yang sedang memanjakan isterinya. Paling tidak begitu yang mereka kira. Biarlah, terserah apa pendapat mereka. Yang penting buat Ardha adalah bagaimana menjaga angin agar tetap berhembus semilir...