Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Berada pada Pilihan yang Sulit
Dengan tatapan sendu, Seo-Rin meraih tangan Pangeran Ji-Woon, menggenggamnya erat seakan menyalurkan keinginan yang tak terucapkan. "Yang Mulia," ucapnya pelan namun tegas, "tolong, demi saya ... habiskan lah malam ini bersama Putri Kang-Ji. Dengan begitu, Ratu dan para menteri tidak akan terus mendesak Anda."
Mendengar permintaan itu, Ji-Woon terdiam. Hatinya bergolak, penuh dengan ketidakrelaan. Namun, melihat tekad di mata Seo-Rin, ia menyadari bahwa ini adalah hal penting baginya. Dengan berat hati, Ji-Woon akhirnya mengangguk, meskipun hatinya terasa hampa.
Pangeran Ji-Woon perlahan berdiri, dan dengan langkah berat, ia mulai berjalan menuju paviliun Kang-Ji. Setiap langkah terasa seperti beban yang semakin mengikat hatinya. Ia melirik Seo-Rin sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa keputusan ini benar. Melihat senyuman tipis yang Seo-Rin berikan, Ji-Woon menyadari betapa besarnya pengorbanan yang ia lakukan, bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi Seo-Rin dan keinginannya.
Sesampainya di paviliun Kang-Ji, Ji-Woon disambut dengan penuh persiapan. Kang-Ji sudah menunggu, mengenakan pakaian elegan yang memancarkan kemewahan, jelas menunjukkan harapan besar untuk malam ini. Tatapan penuh harapnya menyambut Ji-Woon, namun di balik itu, terlihat sorot mata penuh kemenangan.
Pangeran Ji-Woon duduk di hadapannya, mencoba menjaga ketenangan. Malam itu berlalu dalam keheningan yang terasa berat, dengan percakapan singkat dan hambar yang terasa dipaksakan. Meski Kang-Ji mencoba menciptakan suasana yang nyaman, Ji-Woon tetap merasa canggung, seakan berada di tempat yang salah. Pikirannya melayang, terus kembali pada Seo-Rin yang menunggunya dalam keheningan di paviliunnya sendiri.
Malam itu, Ji-Woon tak dapat merasakan kehangatan atau kedekatan yang nyata dengan Kang-Ji, seolah-olah ada tembok tak kasat mata yang menghalangi mereka. Ia hanya hadir di sana dalam tubuh, namun hatinya tertinggal di paviliun Seo-Rin. Meskipun ia berusaha memenuhi keinginan Seo-Rin, Ji-Woon menyadari bahwa keinginannya sendiri hanya satu — berada di sisi Seo-Rin, melewati setiap malam dengannya.
Keesokan paginya, berita bahwa Pangeran menghabiskan malam bersama Putri Kang-Ji tersebar luas di istana. Para menteri merasa lega, dan sang Ratu akhirnya bisa bernapas tenang. Namun, hanya Pangeran Ji-Woon dan Seo-Rin yang tahu betapa beratnya malam itu bagi keduanya.
Pagi itu, Pangeran Ji-Woon melangkah cepat menuju paviliun Seo-Rin dengan harapan bertemu dengannya dan menenangkan kegundahan di hatinya. Walaupun malam itu ia habiskan di paviliun Kang-Ji atas permintaan Seo-Rin, ia tetap merasa bersalah, seakan melanggar kesetiaan yang ia janjikan dalam hatinya untuk Seo-Rin seorang.
Namun, saat tiba di paviliun Seo-Rin, Ji-Woon disambut oleh keheningan yang aneh. Paviliun itu terasa hampa, sunyi, tanpa kehadiran Seo-Rin maupun para dayang yang biasanya berada di sana. Wajah Pangeran berubah cemas. Ia segera bertanya pada setiap pelayan yang ia temui, dan mencari ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi Seo-Rin. Namun, jejak keberadaannya tetap tak ditemukan.
Saat kegelisahannya memuncak, seorang pelayan menghampiri Ji-Woon dengan wajah khawatir, menyerahkan sepucuk surat yang dititipkan oleh Seo-Rin. Pangeran membuka surat itu dengan tangan gemetar, dan mulai membaca kata-kata yang ditulis dalam goresan tinta yang ia kenali sebagai tulisan Seo-Rin.
"Pangeran, aku minta maaf karena tidak memiliki keberanian untuk berpamitan langsung pada Anda. Aku telah memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuaku untuk sementara waktu. Aku berharap Putri Kang-Ji segera mengandung keturunan Anda, dan ketika itu terjadi, aku akan kembali ke istana untuk memberi selamat."
Mata Ji-Woon memerah, dan napasnya tersendat ketika ia selesai membaca. Ia meremas surat itu dengan kuat di tangannya, seakan mengalirkan rasa sakit yang memenuhi dadanya ke dalam kertas yang kini hancur lecek di genggamannya. Matanya menatap tajam ke depan, namun pikirannya melayang, kacau oleh perasaan yang berkecamuk di hatinya.
Bagaimana bisa Seo-Rin pergi begitu saja? Mengapa ia tidak mengatakan sesuatu lebih awal? Ji-Woon merasa marah, terluka, sekaligus dilanda penyesalan yang dalam. Jantungnya berdegup keras, menciptakan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tiba-tiba, beban malam yang ia habiskan bersama Kang-Ji terasa tak berarti—hanya Seo-Rin yang mampu mengisi kekosongan di hatinya.
Dengan cepat, Ji-Woon memutuskan untuk bertindak. Ia memanggil pelayannya dan memerintahkan persiapan keberangkatan. Bagi Ji-Woon, tak ada yang lebih penting saat ini selain menemukan Seo-Rin dan memintanya kembali. Ia tak ingin kehilangan wanita yang ia cintai, apapun risiko yang harus ia hadapi dari desakan para menteri atau tuntutan istana. Dalam hatinya, Ji-Woon tahu bahwa Seo-Rin adalah satu-satunya tempat hatinya berlabuh, dan ia bersumpah tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Saat berita mengenai niat Pangeran Ji-Woon menyusul Seo-Rin terdengar di seluruh istana, sang Ratu dengan segera mengambil tindakan untuk menghalangi rencananya. Pagi itu, saat Ji-Woon baru saja melangkah keluar paviliunnya, siap menunggang kuda untuk meninggalkan istana, beberapa prajurit dan pejabat tinggi telah berkumpul atas perintah Ratu, mengadang jalan Pangeran.
Tak lama, Ratu tiba dengan wajah tenang namun penuh ketegasan, berjalan mendekati Ji-Woon dan menatapnya tajam. "Pangeran, keputusan Anda meninggalkan istana demi seorang selir adalah tindakan yang amat gegabah," ucap Ratu dengan nada yang penuh perintah. "Di saat seperti ini, sebagai calon penerus tahta, Anda harus menunjukkan sikap yang dapat diandalkan oleh rakyat dan istana, bukan sebaliknya."
Ji-Woon menatap ibunya dengan tatapan yang tak kalah tegas. "Baginda Ratu, Seo-Rin telah pergi tanpa sebab yang jelas, dan aku tak akan diam begitu saja membiarkannya merasa tersingkirkan. Aku tidak bisa mengabaikan wanita yang telah mengorbankan banyak hal untukku." Suaranya tenang namun penuh ketegasan yang mencerminkan rasa sakit yang ia rasakan.
Ratu menghela napas, dan ekspresinya berubah dingin. "Jika Seo-Rin benar-benar memahami posisinya, ia seharusnya mengerti bahwa tugas utama Anda adalah meneruskan garis keturunan kerajaan dengan seorang putri mahkota, bukan menghabiskan waktu dengan selir." Ia memberi isyarat pada para pejabat yang telah berkumpul di belakangnya. "Pangeran, demi kebaikan Anda dan kerajaan, saya meminta Anda kembali ke istana dan merenungkan posisi Anda sebagai putra mahkota."
Pangeran Ji-Woon mengepalkan tangannya, merasakan desakan dan keterbatasan yang seakan mengikatnya semakin kuat. Dia tahu, untuk menentang perintah ibunya di hadapan para pejabat adalah tindakan yang sulit dan bisa berisiko pada kedudukannya. Namun, hatinya masih bergolak dengan keinginan kuat untuk menemukan Seo-Rin dan membawa wanita itu kembali ke sisinya.
Ratu mendekatkan wajahnya pada Ji-Woon dan berbisik dengan nada lembut namun mengancam, "Jika Anda benar-benar mencintai Seo-Rin, tunjukkanlah dengan cara yang tidak akan membahayakan posisinya maupun posisi Anda. Pikirkan masak-masak, Ji-Woon. Seorang pangeran yang menempatkan emosinya di atas tugasnya tidak akan bertahan lama di istana ini."
Sadar bahwa langkahnya untuk sementara tertahan, Ji-Woon menundukkan kepala, mencoba mengendalikan amarah dan kesedihannya. Akhirnya, ia berbalik, mengalah pada tekanan sang Ratu, meskipun rasa kecewa dan keputusasaannya tetap bergemuruh di hatinya. Namun, dalam hati ia bersumpah bahwa ini bukanlah akhir. Jika istana tak mengizinkannya menyusul Seo-Rin, maka ia akan menemukan jalan lain, dengan cara apa pun, untuk membawanya kembali.
Bersambung >>>