Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APAKAH AKU SALAH MENGARTIKAN?
Tak henti-hentinya Bu Mia menangis saat dia dan Sisi maupun Vani, melakukan video call. Nenek mana yang tak sedih saat tahu cucunya ada dirumah sakit. Apalagi penyakit yang diderita Sisi lumayan membahayakan, membuat Bu Mia tak bisa sejenak saja merasa tenang. Dia takut Tuhan mengambil Sisi darinya seperti Tuhan telah mengambil Rani.
"Ibu nyusul ke Jakarta besok," ujar Bu Mia.
"Gak usah Bu. Vani bisa kok jaga Sisi."
"Enggak, pokoknya Ibu dan Bapak akan nyusul ke Jakarta, titik." Bu Mia dalam mode tak ingin dibantah.
"Tapi Ibu mau tinggal dimana disini? Vani gak mungkin bawa Ibu sama Bapak kerumah majikan Vani." Mereka tak ada saudara di Jakarta.
"Ibu sama Bapak tidur di rumah sakit juga tak masalah. Yang penting kami bisa melihat Sisi, bisa ada disampingnya." Bu Mia tak henti-henti menyeka air mata yang tak mau berhenti mengalir. Dia tak peduli mau tidur dimana, mau makan apa nantinya, yang penting, dia ingin segera bersama Sisi.
"Nenek jangan nangis terus, Sisi gak papa kok." Bukannya berhenti menangis, Bu Mia makin sesenggukan melihat Sisi yang mencoba tegar. Cucunya itu memang dewasa sebelum waktunya. Meski usianya baru 6 tahun, pemikiran Sisi sudah seperti anak diatas usia itu. Mungkin keadaanlah yang membuat Sisi menjadi demikian, dipaksa dewasa sebelum waktunya. Andai saja dekat, detik ini juga dia akan menyusul Sisi.
"Sisi, kamu yang kuat ya, Sayang. Besok Kakek sama Nenek akan kesana," Pak Cholis ikut bicara.
"Nanti, Sisi akan kenalin Kakek sama Nenek pada Daddy."
"Dedi, siapa itu, teman kamu?" tanya Pak Cholis. Dia mengira jika daddy adalah nama orang. Perasaan Vani mulai kacau saat Sisi membahas Dilan. Dia tak tahu akan seperti apa reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu Dilan. Pria yang telah menghamili kakaknya.
Sisi menggeleng cepat, "Daddy itu ayah."
"Hah?" Pak Cholis mengerutkan kening. "Ayah?"
Sisi mengangguk, "Daddy itu sama seperti ayah atau papa. Sekarang, Sisi punya Daddy. Dan ini," Sisi menunjukkan boneka pemberian Dilan. "Ini dikasih Daddy."
"Van, apa maksudnya ini?" tanya Pak Cholis.
"Nanti Vani jelasin, Pak." Vani tak ingin Sisi mendengar penjelasan tentang Dilan. Menurutnya, belum waktunya Sisi tahu jika Dilan adalah ayah kandung yang selama ini dia pikir sudah meninggal.
Saat ini Dilan sedang tidak ada diruangan, pria itu sedang bertemu dokter untuk melalukan beberapa tes kesehatan.
*****
"Malam ini kamu pulang ya, Mas. Biar aku aja yang jaga Sisi," ujar Vani. Sudah 1minggu, Dilan tak pulang sama sekali.
Berapa kalipun Vani membujuk, Dilan tetap menolak. "Aku sudah kehilangan 6 tahun kebersamaan dengan Sisi. Sekarang aku ingin menebusnya, dengan selalu ada disamping Sisi."
Vani menghela nafas lalu menyentuh bahu Dilan. "Nanti kamu juga akan punya banyak waktu untuk membayarnya. Kesehatan kamu juga penting, Mas."
Dilan tersenyum getir mendengar kalimat Vani barusan. Leukemia bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Dia tak mau menyia-nyiakan waktu, takut jika Sisi akan meninggalkannya sewaktu-waktu. "Sebelum seluruh hasil tes keluar, dan aku dinyatakan cocok untuk menjadi donor Sisi, aku akan tetap disisinya. Aku tidak akan meninggalkannya meski sebentar."
"Lusa Sisi akan dikemo, dan dia butuh kamu. Jangan sampai saat itu kamu malah sakit."
"Aku akan baik-baik saja, tenanglah."
Vani menggeleng, dia sangat cemas dengan kondisi Dilan. "Pulang ya, Mas. Tidur nyenyak dirumah, besok kembali lagi kesini."
Dilan menggeleng, "Percuma, aku tak akan bisa tidur jika jauh dari Sisi."
Vani membuang nafas kasar. Seperti hari-hari sebelumnya, dia gagal membujuk Dilan. Dan hasil akhirnya selalu sama, dia yang pulang sementara Dilan tetap stay bersama Sisi dirumah sakit. Dia mengambil tas slempangnya lalu mengecup kening Sisi yang sedang tidur. "Bibi pulang dulu sayang," pamitnya. Saat hendak keluar, terdengar suara ketukan, tak lama kemudian, pintu dibuka dari luar. Terlihat Pak Salim datang bersama Fatma.
Malam ini, Pak Salim meminta Fatma menjaga Sisi. Menurutnya, Dilan sudah terlalu lama tak pulang, dan itu akan membuat istrinya curiga. Selain itu, kesehatan Dilan juga jadi pertimbangannya.
Karena paksaan papanya, Dilan setuju untuk pulang bersama Vani.
Sesampainya dihalaman rumah, Vani cepat-cepat melepas seatbelt. "Aku lewat pintu belakang saja, biar Bu Retno gak ngeliat kalau kita pulang bareng." Saat dia hendak turun, Dilan menahan lengannya.
"Kita masuk bareng."
"Mas, jangan cari masalah. Saat ini, fokus dulu sama Sisi." Dilan akhirnya melepaskan lengan Vani, membiarkan wanita itu keluar. Tapi rupanya, semua tak berjalan mulus, Bu Retno keluar bersamaan dengan Vani yang keluar dari mobil Dilan. Mata wanita itu melotot dan tangannya mengepal kuat.
"Dia siapa, Tante?" tanya Fara yang saat itu bersama Bu Retno.
"Bukan siapa-siapa, hanya pembantu."
"Tapi kok keluar dari mobilnya Dilan?"
"Mungkin mereka tak sengaja bertemu dijalan." Bu Retno mencoba menenangkan Fara, tak mau calon menantunya itu berfikiran macam-macam. "Cepetan, susul Dilan." Fara mengangguk lalu berlari kecil menghampiri mobil Dilan.
Sementara Vani, dia mengangguk sopan pada Bu Retno lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu belakang yang bisa diakses dari samping rumah.
"Sayang," Fara mengetuk kaca sambil menarik gagal pintu mobil. Dilan berdecak kesal, mau tak mau, dia keluar. Dan sambutan pertama Fara, adalah langsung memeluk tunangannya itu.
Vani yang ada disamping rumah, masih bisa melihatnya. Dadanya seperti ditusuk sesuatu yang sangat tajam menyaksikan Dilan dipeluk wanita lain. Meski Dilan tak pernah secara gamblang menyatakan cinta padanya, tapi kedekatan mereka, dan permintaan Dilan agar dia selalu disisinya, dia anggap sebagai cinta. Apakah mungkin dia yang salah mengartikan ucapan Dilan kemarin? Tetap bertahan disisinya, mungkinkah itu sebagai sahabat?
Tetaplah disisiku, aku yakin kau tahu seperti apa perasaanku padamu.
Vani teringat kembali perkataan Dilan tempo hari. Perasaan seperti apa yang Dilan maksud?
Apakah aku sudah salah mengartikan sikap dan perhatian Mas Dilan padaku?
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan